Hal yang paling kutunggu di tiap sabtu adalah pulang ke Ngantang, ke rumah ibu.
Membayangkan kedua orang tua yang sudah sepuh dan cuma bertiga dengan bulik, membuatku ingin sesering mungkin melihatnya.
Rumah yang ibu tempati sekarang adalah rumah kuno yang ibu beli saat aku sudah menikah dan berumah tangga sendiri, jadi aku tidak mengalami tinggal lama di rumah ini. Rumah ini dindingnya terbuat dari bata yang tebaal sekali, dengan pintu dan jendela yang terdiri dari dua lapis, satu lapis membuka keluar dan lapisan dalamnya didominasi kaca yang membuka ke dalam. Seperti benteng rasanya berada di rumah ini.
Saat pagi tiba, sinar matahari pagi jatuh menerangi kamar, ruang keluarga dan dapur. Aku suka melihat cahayanya turun ke dapur, cahayanya yang bergaris-garis jatuh ke lantai, meja dan peralatan dapur, seolah memberikan spirit kepada yang berada di dapur untuk menghidangkan masakan terenak. Sungguh berbeda dengan dapur orang kota, yang rumah penduduknya penuh sesak hingga tak menyisakan ruang untuk sinar matahari masuk ke dalam rumah.
Pagiku di rumah ibu biasanya disibukkan dengan pergi ke pasar, beli lontong pecel dan belanja sayur. Kadang pula aku memancing ke bendungan tak jauh dari rumah ibu, tentu saja bersama pengawal setia, suamiku.
Kira-kira 200 m dari rumah ibu ada rumah ibu yang lama, rumah masa kecilku yang sekarang ditempati kakak. Alni paling suka bersepeda ke rumah kakak pagi-pagi, sedang ayahku -kekek Alni- mengikutinya dari belakang, bahagianya menatap mereka berdua berolahraga dengan gembira.
Rumah kakak itulah yan paling banyak menyimpan kenangan buatku.
Rumah itu rumah besar dengan 7 kamar tidur, dengan dua ruang keluarga, dua dapur, yang satu dapur kayu bakar dan satunya lagi dapur 'orang kota'. Besar ya, dan melelahkan juga membersihkan rumah ini.
Dulu di masa remajaku, aku punya kamar di loteng, yang aku pakai di siang hari saja. Aku suka melukis, membaca, belajar atau menulis di kamar atas itu, hampir sepanjang hari sepulang sekolah aku menghabiskan waktu disitu. Bila teman-temanku mencariku, ibu pasti bilang pada mereka kalau aku 'manggung'. Mungkin maksudnya berada di kamar panggung seperti rumah burung dara itu...
Dari kamar panggungku, pemandangan bagus sekali, bisa melihat pepohonan yang berdiri kekar dengan sinar matahari menembus di sela-selanya, juga gunung dan bukit. Teristimewa saat sore hari, aku suka sekali menatap langit merah senja membayang diatas pegunungan, dan aku selalu menunggunya hingga gelap turun dan adzan maghrib berkumandang.
Di kamar itu aku menghasilkan banyak lukisan dan juga banyak tulisan, sebagian tulisanku aku kirim ke majalah remaja dan kadang-kadang aku mendapat 'kejutan' dengan menerima honor lumayan yang tidak kusangka-sangka.
Pernah teman-teman sekelasku dari SMA N Batu main ke rumahku di Ngantang, aku ajak mereka ngobrol di kamar yang terletak di bawah kamar panggungku. Mereka begitu surprise saat membuka jendela, kebun kopi tepat disebelah kamarku, hijau daunnya menyapa ramah dengan harum bunga kopi yang putih warnanya. Yah, rumah ini memang dikelilingi kebun kopi, tetanggaku hanya ada di depan rumah, ga punya tetangga kanan kiri.
"Aduh enaknya rumah Indah", kata mereka serempak. Ya, rumah ini memang membuat semua orang betah berlama-lama berada disini. Kuduga karena ibuku pandai menata rumah sehingga terkesan hangat dan nyaman.
Aku pernah lo 'menyelamatkan' rumah masa kecilku ini.
Ceritanya, saat musim hujan biasanya kayu bakar tidak cepat kering, karenanya setelah selesai memasak, nenek suka menumpuk kayu bakar diatas perapian yang masih hangat, agar esok pagi, kayu sudah kering dan bisa dipakai memasak, tumpukannya tinggi sekali dan mengepulkan asap yang bergulung-gulung.
Saat itu aku sudah rajin mengerjakan shalat tahajud tiap malam, meski hanya dua rekaat saja. Malam itu saat aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, tak seperti biasanya, aku melihat dapur terang benderang membuatku ketakutan dan membangunkan orang tuaku. Oh, astaga!!! ternyata api menyala-nyala di dapur, menjilat-jilat ke atas hampir mencapai plafon. Spontan kami bergotong royong memadamkan api.
Ibupun memuji-muji diriku," Inilah hikmahnya sholat tahajud".
Tanpa sadar Indah kecil telah mengajari seluruh anggota keluarganya untuk memperhatikan amalan sholat tahajud.
Semakin tua, aku semakin mengerti hikmahnya sholat tahajud, bukan hanya menyelamatkan diri dari kebakaran di dunia. 'Kebakaran' di akhirat sungguh lebih berbahaya dan lebih kekal abadi, musti lebih serius untuk kita pikirkan bagaimana upaya menyelamatkan diri darinya.
Marilah bertahajud, untuk mencintaiNya dan untuk menjaga orang-orang yang kita cintai dari bahaya 'kebakaran' di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar