Kamis, 02 Desember 2010

Sunan Giri Dan Aku

Dulu bila mendengar kata 'ziaroh' yang maksudnya ziarah / berkunjung ke makam tokoh-tokoh yang dianggap suci, aku langsung gatal-gatal, alergi ... haha, apalagi mendengar kata 'ziaroh wali lima', 'ziaroh wali delapan',  rasanya pingin bilang, ziaroh wali seratus aja, ga usah pulang ... hahaha.

Ya memang semakin kita tidak menyukai sesuatu, semakin berdatangan hal yang tidak kita suka itu di sekeliling kita, seperti mengejek, menertawakanku dan semakin keras tawanya begitu melihatku bete.

Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan Muhamadiyah, yang namanya ziarah, berkunjung ke makam orang-orang suci, adalah hal yang sama sekali asing bagiku. Dan berdasarkan berbagai pengalaman, aku jadi mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang berziarah rata-rata tujuan mereka adalah ngalap berkah  yang tidak diperbolehkan dalam agama karena tidak ada dasar hukumnya di hadist dan Al Quran.  Itulah anggapanku yang kupegang teguh selama bertahun-tahun.

Walaupun aku seorang yang mudah menerima perbedaan, tapi ga enak juga bila karyawanku semua adalah warga Nahdiyin. Mereka sering pamit tidak masuk kerja karena ziaroh wali, sesering aku bertanya kepada mereka," Apa sih tujuanmu ziaroh?" Mereka suka menjawab dengan senyuman, melengkapi alergiku dengan rasa penasaran.

Rasa penasaran itu akhirnya terjawab secara tidak sengaja.
Suatu hari aku bertiga dengan sopir dan ustadz Virin ke Gresik, mengantar mukena pesanan. Banyak sekali pesanannya, ribuan, karena produk ini diiklankan di majalah-majalah, dipakai di sinetron-sinetron dan memakai model artis ternama. Tiap minggu aku mengirimkan ke Gresik bila telah selesai 200 potong mukena.

Allah Yang Maha Membuat Rencana mengatur kedatanganku ke kantor perusahaan mukena itu tidak dalam waktu yang tepat, karena mereka sedang istirahat siang, mereka menyuruhku kembali satu jam lagi.  Aku mengajak sopir dan ustadz Virin ke makam sunan yang banyak sekali berada di Gresik.  Akhirnya kami bertiga berkunjung ke makam sunan Giri.

Bengong aku berada disana.  Melihat begitu banyak manusia duduk membaca yasin dan doa-doa, aku ikut-ikutan membaca yasin. Kubaca dengan penuh perasaan karena aku mengerti artinya, hingga aku seperti masuk ke dalam kata perkatanya. Dalam khusyukku aku seperti ditemui seseorang dari masa lalu, berpenampilan sederhana, bersurban, beliau mengatakan padaku ," Jerih payah kita dalam berdakwah itu tak sebanding dengan karunia Allah (yang luar biasa) saat kita sudah meninggal ".

Aku tertegun, air mataku spontan berjatuhan, hatiku dingin dan haru.  Tahukan perasaanku beberapa hari terakhir?  Aku patah hati, patah hati karena merasa gagal membawa karyawanku yang aku rengkuh sebagai saudaraku sendiri untuk mendekatiNya.  Aku ajak mereka mentaatiNya,  tapi mereka itu titik titik deh.  Aku datangkan pengajian ke butik, aku wajibkan berdoa dan membaca Al Quran tiap pagi sebelum kerja, tapi perilaku mereka begitu aduhai di mataku.  Aku patah hati.

Aku tak tahu siapa dia, lelaki dari masa lalu, yang kebijakan memancar dari wajah sederhananya.  Aku bayangkan betapa susah payahnya beliau menyusun strategi dakwahnya di tanah jawa yang mungkin masih gung liwang liwung.  Dan mungkin karenanya aku sekarang bergama Islam. Betapa malunya, perjuanganku memimpin beberapa puluh orang saja sudah membuatku patah semangat.

Dalam perjalananku pulang ke Malang, ustadz Virin berkata, " Diantara hikmah kita berziarah ke makam para wali adalah meneladaninya".
Aku pulang membawa semangat, seolah berguguran segala keluh kesah tentang karyawanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar