Kalau orang gila harta, banyak jumlahnya... kalau geli harta? Apaan tuh.... Memang harta bisa membuat kita geli lalu ...hahaha...?
Tentang harta, aku banyak belajar dari ibuku.
Orang tua ibuku (kakek nenekku) adalah petani yang sukses di Ngantang, sawah dan kebunnya luas. Walau begitu ibu tak pernah merasakan kepanasan di sawah, karena pembantunya banyak dan kegiatan ibu hanya bersekolah. Setelah lulus SR (Sekolah Rakyat) ibu kemudian bersekolah di kota, lalu menjadi guru di Batu, menikah, punya anak kakakku. Ibu sempat melanjutkan kuliah sampai tingkat IV kata ibu, tapi berhenti kuliah karena hamil aku, putri keduanya ini.
Saudara ibu banyak, ada 13 bersaudara, tapi yang hidup hanya ibu dan kakak sulung ibu (almarhum pakde), jadi hanya si sulung dan si bungsu yang hidup.
Kata ibu, pak de orangnya agak serakah (maaf pakde, Indah ceritakan ini semua untuk memberi pelajaran ke banyak orang, katanya kalau untuk ibrah gakpapa menceritakan keburukan orang lain). Sawah dan kebun yang sebegitu luasnya sedikit demi sedikit dijual sama pak de, hingga yang tersisa cuma sebuah rumah tua dengan kebun yang mengelilinginya.
Ibu memutuskan untuk kembali ke Ngantang, menjadi guru di Ngantang dan menempati rumah peninggalan kakek yang tersisa. Pak de dengan rela menyerahkan sisa harta kepada ibu, beliau merasa sudah menghabiskan tanah dan sawah terlalu banyak.
Semula kehidupan Pak de normal-normal saja, hingga akhirnya jatuh miskin, tapi ibu selalu menyayanginya dan juga mengajari kami untuk menyayangi pakde . Ibu secara rutin mengirim beras, memberi uang, membawanya ke dokter bila sakit, bahkan berlangganan majalah Jawa Panjebar Semangat untuk pak de. Ibu tak pernah dendam dengan perlakuan pak de padanya. Walaupun ibu sering bercerita tentang kerinduannya akan sawah yang menguning, atau duduk di pondok di tengah sawah ditemani hembusan angin.... Dulu aku sering tertular ibu, ingin merasakan punya sawah dan berada di tengah harum padi yang menghampar.....
Mungkin keikhlasan ibu memberikan berkah pada hartanya, akhirnya ibu bisa memiliki empat bidang tanah lagi dan sebuah rumah yang sekarang ditempati ibu. Entah bagaimana cara ibu mengelola keuangan, aku melihat harta ibu berkembang, sementara aku dan 3 saudaraku juga bersekolah hingga perguruan tinggi. Mungkin inilah yang disebut berkah dalam rejeki.
Aku juga melihat bahwa harta juga bisa berpaling dari seseorang sesuka hatinya.
Waktu kecil di Ngantang itu aku mempunyai tetangga yang kaya sekali menurut ukuran desaku. Beliau bapak Y yang mempunyai studio foto pertama di Ngantang, studionya dihiasi lukisan yang memenuhi dinding. Selain itu beliau juga mempunyai kebun yang luas. Bila panen cengkih tiba, sebagian besar halaman rumahnya yang luas itu menjadi penuh dengan bunga cengkeh yang harum. Begitupun saat panen kopi, panennya termasuk yang paling berhasil di lingkungan tempat tinggalku saat itu.
Kekayaan bapak Y terlihat dari mainan putranya, saat anak-anak di desaku bermain dengan tanah dan alat masak memasak yang terbuat dari tembikar, maka putra pemilik studio foto ini sudah bermain dengan kereta yang bisa berjalan sendiri dengan bateray. Kebetulan putra keduanya seusiaku dan kami sering main bareng. Saat itu langka sekali mainan seperti itu, hanya bisa dibeli di kota dan mahal pula.
Ketika aku meninggalkan Ngantang untuk bersekolah di SMAN Batu, bisnis bapak Y mulai mundur dan harta bapak Y mulai 'meninggalkan'nya satu persatu. Tanah yang luas itu sedikit demi sedikit dijual dan salah satu kapling dibeli oleh ibuku. Hingga yang tersisa tinggal rumah yang beliau tempati. Tragis bukan?
Kenyataan yang kulihat di sekelilingku sejak aku kecil itu membuatku tidak gila harta.....
Pernah melihat orang yang semasa hidupnya begitu membanggakan kekayaannya? Pernah melihat saat dia mati? Apakah kekayaan yang dia banggakan bisa menolongnya? atau terbawa ke alam kubur? atau melepasnya dari azab Allah? bahkan kekayaan itu tidak bisa membuatnya terlepas dari pedihnya sakaratul maut.......
Kita lihat sungguh menggelikan sikap manusia terhadap harta.... Semasa hidupnya sebagian manusia memperjuangkannya hingga menghalalkan segala cara, kemudian harta yang dikumpulkannya membakarnya di neraka..... Kadang belum sampai ke neraka akhirat, lebih dulu merasakannya di dunia ini, berupa ketidaknyamanan, ketidak tenangan, dan mungkin penjara....
Mungkin kita musti mengembalikan posisi harta pada tempatnya, pada fungsi pokoknya.
Harta yang berupa rumah adalah tempat manusia berlindung dari hujan, panas, melindungi aurat kita, tempat kita berkumpul dan berkasih sayang dengan keluarga, tempat kita memperoleh ketenangan sehingga bisa beristirahat dan beribadah dengan tenang.... Tempat kita berbuat baik dan menolong orang lain bila ada yang membutuhkan menginap. Rumah secara keseluruhan menjadi tempat kita mengabdi kepada Allah.
Bila kita membangun rumah demi tujuan bermegah-megahan, agar dibilang sukses dan kaya misalnya...atau tujuan lain yang hanya memuaskan nafsu duniawi, berarti saatnya merenovasi niat kita.... jangan sampai rumah yang kita banggakan turut menjadi bahan bakar kita di neraka.
Setiap hari kita bersentuhan dengan harta yang berupa uang, setiap hari tangan kita terkotori oleh kuman yang dibawanya. Kuman sungguhan yang berupa bakteri dan virus atau kuman ruhani yang berupa tamak dan rakus.
Kita musti kembalikan fungsi uang sebagai alat tukar, bukan sumber ketenangan batin atau kepuasan diri sendiri. Bila kita menjadi begitu sedih dan pusing saat tidak punya uang atau saat hanya memiliki sedikit uang, lalu menjadi begitu gembira saat kedatangan uang yang melimpah..... tanyakanlah pada hati anda, apakah uang sudah menjadi sumber kebahagiaan buat anda? Bila ya, tanyakan lagi kepada hati anda, tidakkah ada yang lebih berhak untuk menjadi sumber kebahagiaan anda yaitu Dzat yang telah memberi anda rejeki berupa uang?
Aku adalah orang yang tidak suka menabung dan tidak suka ikut asuransi ini itu. Aku memang khawatir bila aku mempunyai banyak uang di rekeningku, maka dia berubah menjadi sumber rasa amanku, bila ikut asuransi pendidikan aku juga khawatir bahwa aku menganggap uang adalah jaminan masa depan anak-anakku. Sumber rasa amanku adalah Al Mu'min (salah satu asma Allah yang artinya Yang Maha Mengaruniakan Keamanan) dan tetaplah Allah saja sumber rasa aman dan kebahagiaanku. Adalah Allah yang membuat anak-anakku bisa bersekolah dan hanya Dia Maha Penjamin kehidupan manusia seluruhnya. Aku pernah tahu, seorang familiku yang mengasuransikan pendidikan anaknya, ternyata anak itu sendiri malah mogok kuliah.....
Selain sebagai alat tukar, uang juga merupakan ujian dan amanah Allah. Bagaimanakah tuntunan Allah di Al Qur'an tentang cara kita memperlakukan harta yang kita punya? Bukankah Allah memerintahkan kita menafkahkan di jalanNya? Menafkahi keluarga termasuk di dalamnya, tapi tidak perlu berlebihan bukan? Dan jangan tunggu sampai berlebihan baru menafkahkannya untuk fakir miskin, ibnu sabil, anak yatim, jihad fisabilillah ......... dst
Ibu-ibu suka sekali dengan perhiasan yang berupa emas dan perak. Dulu sewaktu masih nganggur, aku suka mengamati ibu-ibu menjadikan koleksi emas yang menghiasi tubuhnya sebagai bahan untuk jor joran, atau bersaing satu sama lain. Itulah sebabnya aku tidak suka perhiasan emas dan tidak suka memakaikannya untuk anak-anak gadisku kecuali anting-anting. Sementara aku lihat di kampung-kampung, balita yang lucu-lucu sudah diberi perhiasan emas mulai dari anting, gelang, kalung dan cincin, gak tahulah aku apa maksudnya, yang jelas bagiku, balita cantik-cantik itu jadi rawan dijahati orang.
Allah memang tidak melarang hambaNya untuk menjadi kaya raya, Dia sendiri pula yang menurunkan rejeki mereka. Tapi untuk memperlihatkan kekayaan di tengah kemiskinan...... oh... i'm sorry...
Manusia sering terlupa bahwa harta bisa membutakan mata hatinya, dan bila ini terjadi .... tunggulah barang sebentar karena harta bisa datang dan pergi sesuka hatinya.
Semasih di Bali, aku dan suamiku punya teman muslim yang sangat sangat sukses dan juga sangat dermawan, sebut saja bapak S di kota N. Saking suksesnya, beliau membangun rumah besar dan mewah dilengkapi dengan kolam renang, kamar si empunya rumah setara dengan kamar hotel bintang 5. Aku memang pernah masuk ke kamar beliau untuk berwudhu di kamar mandinya yang mewah sekali. Selain rumah utama, ada dua paviliun yang disediakan untuk tamu atau saudara yang menginap.
Sayangnya, tak jauh dari rumah mewah itu, ada perkampungan miskin yang keadaannya amat memprihatinkan. Aku pernah bertamu ke beberapa rumah disitu, salah satu rumah yang kukunjungi ternyata hanya berupa sebuah kamar berdinding bambu yang ditempati suami istri dengan lima orang anaknya!!! Yang dijadikan 'ruang tamu' hanyalah sebuah teras kecil dengan bangku yang amat sederhana. Rumah-rumah lain lebih mendingan, tapi tetap saja disebut gubug karena rata-rata berdinding bambu dan reyot pula.
Memang Allah tidak melarang kita membangun rumah mewah dengan uang kita sendiri, tapi musti diingat lagi..... apa tujuan/niatan kita saat membangun rumah mewah itu? Apakah untuk bermegah-megahan yang dilarang Allah? atau untuk apa....? Bila kemewahan itu bisa mengikis kepekaan hati kita akan penderitaan orang lain, bisa jadi harta kita adalah cobaan...
Setelah aku pindah ke Malang, aku jarang berhubungan dengan bapak S dan istrinya, hingga suatu saat ada kesempatan berkunjung ke Bali. Bapak S bercerita pada suamiku bahwa usahanya telah bangkrut dan tutup, sekarang mereka hidup dari sebuah warung makan yang dikelola istrinya. Rumah mewah yang nilainya beberapa milyar itu kini sudah dalam jaminan bank. Seandainya terjualpun, hasilnya tidak bisa menutup utang mereka yang belasan milyar. Warung makan tempat istrinya berjualan itupun statusnya menyewa. Praktis bapak S adalah orang miskin yang terlihat kaya, orang menderita yang terlihat bahagia, bahkan untuk menguliahkan anak mereka, musti mencari kuliah gratis atau yang ada beasiswanya. Kasihan bukan? Semoga dengan peristiwa ini mereka sadar, bahwa menjadi dermawan saja tidak cukup, kita juga musti menjaga hati orang miskin untuk tidak silau dengan harta yang kita punya.
Harta memang bisa datang dan pergi sesuka hatinya, saat dia pergi terlihatnya seperti sedang 'mengkhianati' kita, padahal dia hanyalah makhluk Allah yang patuh. Harta hanyalah alat untuk membuktikan ketaatan dan pengabdian kita padaNya. Sebagai sebauah alat, dia dipakai sebagai sarana untuk mendekatkan kita pada Allah. Jangan jadikan alat sebagai tujuan, karena ini hanya menunjukkan kebodohan kita. Ibarat mobil hanyalah alat untuk mengantarkan kita ke suatu tempat, bila kita menjadikan mobil sebagai tujuan, maka mobil itu hanya kita nikmati kebagusannya saja, kita lap dan kita bangga-banggakan sebagai mobil milik kita, tanpa pernah memakainya, kitapun tak bisa memetik manfaat dari mobil itu. Menggelikan bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar