Jumat, 24 Desember 2010

Suami Teman Temanku

Tidak ada peristiwa di dalam hidup ini yang tanpa makna, semua Allah turunkan dengan kebijaksanaanNya, hingga terbangnya sehelai daun tertiup angin, atau meletusnya gunung Bromo dan Merapi, juga bertemu dan berpisahnya kita dengan seseorang.

Beberapa hari terakhir ini Allah mempertemukanku dengan teman lama, bahkan sahabat yang dulu tidur dalam satu kost, dengan keadaan yang membuatku sangat prihatin.  Aneka persoalan mereka hadapi yang intinya satu, ketidak harmonisan dalam rumah tangga.  Hingga aku mengambil kesimpulan, bahwa ketika seorang wanita menikah, berarti dia telah menyerahkan nasibnya, surga dan nerakanya, pada seorang laki-laki yang disebut suami.

Temanku yang (merasa) malang, hamil di usia yang sudah kepala 4, suaminya tidak bisa menerima, dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada istrinya.  Dia menderita lahir batin, begitulah yang dia ceritakan padaku.  Dengan tubuh yang kurus dan kandungan yang semakin membesar, dia tetap bekerja pulang pergi naik bison di kota yang panas dan jalan yang tidak rata.  Aku dan suamiku sampai kehilangan kata-kata ketika dia bercerita.  Aku ingin memeluknya, menghiburnya sebisaku, tapi aku hanya bisa mengelus perutnya dan bilang,"  Aduh, jangan sedih, berbahagialah, ini karunia Allah.  Dulu aku juga hamil di usia yang hampir empat puluh tahun, dan semuanya baik-baik saja".
" Indah, kamu lain, kamu sama Hary tu kompak, sejalan ", katanya,  membuat  aku tak bisa berkata lagi, bahkan ketika dia bercerita tentang betapa inginnya dia segera bebas dari kehamilannya ini.

Dan seperti sebuah kisah serial, beberapa hari kemudian aku dipertemukan dengan sahabatku semasa kuliah,  aku tidak akan bisa menceritakan keadaannya, terlalu parah nasib rumah tangganya. Kami ngobrol berempat, dan mereka berdua tak dapat bersandiwara sedikitpun di hadapan tamunya ini, kelihatan sekali mereka dalam suasana perang.  Sahabatku ini pernah menelponku beberapa tahun yang lalu, tentang kepedihan hatinya bersuamikan seseorang yang temperamental, dia berbicara di telepon lama sekali sampai tanganku capek memegang hp.  Tak kusangka sampai sekarang dia masih belum dapat menyelesaikan kemelut rumah tangganya.  Dan kembali aku mendapat komentar yang menyiratkan rasa irinya melihatku berdua yang katanya selalu kompak dan bahagia.

Serial itu berlanjut dan berlanjut dengan kisah yang berbeda-beda. Ada sms mampir ke hpku : Bu, apakah ganjaran bagi seorang ayah yang tidak pernah menafkahi istrinya?  Dan sungguh aku tak tahu jawabannya, karena ganjaran yang berupa pahala atau siksa hanya Allah yang mengetahuinya.

Aku bukanlah seorang yang pandai memberikan nasehat.  Tapi aku ingin sekali mengatakan pada teman dan sahabatku yang bermasalah dalam rumah tangganya untuk sejenak mengevaluasi diri,  diam, merenung. Berhentilah menyalahkan orang lain, apalagi suami.  Setiap kejadian demi kejadian dalam hidup kita membentuk suatu rangkaian sebab akibat,  mulailah mengoreksi diri sendiri dan memohon ampunan atas segala kesalahan yang pernah dibuat oleh hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita kepada Allah.  Luruskanlah niat kita dalam berumah tangga, hanya untuk mendapatkan ridhaNya, bukan untuk membuktikan kita salah atau benar, juga bukan untuk menang atau kalah.  Terimalah setiap hal baik atau buruk menurut pengamatan kita dengan ikhlas dan syukur.  Carilah hal-hal yang bisa disyukuri dalam hidup kita sekecil apapun (seperti melihat cerahnya sinar matahari) setiap hari, limpahkanlah perasaan bahagia ke dalam hati kita sebanyak mungkin.  Carilah segala sebab yang membuat kita bisa memaafkan pasangan kita.  Dendam dan sakit hati tak akan menyumbang perbaikan apapun dalam rumah tangga kita.

Cobalah sahabat, aku ingin melihat kalian bahagia. Dunia ini indah, apalagi bagi yang beristrikan bu Indah ... hahaha. Meratap tidak membuat hidup menjadi bahagia bukan ?

Kamis, 23 Desember 2010

Yang Palling Kuingat Dari Ibu

Yang paling kuingat dari ibu adalah...
Saat anakku Aden yang baru berumur satu tahun kena muntaber, beliau yang seorang guru, dari pagi sampai siang mengajar, sampai di rumah beliau mencuci dan menyetrika baju Aden untuk dibawa ke rumah sakit di sore harinya.  Malamnya beliaulah yang bolak balik terjaga bila Aden buang air atau rewel. Sedang aku dibiarkannya tidur dan hanya terbangun saat menyusui, itupun sambil merem.  Paginya beliau menempuh perjalanan 30 km naik bis untuk pergi mengajar, karena rumah sakitnya di Batu sedang rumah ibu dan tempat ibu mengajar di Ngantang, tentu saja sambil membawa baju kotor Aden.  Sorenya beliau menempuh perjalanan 30 kilometer lagi untuk menemaniku menjaga Aden. Begitulah kejadian yang berputar selama Aden di rumah sakit.  Oh ibu.

Aku pernah begitu sakit hati pada ibu selama bertahun-tahun. Aku masih SD kala itu, saat kami sekelas naik gunung Selokurung, ibu berpesan kepada guruku agar aku berhenti di pertengahan, tidak usah sampai ke puncak.  Tentu saja guruku menuruti beliau karena ibuku kepala sekolahnya.  Sedangkan aku dengan penuh rasa dongkol mematuhinya, lalu beberapa hari kemudian hatiku dipenuhi rasa iri melihat foto teman-temanku yang berpose penuh kegembiraan di  puncak Selokurung.

Aku pernah merasa tidak diperlakukan dengan adil. Itu saat aku SMP, teman-temanku ikut beladiri tapak suci, sedangkan aku tidak diijinkan.  Tapi beberapa waktu kemudian adikku Anisa beliau ijinkan ikut tapak suci.

Juga saat teman-temanku yang putrinya guru-guru, berarti putri teman ibu, ikut vokal grup,  aku sendiri yang tidak boleh. Aku hanya bisa iri ketika teman-temanku yang cantik-cantik tampil di resepsi tujuh belasan di kecamatan.

Aku sering protes tapi hanya di dalam hati,  mengapa masa remajaku yang indah banyak sekali dibanjiri kata 'jangan' dan 'tidak boleh'.

Aku baru mengerti bila semua itu adalah ungkapan sayang ibu padaku.  Kuingat saat ibu melepasku mengikuti suami, beliau bilang," Rasanya kok tidak tega ya nduk melepasmu.  Ga seperti saat kakakmu dulu ikut suaminya.  Kakakmu itu mandiri dan cekatan,  sedang kamu ...".
Ooo, itukah sebabnya hidupku dipenuhi kata jangan dan tidak boleh.  Karena ibu menilaiku ringkih,
Memang bila dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku lebih pendiam dan lembut.

Yang paling kuingat dari ibu adalah cara beliau mengenang kami, anak-anaknya.  Ibu punya sebuah almari tua, yang berisi pakaian-pakaian tua.  Di almari ini aku masih bisa menemukan kerudung merah muda berbordir bunga di tepinya,  itu kerudung yang aku pakai mengaji sewaktu aku masih kecil dulu. Aduhai betapa lamanya. Ada baju-baju kecil milik adik-adikku, bahkan baju kecil anak-anakku.  Kuingat ibu pernah menata almari itu sambil berkata," Trenyuh melihat baju-baju ini,  sekarang semua sudah dewasa".

Rumah ibu yang besar memang banyak almarinya.  Di almari yang lain ibu masih membiarkan stiker "Jambore Nasional 1981"  Itu adalah jambore nasional pramuka yang pernah kuikuti saat aku masih SMP.  Dibawahnya ada stiker pokemon yang ditempelkan Aden dan Zeli sewaktu anak-anakku itu masih SD dan tinggal dengan ibu, sekarang Aden dan Zeli sudah kuliah dan stiker itu masih menempel disana.

Terlalu banyak yang ingin kukatakan pada ibu.
Rasa terimakasihku karena telah membentuk aku hingga menjadi seperti sekarang.
Ungkapan maafku karena prasangkaku, terutama saat aku belum menjadi seorang ibu.
Cinta dan hormatku.

Jumat, 17 Desember 2010

Alni dan Kikan

Sore tadi Alni diajak tantenya ke rumah mbak Nana -temannya- yang mempunyai 2 orang anak  balita, yang satu sebaya Alni, namanya Kikan, dan adiknya Nasya.  Bertiga bermain  menunggu aku jemput, sedangkan aku sendiri dari Surabaya macet di Lapindo, jadi ya sampai jam 9 malam baru sampai di Malang.

Ini cerita tantenya tentang pembicaraan dua anak TK itu, Alni dan Kikan, sewaktu aku tak kunjung datang.

" Alni nginap disini saja ", kata Kikan.
" Aku kan gak bawa baju ", kata Alni.
" Pakai bajuku saja, tak pinjami ".
" Memangnya cukup bajumu sama aku, kan ukuranku tigapuluh meter ".
" Aku ukurannya limapuluh meter ", kata Kikan.

Tentu saja semua yang mendengar pembicaraan itu terbahak-bahak.

Kamis, 16 Desember 2010

Keinginan Yang Selalu Dikabulkan Allah

Dua minggu terakhir di bulan desember ini aku selalu berdua dengan suamiku, keliling ke beberapa kota di Jawa Timur memberi pelatihan melukis diatas kain.
Terlepas dari kesibukan rumah dan usaha yang ribet, membuat pikiranku jadi terlalu meganggur.  Tak banyak yang kulakukan dan yang kupikirkan setelah memberi pelatihan yang materinya sudah aku hafal betul.  Membuatku jadi melakukan aktifitas yang tak biasanya, yaitu mengamati suamiku.  Kusadari betapa istimewanya lelaki yang Allah pilih menjadi pendamping hidupku ini.

Diantara istimewanya dia adalah keinginannya mudah sekali dan cepat sekali dikabulkan Allah, dan dengan hal yang lebih, lebih dan lebih baik.
Dia pernah bilang, "Aku ingin pergi denganmu, berdua saja, nginap di hotel yang nyaman, sesekali ".  Eh, Allah mengabulkannya tidak lama lagi, dan berkali - kali pula. Saat berkeliling memberi pelatihan ini, membuat kami selalu berdua, tentu saja nginap di hotel yang nyaman karena semuanya dibiayai, dapat honor yang gede pula untuk kami berdua (dia asistenku ... hehehe).

Pernah pula waktu kami mencari penginapan di suatu kota, dia bilang ingin nginap di hotel yang masih baru.  Dapatnya kami nginap di wisma milik koperasi yang masih gress, pintu dan lemarinya masih bau pelitur, kamar mandinya masih bau semen, showernya saja masih ada barcodenya, wisma tersebut belum launching malah, jadi kami berdua yang nganyari.

Banyak hal kecil dan besar yang Allah kabulkan untuk keinginannya, sampai membuatku takjub. Apalagi suamiku ini bukanlah orang yang rajin mengamalkan amalan sunnah,  kalau amalan wajib sih dia tertib banget. Jadi apa sih rahasianya?  Dan ketika ini kutanyakan padanya, jawabannya hanya satu kalimat.
" Itu sih karena Allah sayang sama kita ", katanya.  Dia memang tidak pandai mendiskripsikan perasaannya, jadi aku harus memikirkan apa makna kalimatnya yang hanya beberapa kata ini.

Kesimpulanku, dia adalah orang yang meletakkan kasih sayang Allah dibalik semua peristiwa ajaib yang dialaminya. Dia juga bukan orang yang suka minta ini itu pada Allah, karena dia pernah bilang padaku," Aku ini lo dik malu kalau minta-minta sama Allah ". Untuk kalimatnya yang ini aku menerjemahkannya sendiri, berarti dia merasa Allah sudah memberikan semua yang dia butuhkan, jadi dia tinggal mensyukuri dan membesarkan cintanya pada Allah saja.

Meskipun dia suamiku,  kadang susah juga memahami kata-katanya. Tapi untuk kalimat ini," Itu sih karena Allah sayang sama kita ", membuatku harus banyak belajar dalam menyikapi peristiwa kecil atau besar dalam hidup.

Contohnya kemarin, suamiku memuji manisnya apel fuji yang kupilih, lalu aku jawab," Ini gara-gara karyawan supermarket ngajari aku milih yang warnanya merah merata, katanya itu yang manis ".  Sejenak kemudian aku tersadar,  bukankah tidak ada hal kecil atau besar melainkan Allah penyebabnya, jadi Allahlah yang menghadiahiku apel fuji yang manis, menyehatkan mulutku sehingga aku bisa menikmatinya, semua bersumber dari kasih sayang Allah.  Mestinya aku tadi bilang." Itu sih karena Allah sayang sama kita".


Minggu, 12 Desember 2010

Tuhan Sudah Membalasnya

P Hanafi -seorang teman-  menulis di status fbnya  ," Biar Tuhan saja yang membalas kejahatan mereka, karena hanya Dia yang berhak menghakimi kita ". Yah dia benar sekali, bahkan tanpa kita mengharap Tuhan membalas kejahatannya, Dia tetap akan memberi balasan atas setiap kejahatan yang dilakukan makhlukNya.  Aku pernah mengalaminya sekitar enam tahun yang lalu.

Saat itu aku mengikuti pelatihan ekspor yang diadakan di Surabaya selama 3 hari, semua peserta berasal dari kabupaten Malang dan menginap di hotel tak jauh dari tempat pelatihan.
Saat kami semua melihat-lihat show room hasil produksi UKM Jatim di gedung Pusat Pelatihan Ekspor, seorang bapak dari dinas Koperasi Kab. Malang datang menghampiriku, lalu bilang, " Bu Indah nanti dijadwalkan pameran di Jakarta bersama ibu X. Itu orangnya ", beliau menunjuk seorang ibu yang masih muda tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku sudah biasa pameran dengan berbagi stand begini, biasanya stand ukuran 3 m persegi dipakai berdua, dan gratis. Karenanya saat di hotel, begitu punya kesempatan berbincang dengan ibu X yang baru kukenal  ini, aku mencoba bicara padanya tentang pameran mendatang.
Ga tahu bagaimana mulanya kok ibu-ibu peserta banyak yang ngumpul di kamarku, termasuk ibu X. Aku bilang pada ibu X, " Kata bapak dari dinas kita bakalan pameran bareng di Jakarta ".
" Maksudnya pameran ... (aku lupa pameran apa), di gedung ... (aku lupa)? ", tanyanya.  Aku mengiyakan.  Dan tak kusangka-sangka dia marah besar, meledak-ledak di hadapan ibu-ibu yang sedang berkumpul di kamarku.
" Kamu ikut gratis kan?  Aku ini bayar dan aku bayar untuk satu stand yang kupakai sendiri. Mengapa orang dinas memasangkan aku sama kamu ? ", itu salah satu kata-katanya, dan telunjuknya itu lo, menuding-nuding aku seolah-olah aku ini telah merebut suaminya.
" Ga tahu lah, aku kan hanya dikasih tahu orang dinas seperti itu ".
"Pak siapa namanya ?", dia bertanya menyelidik.
Sungguh respon yang luar biasa tak kuduga.  Biasanya sih, kalau aku pameran berdua seperti ini, kami yang jadi wakil kabupaten akan janjian, berangkatnya naik apa, maketkan barang lewat apa, nginapnya dimana ... dll.  Kali ini aku betul-betul kaget, dan bukan hanya itu ulah bu X yang sangat menyakitiku.  Sewaktu makan malam dia bicara dengan bapak dari dinas, pasti membicarakan aku karena telunjuknya menunjuk-nunjuk padaku.
Aku merasa terpukul dan malu sekali, aku menelpon suamiku sambil menangis, sampai dia tidak bisa tidur semalaman memikirkan aku katanya.

Selepas pelatihan, aku segera melupakan insiden memalukan itu, mungkin karena kesibukan pekerjaan, lagi pula aku tak pernah bertemu dengan ibu X lagi hingga sekarang. Aku hanya mendengar kabarnya secara kebetulan sewaktu aku ada keperluan menemui pak Nanang, salah seorang pegawai dinas Koperasi Kabupaten Malang.  Pak Nanang sebenarnya hanya bermaksud menasehatiku untuk berhati-hati bila melakukan ekspor sendiri, terutama masalah pembayaran.
" Jangan sampai mengalami seperti yang menimpa ibu X, dia rugi seratus jutaan gara-gara eksport ke negara ... (aku lupa) ", kata pak Nanang padaku. Saat itu uang seratus juta banyak sekali, BBM belum naik dua kali lipat, presidennya masih bu Mega dan ekonomi stabil.
Kontan memoriku memutar ulang perlakuannya dulu padaku dan hatiku bilang, Allah sudah membalasnya .

Lega karena sudah membuktikan bahwa Allah tak pernah menutup mata bila ada hambaNya didholimi , dan lega karena melihat orang yang mendolimi aku menderita.  Duh malunya bila mengingat perasaanku yang begitu kejam saat itu.

Belakangan aku mulai mengerti betapa salahnya aku memilih perasaan itu.  Bila kutahu betapa amat besar karunia Allah  yang kuperoleh bila mau sedikit saja memaafkan, maka aku pasti sudah memaafkannya sejak detik pertama dia ngamuk-ngamuk. Memaafkan ternyata bisa memperbaiki semuanya.  Aku menulis pengalaman indahku dalam memaafkan di note FB ku 'Keajaiban Memaafkan', pengalaman nyata yang melukiskan betapa karunia Allah sangat besar kepada orang yang memaafkan, bahkan telah merubah secara ajaib perilaku teman yang telah mendholimi kita. Indah bukan?

Perlahan-lahan aku mulai mengerti, pada saat Allah menurunkan cobaan berupa didholimi orang, sebenarnya Allah sedang memberi peluang kita untuk bisa merubah dunia. Dimulai dari diri kita sendiri, menyadari bahwa kita sedang dilatih Allah untuk menjadi orang yang pemaaf dan lapang dada. Setelah kita memaafkan maka menimbulkan perasaan kasih di hati kita kepada siapapun, bahkan kepada orang yang telah menjahati kita.  Perasaan seperti ini adalah perasaan yang derajatnya tinggi di hadapan Allah dan di hadapan manusia.  Lewat ketinggian inilah kita bisa melihat segala sesuatu lebih luas, lebih sempurna, lebih detail dan tentu saja lebih indah.  Pada titik ini karunia Allah berdatangan, baik berupa materi dan hal lain yang Dia kehendaki.

Pilihan ada di tangan kita, mau mengambil peluang ini atau mengabaikannya.  Allah memang membalas setiap kesalahan hambaNya, tapi kita tak memperoleh apa-apa selain rasa puas melihat orang yang telah menyakiti kita menderita.

Duhai hati, berhentilah menjadi raja tega.

Kamis, 09 Desember 2010

Bunga Yang Berayun Seperti Kepak Sayap Kupu-Kupu

Aku pernah dibawa terbang, ke taman bunga yang berada antara hangat dan sejuk, dengan cahaya yang terangnya tidak menyilaukan dan tidak pula panas,  dengan kolam yang berair jernih, dan bunga-bunga yang berayun seperti kepak sayap kupu-kupu.  Indahnya membuat ingin seterusnya berada disana.

Itu semua kualami saat berbaring di rumah sakit beberapa tahun yang lalu, kena demam berdarah, dengan trombosit yang rendah sekali sampai harus tranfusi darah.  Tubuh lemah dan tidak boleh banyak bergerak, apalagi turun dari tempat tidur.  Suamiku menunggu dengan setia, siang malam.

Mengingat itu semua membuatku menitikkan air mata, betapa elok caraNya menghiburku, membuatku semakin merindukanNya. Mengingat itu semua membuat semakin  bertambah-tambah imanku, betapa Maha Kuasa Dia menciptakan keindahan yang tak terbayangkan oleh kita.  Ingat bagaimana surga dilukiskan sebagai sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh manusia keindahannya.

Allah, aku percaya akhirat, surga dan neraka.  Rasanya aku tak punya masalah dengan imanku, hingga pada suatu kesempatan berbincang dengan Bpk kiai di pondok pessantren Tirtoyudo.

Beliau masih muda, tapi pembawaannya langsung menyiratkan 'bobot'nya, apalagi saat beliau bicara. Saat beliau bicara tentang tauhid, membuatku jadi bertanya pada diriku sendiri," Sebenarnya sudah berimankah aku?"  Panjang lebar beliau berbicara dengan kami berdua, aku dan suamiku, tentang tauhid.

Salah satu yang kuingat adalah ,"Orang yang tauhidnya benar, dia tak pernah menghina orang lain, meskipun hanya di dalam hatinya.  Bahkan kepada seorang gelandangan yang makan dari tempat sampah pun, hatinya tunduk, kita tidak tahu, mungkin orang itu adalah orang yang dekat dengan Allah. " kata beliau. Lalu aku dibuat terpana oleh penuturan baliau dalam menafsirkan beberapa ayat Al Quran dan menghubungkan antara ayat yang satu dengan yang lain, aku merasakannya sebagai penafsiran yang sangat dalam dan tidak biasa.

" Hati orang yang tauhidnya benar itu tunduk,  ndingkluk  (beliau mengisyaratkan dengan tangannya yang tertekuk di pergelangan)  begini di hadapan manusia.  Jangan sampai hati kita menyimpulkan atau mengomentari sesuatu hal yang ada di depan mata kita, hanya Allahlah yang tahu hakekatnya ", lanjut beliau.

" Kekasih-kekasih Allah itu tersebar di masyarakat, tidak harus kiai,  jangan sampai kita mempunyai hati yang jelek kepada mereka, bisa kewales ( mendapat balasan Allah) kita ".

Pulang dari pondok di Tirtoyudo itu perasaanku sungguh tidak karuan, gelisah. Betapa bertaburan dosa dan kesalahanku.  Aku suka memandang rendah orang lain, aku suka sinis bila ada peminta-minta yang datang membawa map, apalagi orang yang meminta sumbangan dengan cara bershalawat dan berdzikir dari dalam mobil sementara anak buahnya berjalan dari rumah ke rumah membawa kotak sumbangan. Padahal suamiku suka mengingatkanku dengan mengatakan, " Dik, yang membawa mereka ke hadapan kita adalah Allah ".

 Aku suka memarahi karyawan yang tidak faham-faham dengan tugas yang aku berikan padanya, padahal bukan pilihan dia untuk berpendidikan rendah sehingga tidak mudah memahami.

Bila kita yakin bahwa dibalik semua kejadian adanya dengan ijinNya, dibalik semua perilaku orang adalah Allah, maka mengapa kita mencela skenarioNya.  Mungkin inilah salah satu yang harus kufahami,  dan aku juga mesti lebih meluaskan hati dengan menyayangi dan mendoakan mereka.

Ustadz Virin bilang padaku ,"Allah sudah mengajari bunda lewat rasa, setelah sebelumnya lewat berbagai peristiwa dalam hidup ".

Meski jatuh bangun, ingat dan lupa lagi, kucoba memahami maksud Kiai tentang tauhid yang benar.  Pernah aku merasakan bahwa tauhid itu adalah suatu rasa yang indah, saat dimana tidak ada yang lebih berarti bagi kita selain Allah, tidak manusia, apalagi uang dan materi.

Aku rasakan bahwa jalan menuju tauhid adalah jalan yang Dia ciptakan untuk hamba yang dipilihNya, hanya kemurahanNya yang membuat orang bertauhid, bukan karena usahanya. Perasaan seperti ini indahnya melebihi bahagia.  Makanya kita berdoa di setiap shalat, membaca al Fatihah, memohon petunjuk dan pimpinanNya.

Ingat taman bunga yang berada antara sejuk dan hangat, dengan kolam yang berair jernih, dengan bunga yang berayun seperti kepak sayap kupu-kupu .... itu hanyalah sebuah tempat, jangan aku merasa puas hanya karena pernah berada disana.  Merasa sudah disayang Allah, padahal masih jauh perjalanan tauhid yang harus ditempuh, dan keindahan demi keindahan menunggu disana...

Bapak Syamsul Alam almarhum (semoga Allah merahmati beliau) pernah mengajariku, bahwa dalam perjalanan keimanan seseorang ada maqam2 tertentu, atau stasiun-stasiun , kita bergerak dari stasiun satu ke stasiun berikutnya seiring dengan naiknya nilai keimanan kita, hingga bertambah dekat dengan tujuan kita yaitu Allah.  Saat itu aku hanya memahami, tapi belum merasakan betapa indahnya pemandangan di stasiun2 itu dan betapa semakin indah saja pemandangan saat kita semakin dekat dengan tujuan kita, Allah. Tapi bagaimana juga indahnya pemandangan-pemandangan itu , tetaplah bukan tujuan.

Jangan terpesona dengan keindahan yang kita lihat di sepanjang perjalanan menujuNya, jangan lalai dan jangan mudah dipalingkan dari Allah, karena keindahan yang abadi hanyalah berada di sisiNya saja, menyatu dengan kasihNya dan memancarkan kasih itu ke seluruh alam.

Sabtu, 04 Desember 2010

Mengapa Ibadah Tidak Membuat Orang Menjadi Baik

Pernah pada suatu ketika, aku bertemu dengan seorang ibu yang rajin sekali berpuasa dan sholat tahajud.  Sebenarnya beliau ini mempunyai wajah yang lembut dan tutur kata yang halus pula.  Tapi, sungguh betapa menjengkelkannya dia.  Sempat membuatku berpikir dan bertanya ,"Allah, mengapa ibadah tidak membuat orang menjadi baik dan mengerti orang lain?"  Aku  gelisah dalam beberapa hari.

Pertemuan itu terjadi dalam sebuah pameran di gedung yang cukup bergengsi di Jakarta.  Kami diajak oleh sebuah institusi pemerintah, didampingi 3 orang dari dinas terkait.  Sebuah stand pameran berukuran 3 x 4 m  dibagi bertiga, aku,  ibu itu,  dan dinas yang menjual informasi.

Sebagai seorang pengusaha yang nunut, semestinya kita bisa memposisikan diri, harus rela diatur oleh si empunya stand.  Tapi tidak halnya dengan si ibu ini,  dengan ringan dia memajang barang dagangannya sehingga brosur-brosur dari dinas kehilangan tempat, bahkan sebagian menutupi daganganku juga.  Aduh, ibu-ibu pendamping sempat dongkol dan hanya bisa bisik-bisik di belakang

Tapi ketika si ibu mendatangkan sanak familinya yang dengan enjoy duduk-duduk menenuhi stand, terpaksa ibu-ibu dari dinas melarang dan membatasi satu orang saja yang menunggu stand.  Tapi dia masih maksa juga, menunggu stand dengan saudaranya, jadi dua orang.  Jadilah stand yang yang berukuran 12 m persegi itu dijaga oleh enam orang.  Ibu-ibu dari dinas sampai mengalah,  bergantian mereka jalan-jalan, biar standnya tidak terkesan penuh.
Yang lebih menjengkelkan lagi, dia pernah membeli kerudung lukisku, tapi dia memaksaku menambahkan lukisan (aku membawa cat saat pameran), disaat semua mau pulang.  Dia ini tidak tahu atau tidak mengerti atau tidak peduli melihat kami semua kelelahan, dan begitu merindukan kasur empuk. Kuingat 3 orang ibu dari dinas berdiri menungguku, terkantuk-kantuk dengan mendekap tas, bersiap pulang. Aku yang enggan berdebat  menurutinya, seperti seorang hamba patuh pada tuannya ,oh.

Tiap hari sepulang pameran aku bertanya pada Allah," Mengapa ibadah yang sangat intensif tidak membuat hatinya lembut untuk memahami orang lain?"

Allah menjawabku.  Dalam kesempatan mengobrol dengannya, dia bercerita, betapa takutnya dia melihat pergaulan remaja sekarang, merokok, minuman keras, narkoba dan banyak kenakalan lain.  Dia berpuasa dan bertahajud untuk memohon pada Allah agar anaknya dijauhkan dari semua itu. Dan anaknya memang jauh dari semua yang dikhawatirkannya.

Akupun mengambil kesimpulan, inilah jawaban Allah, bahwa seseorang akan mendapat apa yang diniatkannya.  Saat dia beribadah demi anaknya, Allah penuhi permintaannya, hanya yang diniatkannya, tidak mendapat yang lain.  Tapi bila seseorang beribadah demi cintanya pada Allah, maka dia akan mendapat semuanya, bagusnya dia di hadapan Allah sekaligus bagusnya dia di hadapan manusia dan terjauhkannya dia dari apa-apa yang dikhawatirkannya.

Di penglihatan mata kelihatannya sama, berpuasa dengan menahan lapar dan haus, bertahajud 11 rekaat, lelahnya juga sama, tapi sungguh besar perbedaan dalam perolehannya,  hanya karena perbedaan dalam meniatkannya.

Allah,  tuntunlah hatiku dalam menata niatku, agar selalu karenaMu saja. Engkaulah yang membolak balikkan hati manusia.




Jumat, 03 Desember 2010

Ketulusan yang Mencengangkan

Orang-orang yang tulus, tulus dalam membantu orang lain, tulus dalam memberikan ilmunya, dan hatinya mudah jatuh melihat penderitaan orang lain, adalah orang yang telah sengaja berbuat baik untuk dirinya sendiri.  Hal yang luar biasa aku temui kemarin, cerita dari pelaku ketulusan hati yang membuka peluang bagi dirinya sendiri untuk melesat dalam karir dan finansial mereka.

Ini sepotong cerita oleh-oleh dari rapat di Surabaya, bertemu teman sesama trainer di klinik UKM propinsi Jawa Timur, ada yang aku sudah kenal, ada yang baru kenal dan ada yang baru dua kali bertemu.
Jam karet membuat kita satu jam menunggu, yang kita manfaatkan untuk saling kenal dan berbagi cerita.
Duduk disampingku seorang ibu yang berusia limapuluh tahunan lebih, seorang penulis, yang punya usaha di bidang handycraft.
" Berapa karyawan njenengan?" beliau bertanya padaku.
" Persisnya ga ingat, yang jelas lima puluh orang lebih ".  Kagetnya dia, matanya membelalak.
" Hah? Trus gimana masarkan produknya? "  beliau bertanya dengan lugunya,  dan kujawab dengan lugu juga.
" Yah, dipasarkan aja ...", kataku
" Kalau saya ini ya cuma lewat pameran, saya bikin usaha ini gak sengaja lo mbak ", kata beliau.  Lalu beliau bercerita tentang karyawan pertamanya,  seorang ibu rumah tangga yang amat membutuhkan pekerjaan.  Sebenarnya si ibu sudah mencoba menjadi pembantu rumah tangga, tapi tangannya tidak kuat mengerjakan pekerjaan kasar, ditunjukkannya tangannya yang melepuh kepada temanku ini.  Karena kasihan, diajarinya ibu ini berbagai ketrampilan.  Eh, datang lagi perempuan lain yang juga membutuhkan pekerjaan, diterimanya juga, sampai terkumpul 5 orang.  Terpaksalah temanku ini jadi pengusaha, pameran sana sini.  Yang membuat produknya dikenal,  lalu dia diambil menjadi trainernya propinsi (yang honornya lumayan buangets), lalu bertemu denganku ... hehehe.

Dalam perjalanan pulang, suamiku malah punya cerita yang lebih seru lagi.  Tadi waktu rapat kami memang tidak duduk berdampingan, suamiku ngumpul dengan bolo kurowo nya, wong lanang-lanang di belakangku. Tapi yang diceritakannya tentang seorang ibu yang datang belakangan, lalu duduk di sampingnya.
Si ibu bercerita bagaimana dia secara total membantu orang lain,  dia punya usaha pengolahan eceng gondok menjadi berbagai barang kerajinan.  Lewat pelatihan yang diselenggarakan pemerintah dia tularkan ilmunya ini pada banyak orang, dia cetak orang menjadi pengusaha, tanpa takut mereka menjadi pesaingnya.  Bahkan beliau pernah membantu seorang yang bangkrut, terpuruk dengan banyak hutang, rumahpun terjual,  sampai orang ini bisa melunasi semua hutangnya, punya rumah dan mobil lagi.
"Aku bilang padanya, janganlah memikirkan hutang, pikirkanlah membantu orang lain", demikian yang dikatakannya kepada orang yang bangkrut ini.  Resep memikirkan orang lain ini membuatnya kebanjiran order, sampai keuntungannya melebihi jumlah hutang. Amazing bukan?
Dan untuk si ibu yang tulus hati ini Allah memberinya hadiah yang luar biasa. Beliau ditarik Unesco memberi pelatihan untuk beberapa negara, jadi dia bisa keliling dunia gratis plus honor yang kemudian dipakainya membeli tanah yang luas, saking luasnya sampai lebih mirip hutan.

Allah, terimakasih, Engkau berikan kami pelajaran berharga hari ini, jadikanlah kami orang-orang yang tulus hati, yang berbuat kebikan bukan karena mengharap balasan , tapi semata-mata karena mewujudkan kasihMu di muka bumi.

Kamis, 02 Desember 2010

Sunan Giri Dan Aku

Dulu bila mendengar kata 'ziaroh' yang maksudnya ziarah / berkunjung ke makam tokoh-tokoh yang dianggap suci, aku langsung gatal-gatal, alergi ... haha, apalagi mendengar kata 'ziaroh wali lima', 'ziaroh wali delapan',  rasanya pingin bilang, ziaroh wali seratus aja, ga usah pulang ... hahaha.

Ya memang semakin kita tidak menyukai sesuatu, semakin berdatangan hal yang tidak kita suka itu di sekeliling kita, seperti mengejek, menertawakanku dan semakin keras tawanya begitu melihatku bete.

Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan Muhamadiyah, yang namanya ziarah, berkunjung ke makam orang-orang suci, adalah hal yang sama sekali asing bagiku. Dan berdasarkan berbagai pengalaman, aku jadi mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang berziarah rata-rata tujuan mereka adalah ngalap berkah  yang tidak diperbolehkan dalam agama karena tidak ada dasar hukumnya di hadist dan Al Quran.  Itulah anggapanku yang kupegang teguh selama bertahun-tahun.

Walaupun aku seorang yang mudah menerima perbedaan, tapi ga enak juga bila karyawanku semua adalah warga Nahdiyin. Mereka sering pamit tidak masuk kerja karena ziaroh wali, sesering aku bertanya kepada mereka," Apa sih tujuanmu ziaroh?" Mereka suka menjawab dengan senyuman, melengkapi alergiku dengan rasa penasaran.

Rasa penasaran itu akhirnya terjawab secara tidak sengaja.
Suatu hari aku bertiga dengan sopir dan ustadz Virin ke Gresik, mengantar mukena pesanan. Banyak sekali pesanannya, ribuan, karena produk ini diiklankan di majalah-majalah, dipakai di sinetron-sinetron dan memakai model artis ternama. Tiap minggu aku mengirimkan ke Gresik bila telah selesai 200 potong mukena.

Allah Yang Maha Membuat Rencana mengatur kedatanganku ke kantor perusahaan mukena itu tidak dalam waktu yang tepat, karena mereka sedang istirahat siang, mereka menyuruhku kembali satu jam lagi.  Aku mengajak sopir dan ustadz Virin ke makam sunan yang banyak sekali berada di Gresik.  Akhirnya kami bertiga berkunjung ke makam sunan Giri.

Bengong aku berada disana.  Melihat begitu banyak manusia duduk membaca yasin dan doa-doa, aku ikut-ikutan membaca yasin. Kubaca dengan penuh perasaan karena aku mengerti artinya, hingga aku seperti masuk ke dalam kata perkatanya. Dalam khusyukku aku seperti ditemui seseorang dari masa lalu, berpenampilan sederhana, bersurban, beliau mengatakan padaku ," Jerih payah kita dalam berdakwah itu tak sebanding dengan karunia Allah (yang luar biasa) saat kita sudah meninggal ".

Aku tertegun, air mataku spontan berjatuhan, hatiku dingin dan haru.  Tahukan perasaanku beberapa hari terakhir?  Aku patah hati, patah hati karena merasa gagal membawa karyawanku yang aku rengkuh sebagai saudaraku sendiri untuk mendekatiNya.  Aku ajak mereka mentaatiNya,  tapi mereka itu titik titik deh.  Aku datangkan pengajian ke butik, aku wajibkan berdoa dan membaca Al Quran tiap pagi sebelum kerja, tapi perilaku mereka begitu aduhai di mataku.  Aku patah hati.

Aku tak tahu siapa dia, lelaki dari masa lalu, yang kebijakan memancar dari wajah sederhananya.  Aku bayangkan betapa susah payahnya beliau menyusun strategi dakwahnya di tanah jawa yang mungkin masih gung liwang liwung.  Dan mungkin karenanya aku sekarang bergama Islam. Betapa malunya, perjuanganku memimpin beberapa puluh orang saja sudah membuatku patah semangat.

Dalam perjalananku pulang ke Malang, ustadz Virin berkata, " Diantara hikmah kita berziarah ke makam para wali adalah meneladaninya".
Aku pulang membawa semangat, seolah berguguran segala keluh kesah tentang karyawanku.

Rabu, 01 Desember 2010

Tangan Kekar Itu

Tangan kekar itu tergolek lemah, selang infus terpasang.  Itu tangan bapak, begitulah aku memanggil ayahku.
Dulu tangan itulah yang menggendongku, membelai, bahkan kuingat saat kecil dulu, pernah cacingan, dan sepanjang malam tangan itu pula yang menggaruknya sedang aku dalam posisi nungging. Geli mengingatnya.

Tangan itu  dulu hampir tiap habis maghrib memeluk aku dalam pangkuannya, sedang anak-anak kecil yang beberapa tahun diatas usiaku mengelilinginya, mengaji.
Tangan itu pula yang menurunkan aku dari gendongannya, meletakkanku berdiri tepat disampingnya, lalu bertakbir Allahu Akbar, orang-orang di belakangku mengikutinya ruku dan sujud.  Lalu setelah salam, tangan itu meraihku dalam pangkuannya, bahkan aku masih ingat dzikir yang biasa dilantunkannya.

Tangan itu pernah menenteng kanvas dari rumah tukang, untuk menyenangkan aku yang hobby melukis. Dan pernah, saking bangganya pada anak cantiknya yang diterima di fakultas perikanan , membeli kaca aquarium besar yang dibelinya dari kota, naik bis berjarak 40 km an, dan kaca itu kupecahkan, hingga jadi aquarium kecil.

Pernah kubertemu seseorang di angkutan umum, mengatakan padaku ," Untung lo ada bapak, beliau salah seorang yang merintis kehidupan beragama di desa Sumberagung ".

Aku suka bertanya pada diriku, bila orang tuaku telah memberiku masa kecil yang indah,  masa kecil seperti apakah yang telah kuberikan pada anak-anakku?  Apakah yang mereka kenang tentang ibunya?

Selasa, 30 November 2010

Ditarik Sebuah Magnet Kemuliaan

" Sudahkah anda membaca Al Quran hari ini? ", sebuah pertanyaan yang mudah sekali untuk dijawab.  Tapi pernahkah ada orang yang menanyakan kepada anda, " Apakah anda sudah memasuki Al Quran ?"  Bingung kan bagaimana menjawabnya ? wong pertanyaannya saja susah untuk diterjemahkan dalam bahasa pengertian yang umum.

Namun begitulah Al Quran,  dia bukan sebuah kitab biasa, dia bukan kitab suci yang hanya disediakan untuk dibaca, selain untuk kita renungkan dan kita amalkan, dia bisa kita 'masuki' saat dia mengijinkan kita memasuki pintunya.  Tunggulah hingga  kita akan begitu tercengang dengan pemandangan yang disuguhkannya.  Saat dia teteskan pencerahan di qalbu, gugurlah semua prasangka dan paradigma yang dulu pernah melekat kuat-kuat,  kita akan tercengang melihat begitu luasnya khazanah Allah. Lalu anda akan mengatakan ," Membuka Al Quran  selaksa membuka pintu alam semesta, alam malakut, alam keabadian yang luasnya tak terperi".

Maksudku semula mempelajari bahasa Al Quran sebenarnya sederhana saja,  aku hanya ingin saat menjadi makmum sedangkan imamnya membaca surat yang panjang-panjang, aku bisa langsung mengerti artinya. Sederhana bukan?  Apalagi saat ramadhan,  imam sholat tarawih suka membaca surat yang makmumnya saja sampai kakinya kesemutan karena kelamaan berdiri. 

Begitulah, akhirnya kuboyong buku terjemah Al Quran perkata koleksi bapak yang sepuluh jilid itu.  Aku hafalkan artinya kata per kata,  kusetorkan hafalanku pada ustadz Virin, ustadznya Cantiq butik, seminggu dua kali.  Walaupun di usiaku yang kepala 4 ini,  menghafal bukan pekerjaan yang mudah, aku tak putus asa,  ditambah kesibukan sebagai pengusaha, ibu dan istri, aku harus mencuri waktu untuk memperlancar hafalanku.

Walau sampai saat ini baru beberapa surat saja yang berhasil langsung kumengerti artinya, Allah banyak menghadiahiku pengalaman yang mencengangkan. Diantaranya saat kupelajari surat Al Ahzab.

Di dalam surat All Ahzab ayat 37, disebutkan bahwa Nabi harus memperistri mantan istri Zaid, anak angkat beliau, untuk memberi contoh sebuah hukum dibolehkannya seorang ayah angkat memperistri mantan istri anak angkatnya.  Begitulah makna dari surat Al Ahzab ayat 37,  dan begitu pula pemahamanku semula.  Istri Zaid dipilih Allah untuk menjadi contoh sebuah kasus dalam hukum agama, dan Nabi yang mulia mematuhi.

"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya, dan kamu juga telah meberi nikmat kepadanya. 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah'  sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.  Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)  Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi "  QS Al Ahzab ; 37.

Menghafalkan, memerlukan proses yang berulang-ulang.  Saat itulah aku rasakan Allah membukakan pintu Al Quran kepadaku, mempersilahkan aku masuk, menikmati keindahan yang disuguhkannya dan pulangnya Allah berikan aku 'mutiara' yang tersimpan di hatiku.

Semula aku rasakan beratnya kebimbangan Nabi saw untuk melaksanakan ketetapan Allah ini, aku sampai menangis. Bila semula istri Nabi yang paling kukenal dan kukagumi hanyalah Siti Khadijah yang mulia dan Siti Aisyah yang cerdas, detik itu berubah.  Aku seperti dituntun memasuki rumah tangga beliau yang penuh rahmat dan kedamaian. 'Dipertemukan'  dengan mantan istri Zaid, buyarlah  segala kesimpulan hati yang mengatakan bahwa wanita ini 'hanya' dipilih Allah untuk sebuah hukum agama. Aku menyaksikan kesucian istri-istri beliau, terpesonanya aku melihat eloknya kesucian dan keindahan jiwa, melihat derajatnya yang tinggi di hadapan Allah.  Membuatku seperti ditarik sebuah magnet kemuliaan, spontan dan tanpa alasan diriku serasa rela meninggalkan semua kekotoran jiwa dan goresan-goresan hati yang mengganggu.  Jiwaku seperti tertuntun menujuNya, tanpa bimbang dan ragu, lurus langkahku, hingga kubertanya, inikah shiratal mustaqim?

Istri-istri Nabi adalah wanita yang terpilih dan memang pantas menjadi ibu kaum muslimin, bukan sekedar contoh kasus dalam hukum agama. Berjumpa dengannya laksana bertemu pribadi yang dalam diamnya sanggup menarik segala keinginan selain keinginan untuk menjadi sesuci dan semulia beliau.  Itulah yang tertinggal dalam diriku,  keinginan untuk menjadi pribadi yang suci dan tinggi derajatnya di hadapan Allah.  Sedangkan aku melihat diriku sebagai 'produk' dari suatu jaman, dan aku harus melepaskan diri dari 'belenggu' jaman.

Berjumpa dengan ibu kaum muslimin membuatku berkata ," Kesucian adalah hadiah terindah dari Allah bagi siapa yang dikehendkiNya".

Senin, 29 November 2010

Teman dari Masa Lalu

Dulu, kami pernah bersama-sama, bermain, bercanda, tanpa ada hari terlewat.  Sekarang setelah puluhan tahun berlalu,  kami begitu berbeda, walau bukan seperti langit dan bumi, atau siang dan malam, tetap saja berbeda. Tapi ada satu yang mempersatukan kami,  persahabatan.

Tiap Sabtu sore, bila tidak ada kesibukan pameran atau janji dengan pelanggan, aku selalu usahakan pulang ke Ngantang, ke rumah ibu.
Ngantang yang sejuk selalu membuat rindu, dingin airnya, gunung yang mengelilinginya,  langit merah senja yang membayang dekat, seolah dalam jangkauan.  Bunga-bunga di halaman rumah ibu yang warna-warni dan kebun belakang rumah dengan sayur mayur yang hijaunya mengundang tangan memetiknya. Juga memancing di bendungan  Selorejo.

Pulangku kali ini bertiga dengan suamiku dan Alni yang kecapean sehabis manasik haji pagi tadi. Kubawa serta 2 kodi kerudung paris lukis, pesanan Ris , temanku SD yang masih tinggal di Ngantang.

Kutelpon Ris sehabis belanja ke pasar pagi-pagi.  Aku memang suka bernostalgia ke pasar, ada keindahan tersendiri melihat para pedagang yang banyak kukenal.  Melihat penjual longtong pecel langganan membungkus pesananku di pagi yang dingin dan berkabut, seperti sebuah puisi atau sepotong lukisan kehidupan.  Di pasar ini aku juga bisa bertemu dengan temanku SD dulu, ada yang jualan kacang goreng dan satunya lagi jualan kerudung. Ada kebahagiaan tersendiri kala bertemu teman lama.

Ris datang agak siang, setelah aku ketiduran di kursi ruang tamu. Begitu melihat kerudung yang cantik-cantik, spontan dia menelpon dua adiknya, Sulfi dan Elly, yang masih berjualan di pasar.  Pasar hanya berjarak 50 meteran dari rumah ibu, mereka tertawa-tawa waktu datang , "Daganganku tak tinggal lo...".  Khas sekali wajah mereka, wajah ibu-ibu yang ijo melihat barang bagus.  Dan seperti halnya ibu-ibu pembeliku,  mereka membeli sesuai dengan warna baju yang mereka miliki, jadi memborong, apalagi kerudungku ini bagus dan tidak mahal, 40 ribuan sepotong.
Kutunjukkan pada mereka kerudung yang kainnya lebih halus dan cat yang lebih bagus, plus payet jepang, yang biasa kujual 125 ribuan.  " Aduh mahalnya, tapi bagus, berbeda ", komentar mereka.
" Malah ada yang 250 ribu dan 400 ribuan lo. Yang ada kristal swaroskynya , mewah.", kataku mempromosikan dagangan.
Herannya, meski mengatakan mahal, Ris membeli juga, begitulah wanita.

Ris ini punya lembaga pendidikan komputer yang cukup terkenal di Ngantang.  Dia anak seorang pedagang yang  menjadi guru, aku kebalikannya, aku anak guru yang menjadi pedagang.  Lalu kami membicarakan tentang Fien, sahabat SD kami juga, yang sudah jadi dosen di sebuah Universitas swasta, dan bersiap menempuh pendidikan S3 nya di luar negri. " Keren, bikin orang iri ", kataku.  Ah, bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja setelah lulus kuliah, ga jadi iri deh.
" Dia naik haji tahun ini sama suaminya.  Yuk kunjungi dia sepulang dari tanah suci ", ajak Ris. Membayangkan berkunjung ke rumah Fien, berarti bisa bertemu dengan Refsi, teman les nari waktu kecil dulu , Refsi bertetangga dengan Fien, Refsi yang cantik tapi kurang beruntung dengan rumah tangganya.

Begitulah, waktu puluhan tahun membuat kami berbeda, nasib yang membawa atau takdir yang membawa, ataukah waktu yang membawa.  Beruntungnya aku,  di usiaku kini aku masih bermain-main seperti yang kulakukan saat aku kecil dulu, bila dulu aku dandani boneka dengan kain perca, sekarang mendandani orang sungguhan, dan rasanya tetap seperti bermain-main, senang.

Merenungkan betapa kami jauh dan berbeda membuatku teringat sesuatu, masa depan kami.  Betapapun berbedanya, kami mempunyai masa depan yang sama, mati. Berbeda untuk saat ini, masih punya peluang untuk berada di tempat yang sama di masa depan yang paling pasti, di sisi Allah. Bila di masa kecil kami belajar untuk mempersiapkan masa dewasa kami, maka sekarang kami mempersiapkan masa keabadian yang sewaktu-waktu datang menjemput, tanpa bisa ditawar, dimajukan atau dimundurkan. Sengaja atau tidak, kami sedang merajut masa depan kami yang paling pasti.  Bila dulu kami berlomba untuk bisa menjadi juara kelas, sekarang saatnya berlomba dalam kebaikan, dengan arah satu, kembali kepada Allah.  Disadari atau tidak, kami selalu menujuNya.

Aku tercenung, seserius apakah diriku mempersiapkan bekal menujuNya?

Kamis, 25 November 2010

Dulu Tuhanku bernama Hary Susetyo

Dikatakan dalam al Quran bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang tidak ada kesedihan padanya.  Berarti bila seseorang dilanda kesedihan,  hal pertama yang harus dikoreksi adalah imannya.

Dulu tuhanku bernama Hary Susetyo. Aku memang tidak menyembahnya, tiap hari aku solat 5 waktu tanpa terlewat.  Tapi  bila yang disebut tuhan adalah yang mengaruniakan keamanan, maka aku merasa aman berada disampingnya.  Bila yang disebut tuhan adalah tempat kita bergantung, maka aku menggantungkan hidupku padanya, menggantungkan kebahagiaanku padanya.  Aku merasa aman secara finansial karena dia mencukupi kebutuhanku, merasa bahagia karena  dia sayang padaku.

Bertahun-tahun tuhanku Hary Susetyo, suamiku.  Lalu kemudian Allah menjatuhkan cobaan pada kami sekeluarga, suamiku jatuh dalam bisnis.  Tuhankupun berganti, saat orang tuaku mengulurkan tangannya, saat aku merasa aman dalam pertolongan manusia, saat hatiku merasa bahwa orang tua adalah penyebab selesainya masalahku, meskipun mulutku mengatakan Alhamdulillah, saat itulah aku telah menyekutukan Allah.

Perjalanan hatiku akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang indah,  hanya Allahlah tempat kita bersandar.  Saat himpitan-himpitan datang,  disaat semua pintu pertolongan makhluk sudah tak bisa lagi diharapkan, hanya Allahlah tempat hatiku bersandar.  Dan Allah tak pernah mengingkari janjiNya.

Ingat akan kisah Nabi Yusuf yang mulia, saat dia mengharap pada seorang  pegawai istana yang keluar dari penjara untuk menyampaikan keadaannya pada raja, hasilnya adalah si pegawai lupa dan Yusuf lebih lama mendekam di penjara.  Dan ketika Yusuf menyandarkan harapannya pada Allah, hasilnya begitu luar biasa.

Demikian pula aku saat itu, di tahun 2001 -  2002, di Negara Bali,  serasa dalam titik balik kehidupan.  Suamiku bangkrut, terjerat hutang puluhan juta, anak-anakku 'berceceran', Aden, anakku yang pertama dengan mbah Joko dan mbah Suminya di Malang, Zeli, anakku yang kedua dengan mbah kung dan mbah putrinya di Ngawi.

 Penderitaan jatuh miskin,  aku yang biasa naik mobil, menjadi tak punya kendaraan apapun, sepeda motorpun melayang, ditambah penderitaan jauh dari anak. Ingat saat berpisah dengan Aden dan Zeli, kucium mereka hingga aku merasakan hidungku bisa merekam bau mereka untuk waktu yang lama.  Sungguh masa-masa yang sulit.  Bersyukur ada Insan, anakku yang ketiga, yang saat itu masih TK, bila  melihat wajahnya  aku serasa 'hidup' lagi.

Yang aku lakukan saat itu adalah ikhlas, bila ini memang pemberianNya pastilah ini yang terbaik.  Aku hidup bukan untuk materi, melainkan untuk menyembahNya.  Aku pasrahkan persoalanku pada Allah, tak terbayang sedikitpun bagaimana cara menyelesaikan semuanya.  Aku jaga perasaanku, jangan sampai ada setitikpun keraguan akan pertolonganNya, karena hanya akan menghancurkan aku.  Saat itu aku merasa, kesulitan yang menekan mungkin akan membuka pintu rahasia menuju kesuksesan.

Aku menerima jahitan,  padahal dulunya aku menjahit hanya untuk dipakai sendiri.  Teman-temanku sesama wali murid TK Asyiah adalah pelanggan pertamaku.  Pendapatan dari menjahit pas untuk keperluan rumah tangga saja, kadang imanku yang miyar miyur khawatir juga, bagaimana masa depan anak-anak dan bagaimana pula dengan hutang yang membuatku tidak bisa pulang ke Jawa, takut dikira melarikan diri.  Tapi imanku aku refresh lagi dan lagi, dengan senantiasa menghadapkan hatiku padaNya.

Suamiku akhirnya menemukan bisnis dengan menjadi pemasok kain ke toko-toko di Bali, perlahan kami bisa membeli sepeda motor.  Aku belajar membordir juga, sehingga akhirnya bisa memproduksi kebaya bordir dengan 3 orang tenaga bordir, suamiku memasarkannya.

Berawal dari seorang pelanggan yang amat baik, bu Dian, pemilik Gayatri minimarket,  aku akhirnya bisa melukis kain.  Beliau membawa sepotong kebaya lukisan tangan yang indah, katanya dari Jakarta.  "Mbak Indah bisa bikin kayak gini enggak?",  tanya beliau saat itu.  Beberapa kali aku melihat busana lukisan di majalah Kartini, tapi sama sekali tak terbayang  untuk  mengerjakannya.  Gara-gara bu Dian, aku mencobanya.

Melukis kain ini membuat sebuah lompatan pendapatan yang amat besar,  karena saat itu kain dengan lukisan tangan langka dan mahal.  Suamiku mencoba memasarkannya ke beberapa butik Jawa,  ada beberapa butik yang bisa menerima lukisan tanganku.  Setelah memperoleh pelanggan di Jawa, akhirnya kami bertiga pindah ke Pakis Malang, Jawa Timur.  Akhirnya aku bisa berkumpul dengan suami lengkap dengan semua anak-anakku,  bahkan Allah memberi kami 'bonus' anak keempat, Alnifolia.

Sekarang dan selamanya tuhanku adalah Allah.  Aku katakan pada Allah ," Ya Allah, ini aku, hambaMu, menghadapMu. Kemanapun kakiku melangkah, apapun yang kulakukan, kapanpun itu, aku tak pernah berhenti menghadapkan jiwaku padaMu ".

Senin, 22 November 2010

Selamat Ulang Tahun Aden

Kemarin, tgl 21 november, ulang tahun anakku yang ganteng, Aden Rohmana ke 21.
Membuatku terkenang akan masa kecilnya dulu, pintar, kreatif dan tentu saja lucu.

Hal yang sampai saat ini masih terkenang adalah sukanya dia mendengar suara adzan.  Mungkin di telinga kecilnya,  adzan itu suara yang teramat indah hingga rugi bila dilewatkan.  Sering saat dia menangis, separah apapun tangisnya, begitu mendengar adzan berkumandang, dia diam, tapi begitu adzan habis,  tangisnya pecah lagi.  Bila kisah ini kuceritakan pada keempat anakku, Insan, adiknya, akan meledek begini," Aneh ya, nangis kok bisa dipause ... hahaha ".  Tawa keempat anakku langsung berderai.

Yang paling menonjol dari dia adalah kepintarannnya menggambar.  Sejak kecil dia sudah bisa menggambar perspektif, mengherankan untuk anak seusia TK. Saking bagusnya  aku merasa sayang membuangnya, jadi sebagian aku simpan di album, kuberi tanggal, sampai saat ini gambar-gambar Aden waktu kecil masih kusimpan, juga gambar dan  karya anakku yang lain.

Dia pintar sekali, IQnya tinggi, seingatku 145 saat dia SMA, masuk kategori sangat superior.  Kalau masalah kecerdasannya ini, suka membuat Zelika , anakku yang kedua,  iri dan bertanya ,
" Kok mas Aden pintar ga kayak Zeli ya buk".
" Mungkin karena saat hamilnya , ibu sedang penelitian, bikin skripsi, mikir rancangan percobaan dan gitu deh ".
" Memangnya saat hamil Zeli, ibu ngapain?".
" Jadi ibu rumah tangga aja".
" Ooo,  hahaha".
" Pas hamilnya Insan?"  ganti Insan yang bertanya.
" Ibu jadi pelukis, makanya Insan suka seni, pintar nari, kan waktu kecilnya di Bali".
" Trus, pas hamilnya Alni", ganti si kecil yang bertanya.
" Ibu sudah jadi pengusaha, Alni umur 3 bulan sudah diajak pameran.  Mungkin Alni besok pintar jualan ".
" Hahaha ...".

Aden, seperti umumnya cowok,  betah sekali di rantau,  jarang pulang, satu semester sekali pulangnya.  Jadi kalau kangen, akulah yang datang ke Bandung.  Kadang  dia tidak mengijinkanku datang ke asramanya, mungkin malu sudah besar kok masih dibuntuti ibunya.  Katanya, chatting aja sama ibuk sudah cukup.

Kadang untuk mengobati kangenku,  aku menyimpan baju bekas pakainya, aku biarkan menggantung dan  kupesan ke pembantuku untuk tidak mencucinya.  Kalau kangen, baju yang bau keringat itu kuciumi. Hingga beberapa minggu, baju kotor itu mengerjakan tugasnya dengan baik.  Tapi kok lama-lama baunya makin mana tahan ... hahaha ... terpaksa deh, dicuci.

Dengan kepintarannya menggambar dan menciptakan game (sejak kecil dia suka membuat permainan baru dengan aturan main yang dia buat sendiri),  aku sangat berharap dia bisa memanfaatkannya di jalan Allah.  Pernah kubilang padanya, ciptakan game yang membuat anak-anak taat pada aturan Allah,  atau yang membuat orang menjadi baik.  Aku ingin apapun yang dilakukannya dia persembahkan untuk Allah, Tuhannya. Hanya dengan jalan ini hidupnya menjadi bermakna bagi dirinya dan alam semesta.

Selamat ulang tahun sayangku.  Semoga hari-harimu menyenangkan dan membawa langkahmu menujuNya.

Minggu, 21 November 2010

Saat Gaji Karyawan Tertunda.

Sabtu, adalah hari gajian karyawan,  aku terancam tidak bisa memenuhinya.  Beberapa pelangganku seperti kompak untuk menunda pembayaran.  Ada yang karena sedang repot mantu dan alasan lain. Yang paling membuatku goyang adalah pelanggan besarku di Jakarta yang sedang menunaikan ibadah haji dan baru pulang tgl 5 desember nanti, beliau ini tak punya karyawan yang diserahi tugas keuangan,  jadi aku harus menunggu hingga beliau pulang.

Menggaji 50 an karyawan bukanlah jumlah yang sidikit, bahkan menjadi urusan yang rumit bagiku saat ini. Serasa mendapat cobaan, bukan cobaan finansial, tapi cobaan iman.  Sejauh mana imanku akan kemurahanNya, akan pertolonganNya, akan  kuasaNya menciptakan keajaiban  sedang diuji.  Jadi aku harus tenang dan tetap mempercayakan persoalanku pada Allah.

Ketenanganku berbuah manis, kamis lalu Klinik UKM propinsi Jawa Timur memintaku untuk menjadi instruktur 'Melukis di atas Kain'  selama 2 hari,  hari sabtu dan minggu, dengan 60 peserta, plus diberi stand gratis untuk berjualan. Rasanya inilah jalan keluar kiriman Allah dan aku amat bersyukur akan kemurahanNya.

Jumat aku berpesan pada Santi  -karyawan admin yang biasa membagi gaji-, untuk menyampaikan pada mereka tentang gaji yang tertunda hingga senin.  Sabtu  aku berangkat pagi-pagi ke Surabaya dengan ringan, menjemput rejeki  untukku, dan juga untuk karyawan-karyawanku.

Kulewati pelatihan hari itu dengan lancar, hingga sore, saat pengunjung sepi, aku buka sms dari ponselku. Sms dari karyawanku yang membuatku kaget dan naik darah.  Aku yakin betul kalau sms ini sengaja dibuat seolah-olah sms nyasar,  sebagai bentuk protes mereka akan  gaji yang terlambat.  Yang satu isinya,' maaf buk, aku tidak bisa membeli obat untuk ibu karena belum gajian'.  Yang kedua, 'sorry ya teman, aku tidak bisa membantumu karena belum gajian'.  Mereka tahu kalau aku tidak pernah menyimpan nomor mereka kecuali beberapa orang yang dalam struktur organisasi Cantiq berposisi di bawahku,  jadi mereka merasa aman dan yakin aku tidak mengetahui nama pengirim sms ini.

Semula aku merasa kecewa dengan cara mereka menyelesaikan persoalan, mengapa yang merasa ibunya sakit tidak langsung bicara saja dengan Santi atau denganku tentang kesulitannnya, sehingga dia mendapatkan prioritas untuk menerima gaji lebih dulu.  Mereka tahu kok kalau Santi pegang uang dan jumlahnya  masih lebih kalau hanya untuk menggaji satu orang karyawan saja.

Kecewaku yang kedua adalah merasa gagal dalam mendidik mereka.  Karyawan-karyawanku ini kudidik dan kuajak untuk mendekatkan diri dengan Allah.  Tiap pagi sebelum bekerja wajib berdoa dulu dan mengaji beberapa ayat Al Quran, aku sering mendampingi mereka dalam mengulas makna ayat-ayat Al Quran.  Seminggu sekali aku datangkan ustadz, dan aku sendiri kadang menyampaikan materi yang kuambil dari buku Quantum Ikhlas nya Erbe Sentanu.

Soal bersyukur, menerima segala peristiwa dengan ikhlas adalah 'makanan' yang sering aku suapkan  pada mereka.  Belajar untuk tidak menyalahkan orang lain akan segala peristiwa yang menimpa kita itu sesuatu yang mungkin telah mereka hafalkan di luar kepala.

Kecewaku yang sangat emosional adalah merasa bahwa mereka tak cukup barterimakasih padaku, egoku muncul ke permukaan, ampuni ya Allah.  Aku merasa mereka itu datang padaku, meminta pekerjaan, dalam keadaan tidak mempunyai ketrampilan apapun.  Aku mengajari mereka hingga bisa melukis, menyulam, dan berbagai hal yang berhubungan dengan busana. Sekarang saat aku mendapatkan kesulitan kecil ini, mereka membalasku dengan cara seperti ini. Aku menjadi orang yang 'berhitung' dalam kebaikan, dan aku tidak bisa membendung perasaan yang mestinya tidak boleh ada.

Aku rencanakan untuk membriefing mereka senin pagi, lengkap dimulai dengan kata pengantar, daftar isi, pendahuluan,  tinjauan Pustaka, pembahasan, plus kesimpulan dan saran ... hahaha.  Pada bagian penutupnya aku akan katakan," Bila diantara kalian ada yang tidak setuju dengan cara bunda mengelola perusahaan ini, silahkan kalian mengundurkan diri.  Bunda hanya mau bekerja sama dengan karyawan yang bekerja bukan semata-mata mencari uang, tapi untuk mendapatkan ridha Allah".

Lalu kucoba menghapus segala kecewaku itu dengan cara memaafkan mereka.  Perlahan aku menyadari bahwa segala yang terjadi adalah atas ijinNya juga, aku harus menerima kenyataan ini dengan ikhlas.  Beberapa menit aku luangkan untuk mengeliminasi perasaan negatif itu satu persatu.  Aku memaafkan mereka hingga muncul perasaan sayang dan kasihku pada mereka.  Perahan-lahan perasaanku berganti positif , muncul ketenangan dan rasa yang indah akan manisnya makna dibalik semua ini.

Bila perasaan adalah salah satu alat untuk menghubungkan Allah dengan hambaNya,  maka aku merasakan Dia menyapaku, berpihak padaku, menemaniku, mengucapkan kalimat salam.  Sebuah perasaan yang amat indah, saat aku bisa mengucapkan," Allah, aku tidak akan memarahi mereka atau memberhentikan mereka, aku hanya mau mengatakan apa-apa yang Engkau ridha".  Perasaan itu indahnya melebihi jatuh cinta.

Jumat, 19 November 2010

Pertolongan Tak Selalu Lewat Hal yang Menyenangkan

Kadang kita seperti terjebak dalam suasana yang menjengkelkan, memancing emosi, padahal siapa tahu ternyata peristiwa itu adalah alat Allah untuk melindungi kita dari hal-hal yang lebih buruk.  Seperti pernah kualami di suatu malam.

Aku di rumah cuma dengan Alni, balitaku yang cantik.  Ga seperti biasanya, Alni rewel, ga mau tidur-tidur padahal sudah malam.  Aku yang sudah capek ini bahkan dipaksanya ke minimarket KUD sebelah rumah untuk membeli es krim, betul-betul membuat orang marah.  Kuturuti saja maunya, sambil mengomel, kutuntun dia sambil terkantuk kantuk, hanya untuk membuktikan kalau minimarketnya sudah tutup.

Begitu membuka pintu rumah, mataku langsung membuka lebar, hilang kantukku, hilang marahku.  Di depan rumah adalah garasi, dan butik Cantiqku tepat di sampingnya..  Lampu butik masih menyala terang dan pintu butik membuka padahal sudah jam 9 lebih.  Di pinggiran kota seperti ini sungguh membahayakan hal seperti ini terjadi.  Rupanya aku tadi lupa menutup pintu setelah ada tamu yang mengambil mukena pesanan.

Astaghfirullahaladzim,  ampuni aku ya Allah sudah memarahi anak tak berdosa, ternyata rewelnya dia hanyalah alatMu untuk melindungi kami sekeluarga dari bahaya yang lebih besar.

Akupun melanjutkan langkahku, kali ini dengan penuh sayang dan kelembutan, menuntun Alni sampai ke depan minimarket yang sudah tutup.

Alni tidur dengan nyenyak setelah semuanya beres, aku memandangi wajahnya dengan penuh penyesalan.

Kamis, 18 November 2010

Kreatifitas di Dapur (tidak) Umum ISI

Akhirnya aku mengalah,  akulah yang datang ke Yogya menengok putriku yang cantik, Zelika.  Libur seminggu, dia memilih jadi relawan peduli merapi daripada pulang berkumpul dengan keluarganya, hingga iedul adhapun dia relakan dirinya di dapur umum, bergulat dengan asap, bau bawang merah, panas, capek  dan entah apa lagi. Begitulah yang kubayangkan tentang keadaan putriku, yang setelah aku sampai disana keadaannya lebih parah dari yang kubayangkan, tapi Zeli bahagia dengan dunianya.

Dapur umum itu lebih pantasnya disebut dapur yang tidak umum, hehehe. Beratapkan terpal yang ditata asal-asalan,  memasak lauk pauk dan membungkus nasinya disini,  beberapa mahasiswa relawan duduk di lantai, berkutat dengan makanan tanpa beralaskan apa-apa.  Di seberang jalan, di dekat pos ronda, beratapkan langit, beberapa mahasiswa memasak nasi di beberapa tungku kayu bakar, wajahnya hampir tidak dapat dibedakan dengan asap hitam yang mengepul dari perapian.

Mataku tertumbuk pada nasi sebakul besar siap dibungkus, warnanya kecoklatan.  Kukira warna coklatnya karena proses memasak yang gosong, tapi ternyata karena beras sumbangan yang  beginilah keadaannya.  Memelas, bagusan makanan kucing di rumah ibu mertuaku.  Dan makanan seperti inilah yang dimakan pengungsi, relawan-relawan ini, termasuk anakku. Ga jelas perasaan apa yang ada di hatiku. Untungnya tadi aku sempat membawa Zeli makan di rumah makan yang kata Zeli termahal di seputaran kampus ISI.

Zeli memperkenalkan aku, bapak dan mbah putrinya ke teman-temannya,  aku merasa diperkenalkan dengan manusia dari planet lain ... haha.

Makanya Zeli tadi sempat bilang ," Ibu nanti jangan kaget lo ya, Zeli disana jadi bahan guyonan teman-teman". Kukira guyonan seperti apa, kukira anakku dilecehkan.  Ternyata di dapur yang tidak umum itu,  guyonan kreatif  mereka menambah daftar tidak umumnya dapur umum mereka.

Nama dapur umumnya mereka ganti dengan Dapur Umum Jelly.  Jelly adalah panggilan Zeli di kalangan teman-teman kampusnya. Di tiang ditulis JFC, Jelly Fans Club.   Macam-macam ekspresi patah hati tertulis di papan kecil-kecil seperti, kutunggu jandamu, cinta ditolak anggur ditenggak,  semua ditujukan untuk Zeli.  Ada lagi ekspresi sayang seperti di ceret ditulis , awas panas jell !!. Yang lebih menggelikan adalah seutas tali menggantung di pojok pos ronda, lengkap dengan simpul di bawahnya, mengisyaratkan siap bunuh diri bila cinta ditolak... hahaha, padahal posisi talinya tak cukup membuat orang bisa mati, karena kerendahan.

Aku yang pemilik butik, biasa bergaul dengan orang-orang yang fashionable, tentu saja seperti dilemparkan ke planet lain,  apalagi wajah mereka mengingatkanku pada kelompok Bajaj, ya hampir seperti itu, rambut kriwil-kriwil,  ekspresi aneh.  Untungnya aku bukan orang yang biasa menilai orang lain dari penampilan luarnya, jadi aku tersenyum dan dalam hati tertawa saja berada di 'ranah asing' ini.

Zeli seperti mengerti perasaanku, hingga saat pulang dia cerita.
"Mereka itu semuanya baik-baik kok buk,  mereka itu orang-orang yang tulus.  Kadang mereka rela menahan lapar demi mengutamakan pengungsi.  Sama Zeli mereka juga sayang kok , kalau Zeli sakit diperhatiin".

Siapapun mereka dan bagaimanapun penampilan mereka, dalam hati aku salut pada mereka.  Dalam perjalanan pulang dari Yogya, kupersembahkan doa tulusku pada mereka, seperti aku mendoakan anak-anakku.

Mudah-mudahan Allah karuniakan dalam hati mereka niat tulus karena Allah.
Betapa banyaknya orang yang melakukan banyak amal kebaikan, tapi hanya mendapatkan kelelahan saja, karena salah dalam meniatkannya.
Mudah-mudahan mereka menyadari, bahwa semua yang dipersembahkan untuk Allah akan menggerakkan alam semesta untuk mempersembahkan yang terbaik buat manusia.

Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang bergerak karenaMu, karena orang yang bergerak karena mengharap ridhaMu tak akan pernah letih dalam berjuang, tak mudah menyerah oleh apapun penghalang.
Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang Engkau dekatkan padaMu, mencintaiMu dan Engkau cintai pula.

Kamis, 11 November 2010

Alni di Makam mbah Buyutnya

Kadang anak-anak membuat kita terkejut, terpana dan terheran-heran dengan jalan pikirannya yang bagi orang dewasa sungguh tak biasa.

Alni, anakku yang baru berumur empat tahun ikut pergi ke makam mbah buyutnya bersama aku, tantenya dan kakaknya.

Setelah menabur bunga di atas pusara, tantenya bilang," Ayo Alni, berdoa dulu untuk mbah yut". Tantenya mengawali doa dengan ,"Bismillahirrohmanirrochim..........".
Dia langsung menyambung doa tantenya," Semoga mbah yut hidup lagi".
Kontan tantenya tertawa.
"Ya memang mbah yut hidup di sisi Allah ". kataku.
"Ya, itu benar, setelah dikasih bunga, hidup lagi ", celotehnya yang membuat kami tertawa lagi.

Lain lagi ceritanya saat mbah yut yang satunya meninggal dunia.  Dia bertanya," Mbah Yut kemana?"
Kujawab," Mbah yut sama Allah dikasih  rumah yang bagus".
Tak terduga dia bilang," Oooo, rumahnya ibuk sudah jelek ya".  Hahaha.


Minggu, 07 November 2010

Sedekah yang Langsung Berbalas

Janji Allah pasti ditepati, bila kita berinfak, maka Dia akan melipat gandakannya, sepuluh kali lipat atau lebih, menurut kebijaksanaanNya.  Inilah kisahku.

Pulang dari memberi pelatihan melukis diatas kain, di tasku ada satu juta lebih uang tunai, honor sebagai trainer hari itu.   Berboncengan sepeda motor dengan karyawanku, menjelang maghrib.  Dia mengajakku mampir sholat dulu di salah seorang saudaranya yang kebetulan rumahnya kami lewati, aku menyetujui ajakannya.

Kami masuk gang sempit, di sebuah rumah yang sangat- sangat sederhana,  ada sebuah toko kecil di depan rumah itu, yang dagangannya tidak banyak.  Ruang tamu hanya beralaskan karpet, yang kalau sore dipakai untuk anak-anak mengaji, pada malam-malam tertentu untuk pengajian bapak-bapak.

 Dari pembicaraan dengan tuan rumah, kutahu keluarga ini mengandalkan ekonomi keluarganya dari toko kecil yang dijaga si bapak yang cacat kakinya karena sebuah kecelakaan, sedangkan istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 3 anak-anak mereka masih sekolah semua. Selebihnya mereka mengabdikan diri untuk agama.

Walaupun baru sekali itu aku bertemu dan mengenal keluarga itu, esok harinya aku kirim limaratus ribu honorku kepada mereka sekeluarga lewat karyawanku.  Aku berpesan agar uang itu dipakai untuk menambah dagangan di tokonya.
Saat memberi itu  sebenarnya aku  sedang memerlukan uang untuk membayar hutangku pada seorang keluarga dekat sebanyak 1,5 juta.  Dengan sengaja aku menunda membayar hutang karena kupikir, keluargaku ini orang berkecukupan, kalau aku bayar hutangku, tentunya uangnya akan disimpan di bank dan tidak memberi nilai untuk orang lain.  Sedangkan bila kuamalkan dulu, tentu akan sangat membantu.

Selang beberapa hari, aku bersilaturahmi ke keluargaku, aku sampaikan bahwa aku belum bisa melunasi hutangku.  Mengejutkan, beliau membebaskanku dari hutang, bahkan anak-anakku mendapat uang saku sebanyak 800 ribu rupiah. MasyaAllah. AllahuAkbar.

Jumat, 05 November 2010

Dikabulkan setelah 30 tahun

Merasa Allah menjadikan diriku berarti, itu luar biasa. Merasakan diri seperti kain batik yang dilorod, memunculkan keindahan corak yang mengagumkan. Padahal tak ada yang dilakukan oleh ponpes ini padaku, hanya auranya begitu menarik orang menjadi baik.

Saat makan malam di pondok pesantren Annuru wal muhasabah di Tirtoyudo , ujung timur Malang, aku jadi ingat akan mimpiku 30 tahun yang lalu.  Allah mengabulkannya saat aku sudah melupakannya, Allah mengabulkannya dalam bentuk yang lain.

Kehadiranku disini karena menerima tawaran Dinas Koperasi propinsi Jawa Timur, sebagai instruktur sulam pita untuk para santri putri selama 2 hari. Yang menarik bagiku bukan tugasku mengajar, tapi pondok pesantren ini.

Ingat waktu aku masih SD. Sahabatku Fienzul Fikariya, yang sekarang menjadi dosen UMM, suka bercerita tentang kakaknya yang mondok di Bangil. Aku tertarik. Tertarikku ini salah ayahku juga, di rumah beliau ini aku dikelilingi buku-buku agama, yang karena jaman dulu ga ada game komputer, televisi juga tidak, maka kegiatanku ya membaca. Dari membaca menjadi cinta dan ingin memperdalam agama. Tapi bapak ibu tak ijinkan aku mondok. Mimpiku menggantung.

Lulus SMP aku ingin meraih mimpiku lagi, aku mau masuk MAN. Ga diijinkan lagi. Masuklah aku ke SMAN   Batu Malang.

Lulus SMA pun aku masih belum menyerah, waktu itu aku diterima di IAIN.  Sayangnya dalam waktu yang bersamaan aku diterima pula di Universitas Brawijaya. Semua orang menyuruhku memilih masuk UB. Keputusan ini kusyukuri sampai sekarang, karena di kampus inilah aku bertemu suami yang baiknya minta ampun.

Saat kuliah itu aku masih menyimpan keinginan untuk mondok kalau sudah lulus nanti. Eh ... la kok, aku lulus sekaligus dapat ijab syah dan sudah punya Aden yang berusia 9 bulan.  Batal lagi keinginanku untuk mencicipi dunia pesantren.

Aku yakin, setiap pondok pesantren punya karakter sendiri, bahkan aura sendiri. Ponpes Annuru ini bagiku luar biasa. Disini aku bisa merasakan bahwa Allah menggunakan diriku untuk kebaikan sesama, aku melakukannya dengan senang karena merasakan ini adalah amanah Allah. Ternyata beginikah rasanya tulus ikhlas karena Allah? Ini perasaan  yang nyaman, bahagia, tak ada kata yang bisa mewakili. Merasa Allah menjadikan diriku berarti.



.

Senin, 11 Oktober 2010

Di Wajahmu Kulihat Bulan

Di wajahmu kulihat bulan, itu sebuah judul lagu lama, lama sekali, diciptakan oleh Muchtar Embut, mungkin aku belum lahir waktu lagu ini tercipta.

Suatu sore, sepi, cuma aku seorang di rumah, kunyanyikan lagu itu sambil main gitar.

           di wajahmu kulihat bulan , yang sembunyi dibalik senyuman
           sadarkah tuan kau ditatap insan yang haus akan belaian
           di wajahmu kulihat bulan, menerangi hati gelap rawan
           jangan biarkan ku tiada berkawan
           hamba menantikan tuan


Tersentak, hatiku bergetar. Rasanya lagu ini diciptakan untuk seseorang yang begitu dekat, namun juga teramat jauh. Tak ada seorangpun yang pantas untuk lagu ini selain dia, wajah semenawan rembulan itu cuma miliknya seorang di dunia ini.

Mengingatnya membuatku rindu dan menangis. Namun mengingatnya pula membuatku tenang, bak sebongkah spirit diletakkan di dadaku. Andai aku harus menghancurkan gunung espun, serasa mampu melakukannya.

Dalam jauhnya dia begitu dekat. Dalam tiada dia hidup. Dia hidup di hati manusia dari generasi ke generasi, berabad .

Pernah kubertemu dia, dalam suatu mimpi yang damai. Dia berjalan diapit dua orang sahabatnya. Begitu bercahayanya dia hingga dari tiga orang itu hanya dia yang terlihat. Jubah putihnya berkilau seperti neon. Aku terpesona dan menangis, diakah rinduku yang menjelma?

Nyanyiankupun menghilang, berganti ucapan," Salawat dan salamku untuknya, sampaikanlah ya Allah".

Selasa, 05 Oktober 2010

Alnifolia

Alnifolia, anakku yang sekarang berumur 4 th. Sudah bisa menyanyi dengan benar.
Dulu, saat dia baru bisa menyanyi terpatah patah, "improvisasi"nya sering membuat kami tertawa.
Contohnya bila menyanyikan lagu Balonku Ada Lima, pas syair,  "Meletus balon hijau, dor!", tiba tiba dia bilang, "Aduh kaget Alni".

Bila menyanyikan lagu naik kereta api, syairnya jadi begini, "... ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma, ayo kawanku lekas naik, keretaku tak brenti brenti..."  Haha , keretanya gak boleh berhenti sama dia.

Bila menyanyikan lagu burung kakak tua, maka dia merubah syair '"giginya tinggal dua" menjadi ,"... nenek sudah tua, giginya sudah gigis...".  Padahal tak ada yang mengajarinya syair seperti itu..... pintar dan lucu sekali ya dia.

Kamis, 30 September 2010

aku dan bumi

saat yang pasti adalah
saat bumi memeluk kita

       maka biarkan dia memeluk dengan sayang dan menjaga kita
       seperti kita menjaga dan menyayanginya
       saat kita masih bisa berjalan dan bercanda diatasnya

karena

       sekecil apapun usaha kita melestarikannya
       maka dia akan membalasnya