Suatu waktu, aku punya target dalam menghafalkan sebuah surat dalam Al Quran, maksudku menghafalkan artinya sampai saat kudengar surat itu dibacakan aku langsung mengerti artinya. Targetku saat ustadz Virien datang memberi pengajian ke karyawan, aku sudah hafal 20 ayat. Biasanya ustadz Virien menuntunku mengaji setelah memberi tausiyah ke karyawan, seminggu dua kali, berarti dalam tiga hari jatah waktu untuk menyelesaikan targetku itu.
Aku bekerja keras untuk itu, saat bepergianpun tak lupa bawa Al Quran terjemah perkata, siapa tahu saat menunggu aku punya waktu menghafal. Rasanya aku tak mau menyia-nyiakan waktu walau sedetikpun untuk menghafal, bahkan sore saat karyawan mau pulang dan bersalaman denganku, aku sudah cantik dengan mukena dan Al Quran di tangan (sebelum mengejar target menghafal itu, biasanya sih saat karyawan pulang aku siap nyanyi dengan gitar di tangan....hehehe)
Begitulah, dari hari ke hari aku melewati saat-saat membahagiakan mengejar target menghafal.
Tanpa kusadari aku menemukan hal yang amat indah dari kebiasaan itu.
Allah seperti menuntunku dalam bicara dan diamku, pembicaraan yang keluar dari mulutku hanyalah hal-hal yang baik saja.
Saat ada orang lain membicarakan hal yang sia-sia, aku bisa merasakan bahwa pembicaraan ini tak ada nilainya di hadapan Allah, dan betapa sayangnya telah membuang energi untuk menumpuk dosa. Begitupun terhadap karyawan, aku bisa bicara lebih lembut, bahkan aku bisa marah dengan lebih halus dan elegant... hehehe, maksudku lebih bisa mengendalikan marah. Kadang aku bisa merasakan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita ada catatannya dan kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Berada dalam zona suci seperti ini, rasanya indah sekali, bahagia sekali.
Namun seperti iman yang naik turun. Adakalanya aku kendor juga dalam menghafal, terutama saat ustadz Virien jauh di gunung sana, mengelola pondok pesantren yang baru dirintis.
Sebagai gantinya aku dipertemukan Allah dengan ustadz Genggong di face book.
Dari video murottalnya aku belajar. Memang rasanya tak seperti berhadapan dengan seorang guru langsung, tapi perlahan-lahan aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan cara belajar on line. Toh ustadz Virien juga masih sering turun gunung, membantuku mengelola Cantiq dan selalu siap membantuku mempelajari Al Quran.
Bila aku mulai merasakan mulutku ini susah diajak baik, misalnya mengghibah orang, atau mengeluarkan kata-kata yang menyakiti perasaan orang, maka yang pertama harus kuperbaiki adalah kecintaan dan intensitasku mempelajari Al Quran. Karena ternyata 'dosis' yang tepat dalam mempelajari Al Quran membuat kita secara otomatis bisa mengendalikan nafsu bicara, bahkan pembicaraan kita adalah ibadah kita, karena yang keluar hanyalah kalimat yang baik dan mengandung hikmah buat diri kita dan orang lain. Kita bisa diam atau bicara karena Allah.
Ikutan yuuuk!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar