Jumat, 04 Juli 2014

Fanatisme Yang Indah

Kata eyang dulu aku fanatik sama Muhammadiyah, dan susah 'ditekuk'. Hmmm ..... memang aku akui dan aku tidak menyesalinya. Seiring waktu, seiring pengalaman, seiring kedekatan yang makin intim dengan al quran, dan juga berkat bimbingan eyang, hatiku jadi terbuka, dan rasanya aku lebih bahagia setelah terlepas dari belenggu fanatisme.  Seperti terlepas dari ikatan yang menyesakkan dada, hati menjadi lapang dan luas.

Sesungguhnya hati itu lebih luas dari semesta, tapi manusia sendirilah yang mempersempitnya.  Padahal saat dia bisa menjelajah keluasannya, keindahan begitu menakjubkan.

Pernah merasakan jadi orang fanatik, itu 'sesuatu' banget, setidaknya kini aku tidak bisa mencela orang-orang  yang fanatik, hanya aku doakan saja, semoga suatu saat dia merasakan betapa indahnya hati yang luas dan lapang itu.

"Fanatik itu wajib", kata eyang, ... loh ?
"Fanatik yang dibenarkan al quran adalah fanatik dalam hal aqidah, harus dibela sampai mati", lanjutnya .... oh.

"Dalam hal yang lain selain aqidah, semua boleh menyesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat", kata eyang.
"Iya ya, bukankah Allah sendiri yang menciptakan manusia berbangsa-bangsa , bersuku-suku dan juga beragama-agama ya ", kataku.

Eyang lalu bercerita soal Imam Syafi'i dalam perjalanan raga dan jiwanya menemukan hukum yang sekarang dikenal dengan madzab Syafi'i yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia.  Cerita eyang cukup panjang, tak cukup mengingatnya, apalagi menulisnya ulang.

Tapi penjelasan eyang itu cukup menjawab berbagai hal yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku, bila dikaitkan dengan al quran, semua menjadi tampak jelas.

Ambillah salah satu contoh yang nyata, soal tata cara shalat yang berbeda antara orang NU dan Muhammadiyah, dan mungkin aliran Islam yang lain, yang masing-masing menganggap dirinya benar, sampai menimbulkan debat yang tidak berkesudahan, hingga para da'i disibukkan dengan saling membalas argumen dan dalil.

Sebenarnya hal ini tak perlu terjadi bila semua fihak mau kembali ke al quran sebagai sumber tertinggi hukum dalam Islam.  Bukankah al quran tidak mengajarkan tata cara shalat secara rinci ? hanya disebut ruku' , sujud dan waktu-waktu shalat yang lima waktu.  Sesuatu yang tidak disebut secara rinci di al quran, berarti itu sesuatu yang boleh ditafsirkan menurut pemahaman masing-masing, dan semestinya saling menghargai satu sama lain.

Syetan mudah masuk ke dalam diri orang-orang yang paling merasa benar sendiri, memancing perdebatan,  hingga mudah menghukumi orang lain sebagai bid'ah, sesat , bahkan kafir.  Naudzubillah.

Bahagiakan orang-orang yang dalam hatinya suka merendahkan orang lain yang diluar golongannya ? bahkan orang yang dalam hatinya tumbuh kebencian terhadap orang yang berlawanan dengan pendapatnya ? Inikah nilai-nilai islami itu ? inikah nilai-nilai qur'ani ?

Ingatlah, al quran diturunkan sebagai rahmat / kasih sayang bagi alam semesta.  Orang-orang yang berpegang teguh pada al quran, adalah orang-orang yang di dalam hatinya penuh kasih sayang. Orang yang dalam hatinya penuh kasih, pasti menghargai orang lain, pasti menghargai perbedaan, karena perbedaan itu qur'ani.

Ada banyak lagi pertanyaan di kepalaku soal presiden perempuan, soal khilafah , soal hukum syariat , soal pemimpin non muslim.

Soal presiden perempuan itu bukankah di dalam al quran ada dikisahkan tentang ratu Bilqis ? dan al quran tidak pernah mencelanya sebagai pemimpin perempuan ? yang dipermasalahkan adalah soal keyakinannya, soal tauhidnya.  Jadi yang perlu 'difanatiki'  adalah soal aqidah, soal tauhid, soal menyembah Allah Yang Maha Esa.

Dan soal tauhid ini, ternyata bukan cuma milik agama Islam. Coba renungkan ayat ini :

QS. Al-Baqarah [2] : ayat 62
[2:62] Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
 
Allahlah yang menciptakan mukmin , yahudi, nasrani, shabiin, dan lain-lain , dan  pada masing-masing keyakinan itu ada potensi untuk tidak bertauhid, hingga ditekankan bahwa yang selamat adalah yang benar-benar bertauhid, yang benar imannya kepada Allah, beriman kepada hari kemudian dan diiringi amal shaleh (perbuatan baik).
 
Jadi orang mukminpun musti mengoreksi imannya lagi dan tidak perlu merasa paling benar sendiri dengan keislaman kita tanpa mengoreksi diri sudah benar atau belum iman kita, dan sudahkah kita beramal saleh ? Bahkan bisa jadi orang non muslim lebih islami dibandingkan kita yang muslim, dan kita musti mengakuinya dengan jujur.

Pernah aku mikir, kenapa perilaku orang Jepang lebih islami dan lebih qurani dibandingkan dengan orang Indonesia yang mayoritas islam ini ? Dan aku jawab sendiri , karena orang indonesia sibuk memperebutkan 'bungkus' daripada isinya, lebih mempersoalkan label daripada isinya.  Sementara Islam itu adalah nilai-nilai qur'ani yang ditegakkan (karenanya akrabilah al qur'an).

Ketika nilai-nilai qurani di tegakkan, yang terhampar adalah keindahan.  Marilah kita mulai dari diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar