Hari raya di rumah ibu Ngantang, seorang lelaki tinggi besar datang mengucap salam, beliau adalah sahabat bapak yang kukenal sejak aku kecil, pak Mansyur Ghozali. Beliau langsung mencari bapak ke ruang keluarga.
"Jangan dibangunkan", katanya begitu melihat bapak sedang tertidur di depan tivi.
Akupun menemani pak Mansyur mengobrol, beliau bercerita tentang putra putrinya. Ada satu kalimatnya yang membuat hatiku turut merasakan kesunyian ,"Sekarang tinggal aku dan bapakmu teman seusia yang masih hidup, semuanya sudah tiada", kata beliau.
Ditinggalkan banyak sahabat untuk selama-lamanya, betapa sunyinya ..... Aku jadi teringat pagi tadi saat belanja ke pasar, ada sebuah toko tutup yang saat aku melewatinya membuat hatiku sunyi dan kehilangan. Biasanya bila melewati toko ini, ibu pemilik toko yang ramah menyapaku dan menanyakan kapan aku datang? apakah bersama suami dan anak-anakku? bagaimana kabarku dan anak-anak? Sebuah perhatian yang hangat. Kamipun bersalaman, kadang aku belanja juga disini. Sekarang semua itu tinggal kenangan yang menyisakan kesunyian, karena ibu itu telah berpulang ke rahmatullah.
Tiap kali mudik lebaran ke Ngantang, aku dan mas Hary biasa 'menggiring' keempat anak-anakku bersilaturahim ke tetangga-tetangga. Dan rasanya selalu ada cerita kehilangan, kebanyakan memang orang tua yang meninggal, tapi bukan berarti yang muda luput dari maut. Dimanapun kita bersembunyi, kematian akan datang, setiap jiwa akan merasakan mati, sunyi dan sendiri.
Kesunyian yang dirasakan oleh orang-orang yang ditinggalkan barangkali tak bisa dibandingkan dengan kesunyian si mati di alam kubur. Kita tak bisa membayangkan bagaimana keadaan kita dan siapakah yang menjadi teman kita di alam kubur. Apakah amal shaleh yang menjadi pendamping setia kita, ataukah setumpuk dosa?
Saat jazad kita terkubur kaku di tanah, apakah bumi akan memeluk kita dengan hangat sehangat buaian bunda? ataukah akan meremuk redamkan tulang belulang kita?
Bila aku mengambil kesimpulan tentang 'teman' kita sesudah mati dari ayat-ayat Al Qur'an dan hadist (mudah-mudahan kesimpulan ini benar, dan bila benar itu adalah dari Allah), teman kita adalah totalitas kehidupan yang kita jalani. Maksudku, keseluruhan diri kita yaitu perasaan, pikiran dan perbuatan kita yang bekerja bersama-sama melakukan sesuatu. Totalitas saat shalat disebut khusyu', totalitas dalam memberi disebut ikhlas, totalitas dalam melayani sesama disebut tulus.
Shalat bisa menjadi 'teman' dan menjadi pembela kita, hanya bila dilakukan dengan khusyu'. Bila tidak, kita disebut orang yang lalai dari shalat dan kitapun tidak mendapat apa-apa selain menggugurkan kewajiban.
Khusyu' berarti hati yang selalu hadir di setiap ucapan dan gerakan yang kita lakukan dengan tuma'ninah, dengan rela, tanpa tergesa sedikitpun, pikiran kitapun tidak mengembara kemana-mana karena terfokus pada shalat kita.
Selama ini kita berusaha mencapai khusyu' dengan jalan lisan mengucapkan, hati mengartikan dan gerakan tubuh mengikuti. Dalam prakteknya, aku sering merasa kesulitan untuk khusyu' dengan cara seperti ini. Aku punya cara sendiri untuk khusyu', yaitu dengan jalan membiarkan hati/perasaan yang memimpin, lidah dan anggota tubuh hanyalah mengikuti, pikiran hanya bertugas untuk menghitung jumlah rakaat dan hafalan bacaan shalat.
Saat kita ucapkan takbir dan niat shalatpun terucap dalam hati, saat inilah kita mulai mengaktifkan hati kita, agar melakukan 'kontak batin' dengan Allah. Pelihara terus agar hati tetap memimpin, lidah kita hanyalah mengikuti 'suara hati', gerakan yang kita lakukan akhirnya penuh ketenangan (tumakninah).
Totalitas kitalah yang menjadi pendamping setia sesudah mati. Selain shalat, seluruh aktifitas kehidupan yang dilakukan dengan total akan mendampingi kita. Contohnya aktifitas sebagai ibu rumah tangga yang dengan segenap hati melayani suami dan anak-anak. Totalitas sebagai ibu bukan ditandai dengan mencurahkan seluruh waktu, melainkan dengan seluruh hatinya, masalah 'metode pelaksanaan' secara otomatis akan mengikuti pimpinan hati.
Seorang wanita yang full time menjadi ibu rumah tangga, tapi tiap hari mengeluh tentang kenakalan anak-anaknya, tentang repotnya mengatur keuangan keluarga, tentang sikap suaminya..... dll, bukanlah ibu yang total. Sayang sekali karena jerih payahnya menjadi ibu tak ada nilainya di hadapan Allah gara-gara keluh kesah yang tidak berguna. Ingatlah amalan yang diterima Allah hanyalah amalan yang dilakukan dengan ikhlas.
Jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun yang dilakukan dengan ikhlas. Misalnya saat bermain dengan anak kita, lakukan dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, karena anak adalah amanah Allah, menemani mereka tumbuh dan berkembang merupakan hal besar dan penting. Kadang saat bermain dengan mereka, pikiran melayang ke pekerjaan atau hal lain, lalu merasakan bahwa waktu bersama anak hanyalah waktu yang terbuang karena tidak ada nilai ekonomisnya, rugilah kita dunia akhirat.
Banyak hal dalam hidup terjadi setiap hari, cobalah lakukan dengan total, biarkan hati yang memimpin, agar semua yang kita lakukan bisa menjadi teman saat kita sendirian di alam kubur.
Totalitas bukan hanya dilakukan saat berbuat baik, saat berbuat dosa biasanya lebih mudah untuk total. Sebagai konsekuensinya, dosa-dosa kitalah yang akan menjadi teman kita di alam kubur. Silahkan memilih sendiri, amal baik atau buruk yang akan menemani kita nanti.
Hidup adalah ibadah yang akan kita bawa mati. Bila hidup kita dalam sehari 24 jam, berapa jamkah yang merupakan ibadah kita? 5 x 5 menit? saat terjaga 12 jam?
Bila ingin jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik yang kita lalui menjadi ibadah kita, cobalah untuk total / khusyu' / ikhlas / tulus. Jadikanlah hati / nurani menjadi pimpinan yang menggerakkan pikiran dan tubuh kita.
Hati / nurani kita adalah pemimpin yang selalu benar, karena di dalamnya ada miniatur sifat-sifat Allah saat ruh ditiupkan ke tubuh. Hanya hati yang keras, hati yang tertutup, hati yang berpenyakit membuat manusia tidak bisa lagi mengenali nuraninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar