Kalimat diatas sebenarnya pernah kudengar saat aku bersama rombongan dinas koperasi propinsi Jawa Timur mengunjungi pondok pesantren Turen yang terkenal karena keindahan arsitekturnya itu. Dalam kesempatan itu, salah seorang ibu bertanya kepada bapak Kiai menantu pemilik pondok ,"Berapa biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan pondok ini?"
"Bu, kami tidak menghitungnya. Ikhlas itu tidak menghitung", jawab kiai yang masih muda dan kharismatik itu. Saat itu tak terpikir olehku bagaimana sih yang disebut 'ikhlas itu tidak menghitung'.
Beberapa hari sebelum puasa aku kedatangan lagi seorang teman yang mengatakan bahwa 'ikhlas itu tidak menghitung'. Lalu peristiwa kemarin terjadi.... rasanya Allah sedang mengajariku tentang makna ikhlas itu tidak menghitung. Karena ternyata selama ini aku belum ikhlas karena masih suka menghitung.
Kemarin aku memenuhi janjiku untuk berbuka bersama di pesantren Gubug. Aku bawakan 5 ekor ayam betutu yang gemuk-gemuk. Ayam betutu merupakan kuliner asal Bali, ini menu kesukaan suamiku dan eyang Virien. Satu ekor ayam utuh yang dibumbui lengkap, perutnya diisi daun singkong yang sudah direbus dan dirajang kasar dan dilumuri bumbu seperti bumbu ayam. Ayam yang sudah diisi dan dibumbui ini kemudian dibungkus daun pisang, lalu dipanggang , resep aslinya dipanggang hingga 6 jam.... tapi aku merubah resepnya sih... sebelumnya ayam tak presto dulu, jadi memanggangnya tidak terlalu lama.
Tentu saja anak-anak pondok amat menikmatinya, apalagi ayamnya empuk sekali karena dipresto itu, bumbunya juga pas meskipun yang memasak sedang berpuasa. Menyaksikan itu semua aku jadi teringat..... ikhlas itu tidak menghitung.....
Yah... sebelum memasak ayam betutu ini, aku bertanya pada bu Kot, berapa harga ayam sekilo dan berapa harga ikan lele? Saat itu aku sedang berusaha menemukan budget terendah untuk buka puasa bersama ini. Tapi kuingat eyang Virien bilang ,"Orang sana jarang makan ayam, bunda".
Segera kuhentikan aktifitas hitung menghitungku itu, menyenangkan orang lain tidak usah menghitung karena ikhlas itu tidak menghitung.....
Pengalamanku kali ini membuatku mengintropeksi masa lalu, rasanya aku sering sekali hitung menghitung dalam hal memberi. Ya Allah, ampunilah aku.... sungguh kumohon ampunan dan kasih sayangMu.
Padahal pemberian yang ikhlas akan mengundang kemudahan dalam hidup, siapapun orangnya membutuhkan kemudahan dalam hidup. Kemudahan dari Allah adalah sesuatu yang mudahnya tak pernah terbayangkan dan terpikirkan oleh kita.
"Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan kebaikan. Maka kami akan memudahkannya pada (jalan) yang mudah" (Al Qur'an: S Al Lail 5-7)
Saat buka bareng anak pondok itu, aku juga melihat bagaimana Allah memberikan berkah dalam makanan. Tadinya aku menyiapakan makanan ini untuk 50 an santri, ternyata masyarakat sekitar juga datang, malah sebagian ibu-ibu santri juga datang. Melihat begitu banyaknya orang yang hadir membuat mas Hary mulai khawatir juga, "Cukup to dik?", katanya. Dalam hatiku juga bilang begitu, cukup nggak ya?
Sambil mikir cukup apa gak cukup, aku, Windy dan beberapa ibu-ibu membagi-bagi makanan itu di atas tampah bambu yang disediakan eyang Virien. Makan bersama dalam satu nampan ini merupakan teladan Nabi yang tidak pernah kita lakukan di rumah kita. "Baca bismillah dulu ", eyang Virien mengingatkanku sekaligus menenangkan hatiku yang dari tadi cemas. Nasi dan lauk yang tersisa aku taruh di piring-piring buat mereka yang mau nambah.
Tak kusangka, selesai makan dan merekapun kenyang semua. Sisa nasi dan lauk yang tadinya aku sediakan buat yang mau nambah itu ternyata masih ada. Windy mengumpulkannya, dan setelah terkumpul ternyata masih banyak, masih setengah bakul besar nasi dan ayamnya tersisa 3/4 ekor, masih ada sisa mie dan sambal goreng kering tempe. "Ini buat sahurnya eyang ", kataku takjub, rupanya Allah masih menghendaki eyang Virien dan beberapa santri yang menginap untuk makan sahur dengan makanan kesukaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar