Yang paling kuingat dari ibu adalah...
Saat anakku Aden yang baru berumur satu tahun kena muntaber, beliau yang seorang guru, dari pagi sampai siang mengajar, sampai di rumah beliau mencuci dan menyetrika baju Aden untuk dibawa ke rumah sakit di sore harinya. Malamnya beliaulah yang bolak balik terjaga bila Aden buang air atau rewel. Sedang aku dibiarkannya tidur dan hanya terbangun saat menyusui, itupun sambil merem. Paginya beliau menempuh perjalanan 30 km naik bis untuk pergi mengajar, karena rumah sakitnya di Batu sedang rumah ibu dan tempat ibu mengajar di Ngantang, tentu saja sambil membawa baju kotor Aden. Sorenya beliau menempuh perjalanan 30 kilometer lagi untuk menemaniku menjaga Aden. Begitulah kejadian yang berputar selama Aden di rumah sakit. Oh ibu.
Aku pernah begitu sakit hati pada ibu selama bertahun-tahun. Aku masih SD kala itu, saat kami sekelas naik gunung Selokurung, ibu berpesan kepada guruku agar aku berhenti di pertengahan, tidak usah sampai ke puncak. Tentu saja guruku menuruti beliau karena ibuku kepala sekolahnya. Sedangkan aku dengan penuh rasa dongkol mematuhinya, lalu beberapa hari kemudian hatiku dipenuhi rasa iri melihat foto teman-temanku yang berpose penuh kegembiraan di puncak Selokurung.
Aku pernah merasa tidak diperlakukan dengan adil. Itu saat aku SMP, teman-temanku ikut beladiri tapak suci, sedangkan aku tidak diijinkan. Tapi beberapa waktu kemudian adikku Anisa beliau ijinkan ikut tapak suci.
Juga saat teman-temanku yang putrinya guru-guru, berarti putri teman ibu, ikut vokal grup, aku sendiri yang tidak boleh. Aku hanya bisa iri ketika teman-temanku yang cantik-cantik tampil di resepsi tujuh belasan di kecamatan.
Aku sering protes tapi hanya di dalam hati, mengapa masa remajaku yang indah banyak sekali dibanjiri kata 'jangan' dan 'tidak boleh'.
Aku baru mengerti bila semua itu adalah ungkapan sayang ibu padaku. Kuingat saat ibu melepasku mengikuti suami, beliau bilang," Rasanya kok tidak tega ya nduk melepasmu. Ga seperti saat kakakmu dulu ikut suaminya. Kakakmu itu mandiri dan cekatan, sedang kamu ...".
Ooo, itukah sebabnya hidupku dipenuhi kata jangan dan tidak boleh. Karena ibu menilaiku ringkih,
Memang bila dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku lebih pendiam dan lembut.
Yang paling kuingat dari ibu adalah cara beliau mengenang kami, anak-anaknya. Ibu punya sebuah almari tua, yang berisi pakaian-pakaian tua. Di almari ini aku masih bisa menemukan kerudung merah muda berbordir bunga di tepinya, itu kerudung yang aku pakai mengaji sewaktu aku masih kecil dulu. Aduhai betapa lamanya. Ada baju-baju kecil milik adik-adikku, bahkan baju kecil anak-anakku. Kuingat ibu pernah menata almari itu sambil berkata," Trenyuh melihat baju-baju ini, sekarang semua sudah dewasa".
Rumah ibu yang besar memang banyak almarinya. Di almari yang lain ibu masih membiarkan stiker "Jambore Nasional 1981" Itu adalah jambore nasional pramuka yang pernah kuikuti saat aku masih SMP. Dibawahnya ada stiker pokemon yang ditempelkan Aden dan Zeli sewaktu anak-anakku itu masih SD dan tinggal dengan ibu, sekarang Aden dan Zeli sudah kuliah dan stiker itu masih menempel disana.
Terlalu banyak yang ingin kukatakan pada ibu.
Rasa terimakasihku karena telah membentuk aku hingga menjadi seperti sekarang.
Ungkapan maafku karena prasangkaku, terutama saat aku belum menjadi seorang ibu.
Cinta dan hormatku.
Saat anakku Aden yang baru berumur satu tahun kena muntaber, beliau yang seorang guru, dari pagi sampai siang mengajar, sampai di rumah beliau mencuci dan menyetrika baju Aden untuk dibawa ke rumah sakit di sore harinya. Malamnya beliaulah yang bolak balik terjaga bila Aden buang air atau rewel. Sedang aku dibiarkannya tidur dan hanya terbangun saat menyusui, itupun sambil merem. Paginya beliau menempuh perjalanan 30 km naik bis untuk pergi mengajar, karena rumah sakitnya di Batu sedang rumah ibu dan tempat ibu mengajar di Ngantang, tentu saja sambil membawa baju kotor Aden. Sorenya beliau menempuh perjalanan 30 kilometer lagi untuk menemaniku menjaga Aden. Begitulah kejadian yang berputar selama Aden di rumah sakit. Oh ibu.
Aku pernah begitu sakit hati pada ibu selama bertahun-tahun. Aku masih SD kala itu, saat kami sekelas naik gunung Selokurung, ibu berpesan kepada guruku agar aku berhenti di pertengahan, tidak usah sampai ke puncak. Tentu saja guruku menuruti beliau karena ibuku kepala sekolahnya. Sedangkan aku dengan penuh rasa dongkol mematuhinya, lalu beberapa hari kemudian hatiku dipenuhi rasa iri melihat foto teman-temanku yang berpose penuh kegembiraan di puncak Selokurung.
Aku pernah merasa tidak diperlakukan dengan adil. Itu saat aku SMP, teman-temanku ikut beladiri tapak suci, sedangkan aku tidak diijinkan. Tapi beberapa waktu kemudian adikku Anisa beliau ijinkan ikut tapak suci.
Juga saat teman-temanku yang putrinya guru-guru, berarti putri teman ibu, ikut vokal grup, aku sendiri yang tidak boleh. Aku hanya bisa iri ketika teman-temanku yang cantik-cantik tampil di resepsi tujuh belasan di kecamatan.
Aku sering protes tapi hanya di dalam hati, mengapa masa remajaku yang indah banyak sekali dibanjiri kata 'jangan' dan 'tidak boleh'.
Aku baru mengerti bila semua itu adalah ungkapan sayang ibu padaku. Kuingat saat ibu melepasku mengikuti suami, beliau bilang," Rasanya kok tidak tega ya nduk melepasmu. Ga seperti saat kakakmu dulu ikut suaminya. Kakakmu itu mandiri dan cekatan, sedang kamu ...".
Ooo, itukah sebabnya hidupku dipenuhi kata jangan dan tidak boleh. Karena ibu menilaiku ringkih,
Memang bila dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku lebih pendiam dan lembut.
Yang paling kuingat dari ibu adalah cara beliau mengenang kami, anak-anaknya. Ibu punya sebuah almari tua, yang berisi pakaian-pakaian tua. Di almari ini aku masih bisa menemukan kerudung merah muda berbordir bunga di tepinya, itu kerudung yang aku pakai mengaji sewaktu aku masih kecil dulu. Aduhai betapa lamanya. Ada baju-baju kecil milik adik-adikku, bahkan baju kecil anak-anakku. Kuingat ibu pernah menata almari itu sambil berkata," Trenyuh melihat baju-baju ini, sekarang semua sudah dewasa".
Rumah ibu yang besar memang banyak almarinya. Di almari yang lain ibu masih membiarkan stiker "Jambore Nasional 1981" Itu adalah jambore nasional pramuka yang pernah kuikuti saat aku masih SMP. Dibawahnya ada stiker pokemon yang ditempelkan Aden dan Zeli sewaktu anak-anakku itu masih SD dan tinggal dengan ibu, sekarang Aden dan Zeli sudah kuliah dan stiker itu masih menempel disana.
Terlalu banyak yang ingin kukatakan pada ibu.
Rasa terimakasihku karena telah membentuk aku hingga menjadi seperti sekarang.
Ungkapan maafku karena prasangkaku, terutama saat aku belum menjadi seorang ibu.
Cinta dan hormatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar