Mengenal pak Putut membuatku mengerti betapa sikap hidup yang kita pilih, bisa amat mempengaruhi perilaku dan sikap hidup orang di sekeliling kita, kita sadari atau tidak, pengaruhnyapun bisa baik atau buruk.
Pak Putut adalah seorang terapis, aku mengenalnya dari seorang pelanggan. Aku sedang sakit maag saat itu, lalu pelangganku bercerita tentang seorang terapis yang katanya hebat, banyak orang sakit parah mendapat kesembuhan melalui tangannya, termasuk pelangganku ini. Aku percaya, lalu aku kesana membawa serta bapak dan juga bapaknya karyawan yang sakit. Sejak itu aku sering ke pak Putut, kadang berdua saja dengan suamiku, kadang membawa rombongan pasien.
Yang menarik dari pak Putut adalah kesederhanaan hidupnya dan juga kesederhanaan cara berpikirnya.
Beliau tinggal di rumah yang amat sederhana, dengan ruang tamu berukuran 3x3m tempat beliau memijat, di belakangnya ada ruang serba guna yang rupanya menjadi ruang tidur sekaligus ruang keluarga, lalu dapur, tempat menjemur pakaian dan kamar mandi, sudah itu thok. Selain kamar mandi, praktis rumah itu hanya mempunyai tiga ruangan.
Banyak saudara-saudaraku yang pernah aku ajak kesana bilang, kok sederhana sekali ya hidupnya padahal pendapatannya sebagai terapis termasuk lumayan banget. Pasiennya banyak, walau tidak sampai ngantri panjang, karena sudah dijadwal sebelumnya. Sampai-sampai saudaraku itu menghitung-hitung berapa kira-kira pasien yang datang tiap harinya dikalikan seratus ribu. Pak Putut sendiri sebenarnya tidak memasang tarif, terserah orang yang memberi, tapi dari getok tular aku tahu biasanya minimal limapuluh ribu untuk seorang pasien. Kadang ada yang memberi dua ratus hingga lima ratus ribu, saking bersyukurnya mendapat kesembuhan. Banyak pasien pak Putut yang sudah berobat hingga ke Singapura sebelumnya, eh la kok jodohnya sembuh lewat tangan pak Putut.
Begitu sederhananya pak Putut, sampai tidak banyak orang yang tahu kalau dia sarjana dari universitas terkemuka di Jawa Timur, satu alumni denganku... hehehe. Jaman dulu bisa masuk Unibraw itu kerennya minta ampun, jelas anak puinter, ga ada sogok menyogok, ga ada otonomi kampus, ga ada ekstensi, ga pake mahal. Dia juga pernah bekerja di perusahaan besar dengan posisi yang bagus.
"Penyakit itu sumbernya dari pikiran. Pasrah saja sama Allah. Kalau sudah dipasrahkan sama Allah ya ga usah dipikir, biar dipikir sama Allah. Masak ga percaya sama Allah? Juga jangan terlalu seneng dengan uang", begitu kallimat yang sering dia sampaikan ke pasien-pasiennya.
"Semua orang juga senang sama uang pak Putut", begitu kataku.
"Maksudnya sodaqohnya dibanyakin", katanya.
"Oh...".
Biarpun hidupnya sederhana, aku melihat keluarga ini cukup damai dan bahagia, istrinya baik dan ramah, anak-anaknya tertib sekolah dan rajin mengaji. Rupanya terbawa sikap hidup sang ayah, membuat anggota keluarganya adem ayem saja dengan gaya hidup yang ga 'jaman' sekarang.
Pernah pak Putut bercerita, bahwa seorang pasien yang berhasil sembuh ingin memberinya hadiah rumah, tapi pak Putut menolak. Rupanya kesederhanaan hidup merupakan pilihannya.
Rasanya aku ingin berterima kasih pada pak Putut atas kesederhanaannya ini. Ceritanya, saat aku mengambil sebuah rumah tipe 36 di perumahan dekat rumah Cantiqku sekarang, aku merasa tanahnya kurang luas. Akupun ingin mengambil sebuah kapling yang letaknya berdampingan, untuk ini aku harus ekstra mikir, keuangan jadi mepet pastinya, sedang keputusan harus diambil secepatnya sebelum rumah sebelah diambil orang.
Akhirnya aku teringat pak Putut dengan rumah sederhananya dan keluarganya yang tetap bahagia. Dengan ikhlas aku putuskan untuk mengambil satu rumah saja. Toh anakku yang tinggal di Malang cuma Insan dan Alni, akupun masih punya rumah Cantiq bukan? Ga kekurangan tempat untuk anak-anakku, saudara atau teman yang datang untuk menginap. Aku merasa damai dengan keputusanku.
Begitulah pak Putut, dia sudah berdakwah dengan kesederhanaannya, mempengaruhi orang lain tanpa ngotot. Hmmm...... dakwah kita bagaimana ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar