Bertemu saudara di Ngantang dalam suasana idul fitri saat aku bersilaturahim ke rumahnya, tentu yang terbayang adalah kegembiraan. Tapi tidak kali ini, tak kusangka dia memendam kemarahan padaku yang dia ungkapkan di malam yang mestinya menjadi malam yang damai.
Kata dia, beberapa bulan yang lalu dia telepon ke hpku dan sms aku, tapi aku malah mematikan telepon dan tidak membalas smsnya. Akupun ngotot bahwa aku tidak pernah menerima telepon dan sms dari dia. Lalu kuingat dulu dia memang tidak punya hp, biasanya kami berkomunikasi lewat telepon rumah. Jadi saat itu aku memang tidak menyimpan nomer hpnya. Baru beberapa hari terakhir aku menyimpan nomernya.
Akupun menjelaskan padanya bahwa aku memang saat itu tidak menyimpan nomernya, tapi aku memang sering menerima telepon yang bila kuangkat sambungan langsung putus. Aku sering mengira itu telepon dari pelanggan atau murid pelatihan "Melukis Kain" yang ingin menanyakan sesuatu. Biasanya bila telepon itu dari pelanggan, saat gagal menghubungiku mereka akan menelepon ke rumah atau ke hp Lely.
"Masak? wong smsnya sudah terkirim kok", saudaraku itu ngotot. Mo gimana lagi, akupun meminta maaf atas semuanya.
Aku sendiri juga sering mengirim sms yang sudah ada konfirmasi pengiriman, tapi orang yang kukirim sms merasa belum menerima smsku.
Untunglah, perselisihanku malam itu dipotong oleh suamiku.
"Memang di rumah Pakis sinyalnya tidak begitu kuat, kadang putus nyambung", kata suamiku meredakan suasana.
Sakit sih dituduh seperti itu, aku telah jadi korban buruk sangka. Untunglah saudaraku itu mau mengerti penjelasan suamiku, sekarang dia jadi baik lagi.
Buruk sangka memang menciptakan permusuhan dan hal lain yang mungkin kita tidak tahu.
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”. (QS. Al-Hujurat, 49 : 12)
Rasulullah SAW bersabda :“Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena berperasangka buruk itu sedusta-dusta pembicaraan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila melihat suatu peristiwa atau kejadian, pikiran kita sering sekali 'lancang' mengambil kesimpulan atau menyalahkan seseorang, padahal semua ini cuma memicu salah sangka dan permusuhan. Sadarilah makna ayat Allah dan hadist tersebut diatas, kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, jangan merasa 'lebih tahu dari Allah'. Jadi tugas kita hanya berbaik sangka saja pada semua hal, teristimewa pada semua kejadian yang ditakdirkanNya.
Syetanlah yang membisikkan dalam hati kita prasangka-prasangka untuk merusak persaudaraan dan merusak tatanan. Musuh kita adalah syetan, bukan teman, saudara, suami/istri kita. Saat syetan berbisik, segera istighfar, mengingat Allah dan memohon Allah mengeliminasi perasaan tersebut.
Bila tingkat keimanan kita makin tinggi, maka akan semakin halus suara bisikan setan itu, hingga kadang kita terkecoh, karena menyangka bahwa itu adalah kebenaran hingga kita mengikutinya. Untuk itu kita mesti lihai dalam mengenali 'gerakan-gerakan' batin kita, apakah digerakkan oleh syetan dan hawa nafsu ataukah digerakkan oleh iman.
Menurut eyang Syamsul'alam almarhum (beliau penulis di majalah jawa 'Panyebar Semangat'), di hati manusia ada 'kedalaman hati' dan ada 'tepian hati'. Syetan hanya sanggup berbisik di tepian hati. Bagaimanakah kita mengenali mana kedalaman hati dan mana tepian hati? Ya harus 'menyelam' ke dalam diri sendiri, bertahanuts / meditasi.
Tandanya bila itu bisikan syetan adalah bila sesuatu itu mengarah pada kesedihan, kerusakan, permusuhan, kehancuran, putus asa, khawatir, sakit hati.... dan hal negatif lainnya. Sebaliknya, bila itu bisikan malaikat dan iman kita, maka arahnya adalah kebahagiaan, kesucian, kemuliaan, ketinggian derajat, kerukunan dan hal positif lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar