Jumat, 24 Desember 2010

Suami Teman Temanku

Tidak ada peristiwa di dalam hidup ini yang tanpa makna, semua Allah turunkan dengan kebijaksanaanNya, hingga terbangnya sehelai daun tertiup angin, atau meletusnya gunung Bromo dan Merapi, juga bertemu dan berpisahnya kita dengan seseorang.

Beberapa hari terakhir ini Allah mempertemukanku dengan teman lama, bahkan sahabat yang dulu tidur dalam satu kost, dengan keadaan yang membuatku sangat prihatin.  Aneka persoalan mereka hadapi yang intinya satu, ketidak harmonisan dalam rumah tangga.  Hingga aku mengambil kesimpulan, bahwa ketika seorang wanita menikah, berarti dia telah menyerahkan nasibnya, surga dan nerakanya, pada seorang laki-laki yang disebut suami.

Temanku yang (merasa) malang, hamil di usia yang sudah kepala 4, suaminya tidak bisa menerima, dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada istrinya.  Dia menderita lahir batin, begitulah yang dia ceritakan padaku.  Dengan tubuh yang kurus dan kandungan yang semakin membesar, dia tetap bekerja pulang pergi naik bison di kota yang panas dan jalan yang tidak rata.  Aku dan suamiku sampai kehilangan kata-kata ketika dia bercerita.  Aku ingin memeluknya, menghiburnya sebisaku, tapi aku hanya bisa mengelus perutnya dan bilang,"  Aduh, jangan sedih, berbahagialah, ini karunia Allah.  Dulu aku juga hamil di usia yang hampir empat puluh tahun, dan semuanya baik-baik saja".
" Indah, kamu lain, kamu sama Hary tu kompak, sejalan ", katanya,  membuat  aku tak bisa berkata lagi, bahkan ketika dia bercerita tentang betapa inginnya dia segera bebas dari kehamilannya ini.

Dan seperti sebuah kisah serial, beberapa hari kemudian aku dipertemukan dengan sahabatku semasa kuliah,  aku tidak akan bisa menceritakan keadaannya, terlalu parah nasib rumah tangganya. Kami ngobrol berempat, dan mereka berdua tak dapat bersandiwara sedikitpun di hadapan tamunya ini, kelihatan sekali mereka dalam suasana perang.  Sahabatku ini pernah menelponku beberapa tahun yang lalu, tentang kepedihan hatinya bersuamikan seseorang yang temperamental, dia berbicara di telepon lama sekali sampai tanganku capek memegang hp.  Tak kusangka sampai sekarang dia masih belum dapat menyelesaikan kemelut rumah tangganya.  Dan kembali aku mendapat komentar yang menyiratkan rasa irinya melihatku berdua yang katanya selalu kompak dan bahagia.

Serial itu berlanjut dan berlanjut dengan kisah yang berbeda-beda. Ada sms mampir ke hpku : Bu, apakah ganjaran bagi seorang ayah yang tidak pernah menafkahi istrinya?  Dan sungguh aku tak tahu jawabannya, karena ganjaran yang berupa pahala atau siksa hanya Allah yang mengetahuinya.

Aku bukanlah seorang yang pandai memberikan nasehat.  Tapi aku ingin sekali mengatakan pada teman dan sahabatku yang bermasalah dalam rumah tangganya untuk sejenak mengevaluasi diri,  diam, merenung. Berhentilah menyalahkan orang lain, apalagi suami.  Setiap kejadian demi kejadian dalam hidup kita membentuk suatu rangkaian sebab akibat,  mulailah mengoreksi diri sendiri dan memohon ampunan atas segala kesalahan yang pernah dibuat oleh hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita kepada Allah.  Luruskanlah niat kita dalam berumah tangga, hanya untuk mendapatkan ridhaNya, bukan untuk membuktikan kita salah atau benar, juga bukan untuk menang atau kalah.  Terimalah setiap hal baik atau buruk menurut pengamatan kita dengan ikhlas dan syukur.  Carilah hal-hal yang bisa disyukuri dalam hidup kita sekecil apapun (seperti melihat cerahnya sinar matahari) setiap hari, limpahkanlah perasaan bahagia ke dalam hati kita sebanyak mungkin.  Carilah segala sebab yang membuat kita bisa memaafkan pasangan kita.  Dendam dan sakit hati tak akan menyumbang perbaikan apapun dalam rumah tangga kita.

Cobalah sahabat, aku ingin melihat kalian bahagia. Dunia ini indah, apalagi bagi yang beristrikan bu Indah ... hahaha. Meratap tidak membuat hidup menjadi bahagia bukan ?

Kamis, 23 Desember 2010

Yang Palling Kuingat Dari Ibu

Yang paling kuingat dari ibu adalah...
Saat anakku Aden yang baru berumur satu tahun kena muntaber, beliau yang seorang guru, dari pagi sampai siang mengajar, sampai di rumah beliau mencuci dan menyetrika baju Aden untuk dibawa ke rumah sakit di sore harinya.  Malamnya beliaulah yang bolak balik terjaga bila Aden buang air atau rewel. Sedang aku dibiarkannya tidur dan hanya terbangun saat menyusui, itupun sambil merem.  Paginya beliau menempuh perjalanan 30 km naik bis untuk pergi mengajar, karena rumah sakitnya di Batu sedang rumah ibu dan tempat ibu mengajar di Ngantang, tentu saja sambil membawa baju kotor Aden.  Sorenya beliau menempuh perjalanan 30 kilometer lagi untuk menemaniku menjaga Aden. Begitulah kejadian yang berputar selama Aden di rumah sakit.  Oh ibu.

Aku pernah begitu sakit hati pada ibu selama bertahun-tahun. Aku masih SD kala itu, saat kami sekelas naik gunung Selokurung, ibu berpesan kepada guruku agar aku berhenti di pertengahan, tidak usah sampai ke puncak.  Tentu saja guruku menuruti beliau karena ibuku kepala sekolahnya.  Sedangkan aku dengan penuh rasa dongkol mematuhinya, lalu beberapa hari kemudian hatiku dipenuhi rasa iri melihat foto teman-temanku yang berpose penuh kegembiraan di  puncak Selokurung.

Aku pernah merasa tidak diperlakukan dengan adil. Itu saat aku SMP, teman-temanku ikut beladiri tapak suci, sedangkan aku tidak diijinkan.  Tapi beberapa waktu kemudian adikku Anisa beliau ijinkan ikut tapak suci.

Juga saat teman-temanku yang putrinya guru-guru, berarti putri teman ibu, ikut vokal grup,  aku sendiri yang tidak boleh. Aku hanya bisa iri ketika teman-temanku yang cantik-cantik tampil di resepsi tujuh belasan di kecamatan.

Aku sering protes tapi hanya di dalam hati,  mengapa masa remajaku yang indah banyak sekali dibanjiri kata 'jangan' dan 'tidak boleh'.

Aku baru mengerti bila semua itu adalah ungkapan sayang ibu padaku.  Kuingat saat ibu melepasku mengikuti suami, beliau bilang," Rasanya kok tidak tega ya nduk melepasmu.  Ga seperti saat kakakmu dulu ikut suaminya.  Kakakmu itu mandiri dan cekatan,  sedang kamu ...".
Ooo, itukah sebabnya hidupku dipenuhi kata jangan dan tidak boleh.  Karena ibu menilaiku ringkih,
Memang bila dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku lebih pendiam dan lembut.

Yang paling kuingat dari ibu adalah cara beliau mengenang kami, anak-anaknya.  Ibu punya sebuah almari tua, yang berisi pakaian-pakaian tua.  Di almari ini aku masih bisa menemukan kerudung merah muda berbordir bunga di tepinya,  itu kerudung yang aku pakai mengaji sewaktu aku masih kecil dulu. Aduhai betapa lamanya. Ada baju-baju kecil milik adik-adikku, bahkan baju kecil anak-anakku.  Kuingat ibu pernah menata almari itu sambil berkata," Trenyuh melihat baju-baju ini,  sekarang semua sudah dewasa".

Rumah ibu yang besar memang banyak almarinya.  Di almari yang lain ibu masih membiarkan stiker "Jambore Nasional 1981"  Itu adalah jambore nasional pramuka yang pernah kuikuti saat aku masih SMP.  Dibawahnya ada stiker pokemon yang ditempelkan Aden dan Zeli sewaktu anak-anakku itu masih SD dan tinggal dengan ibu, sekarang Aden dan Zeli sudah kuliah dan stiker itu masih menempel disana.

Terlalu banyak yang ingin kukatakan pada ibu.
Rasa terimakasihku karena telah membentuk aku hingga menjadi seperti sekarang.
Ungkapan maafku karena prasangkaku, terutama saat aku belum menjadi seorang ibu.
Cinta dan hormatku.

Jumat, 17 Desember 2010

Alni dan Kikan

Sore tadi Alni diajak tantenya ke rumah mbak Nana -temannya- yang mempunyai 2 orang anak  balita, yang satu sebaya Alni, namanya Kikan, dan adiknya Nasya.  Bertiga bermain  menunggu aku jemput, sedangkan aku sendiri dari Surabaya macet di Lapindo, jadi ya sampai jam 9 malam baru sampai di Malang.

Ini cerita tantenya tentang pembicaraan dua anak TK itu, Alni dan Kikan, sewaktu aku tak kunjung datang.

" Alni nginap disini saja ", kata Kikan.
" Aku kan gak bawa baju ", kata Alni.
" Pakai bajuku saja, tak pinjami ".
" Memangnya cukup bajumu sama aku, kan ukuranku tigapuluh meter ".
" Aku ukurannya limapuluh meter ", kata Kikan.

Tentu saja semua yang mendengar pembicaraan itu terbahak-bahak.

Kamis, 16 Desember 2010

Keinginan Yang Selalu Dikabulkan Allah

Dua minggu terakhir di bulan desember ini aku selalu berdua dengan suamiku, keliling ke beberapa kota di Jawa Timur memberi pelatihan melukis diatas kain.
Terlepas dari kesibukan rumah dan usaha yang ribet, membuat pikiranku jadi terlalu meganggur.  Tak banyak yang kulakukan dan yang kupikirkan setelah memberi pelatihan yang materinya sudah aku hafal betul.  Membuatku jadi melakukan aktifitas yang tak biasanya, yaitu mengamati suamiku.  Kusadari betapa istimewanya lelaki yang Allah pilih menjadi pendamping hidupku ini.

Diantara istimewanya dia adalah keinginannya mudah sekali dan cepat sekali dikabulkan Allah, dan dengan hal yang lebih, lebih dan lebih baik.
Dia pernah bilang, "Aku ingin pergi denganmu, berdua saja, nginap di hotel yang nyaman, sesekali ".  Eh, Allah mengabulkannya tidak lama lagi, dan berkali - kali pula. Saat berkeliling memberi pelatihan ini, membuat kami selalu berdua, tentu saja nginap di hotel yang nyaman karena semuanya dibiayai, dapat honor yang gede pula untuk kami berdua (dia asistenku ... hehehe).

Pernah pula waktu kami mencari penginapan di suatu kota, dia bilang ingin nginap di hotel yang masih baru.  Dapatnya kami nginap di wisma milik koperasi yang masih gress, pintu dan lemarinya masih bau pelitur, kamar mandinya masih bau semen, showernya saja masih ada barcodenya, wisma tersebut belum launching malah, jadi kami berdua yang nganyari.

Banyak hal kecil dan besar yang Allah kabulkan untuk keinginannya, sampai membuatku takjub. Apalagi suamiku ini bukanlah orang yang rajin mengamalkan amalan sunnah,  kalau amalan wajib sih dia tertib banget. Jadi apa sih rahasianya?  Dan ketika ini kutanyakan padanya, jawabannya hanya satu kalimat.
" Itu sih karena Allah sayang sama kita ", katanya.  Dia memang tidak pandai mendiskripsikan perasaannya, jadi aku harus memikirkan apa makna kalimatnya yang hanya beberapa kata ini.

Kesimpulanku, dia adalah orang yang meletakkan kasih sayang Allah dibalik semua peristiwa ajaib yang dialaminya. Dia juga bukan orang yang suka minta ini itu pada Allah, karena dia pernah bilang padaku," Aku ini lo dik malu kalau minta-minta sama Allah ". Untuk kalimatnya yang ini aku menerjemahkannya sendiri, berarti dia merasa Allah sudah memberikan semua yang dia butuhkan, jadi dia tinggal mensyukuri dan membesarkan cintanya pada Allah saja.

Meskipun dia suamiku,  kadang susah juga memahami kata-katanya. Tapi untuk kalimat ini," Itu sih karena Allah sayang sama kita ", membuatku harus banyak belajar dalam menyikapi peristiwa kecil atau besar dalam hidup.

Contohnya kemarin, suamiku memuji manisnya apel fuji yang kupilih, lalu aku jawab," Ini gara-gara karyawan supermarket ngajari aku milih yang warnanya merah merata, katanya itu yang manis ".  Sejenak kemudian aku tersadar,  bukankah tidak ada hal kecil atau besar melainkan Allah penyebabnya, jadi Allahlah yang menghadiahiku apel fuji yang manis, menyehatkan mulutku sehingga aku bisa menikmatinya, semua bersumber dari kasih sayang Allah.  Mestinya aku tadi bilang." Itu sih karena Allah sayang sama kita".


Minggu, 12 Desember 2010

Tuhan Sudah Membalasnya

P Hanafi -seorang teman-  menulis di status fbnya  ," Biar Tuhan saja yang membalas kejahatan mereka, karena hanya Dia yang berhak menghakimi kita ". Yah dia benar sekali, bahkan tanpa kita mengharap Tuhan membalas kejahatannya, Dia tetap akan memberi balasan atas setiap kejahatan yang dilakukan makhlukNya.  Aku pernah mengalaminya sekitar enam tahun yang lalu.

Saat itu aku mengikuti pelatihan ekspor yang diadakan di Surabaya selama 3 hari, semua peserta berasal dari kabupaten Malang dan menginap di hotel tak jauh dari tempat pelatihan.
Saat kami semua melihat-lihat show room hasil produksi UKM Jatim di gedung Pusat Pelatihan Ekspor, seorang bapak dari dinas Koperasi Kab. Malang datang menghampiriku, lalu bilang, " Bu Indah nanti dijadwalkan pameran di Jakarta bersama ibu X. Itu orangnya ", beliau menunjuk seorang ibu yang masih muda tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku sudah biasa pameran dengan berbagi stand begini, biasanya stand ukuran 3 m persegi dipakai berdua, dan gratis. Karenanya saat di hotel, begitu punya kesempatan berbincang dengan ibu X yang baru kukenal  ini, aku mencoba bicara padanya tentang pameran mendatang.
Ga tahu bagaimana mulanya kok ibu-ibu peserta banyak yang ngumpul di kamarku, termasuk ibu X. Aku bilang pada ibu X, " Kata bapak dari dinas kita bakalan pameran bareng di Jakarta ".
" Maksudnya pameran ... (aku lupa pameran apa), di gedung ... (aku lupa)? ", tanyanya.  Aku mengiyakan.  Dan tak kusangka-sangka dia marah besar, meledak-ledak di hadapan ibu-ibu yang sedang berkumpul di kamarku.
" Kamu ikut gratis kan?  Aku ini bayar dan aku bayar untuk satu stand yang kupakai sendiri. Mengapa orang dinas memasangkan aku sama kamu ? ", itu salah satu kata-katanya, dan telunjuknya itu lo, menuding-nuding aku seolah-olah aku ini telah merebut suaminya.
" Ga tahu lah, aku kan hanya dikasih tahu orang dinas seperti itu ".
"Pak siapa namanya ?", dia bertanya menyelidik.
Sungguh respon yang luar biasa tak kuduga.  Biasanya sih, kalau aku pameran berdua seperti ini, kami yang jadi wakil kabupaten akan janjian, berangkatnya naik apa, maketkan barang lewat apa, nginapnya dimana ... dll.  Kali ini aku betul-betul kaget, dan bukan hanya itu ulah bu X yang sangat menyakitiku.  Sewaktu makan malam dia bicara dengan bapak dari dinas, pasti membicarakan aku karena telunjuknya menunjuk-nunjuk padaku.
Aku merasa terpukul dan malu sekali, aku menelpon suamiku sambil menangis, sampai dia tidak bisa tidur semalaman memikirkan aku katanya.

Selepas pelatihan, aku segera melupakan insiden memalukan itu, mungkin karena kesibukan pekerjaan, lagi pula aku tak pernah bertemu dengan ibu X lagi hingga sekarang. Aku hanya mendengar kabarnya secara kebetulan sewaktu aku ada keperluan menemui pak Nanang, salah seorang pegawai dinas Koperasi Kabupaten Malang.  Pak Nanang sebenarnya hanya bermaksud menasehatiku untuk berhati-hati bila melakukan ekspor sendiri, terutama masalah pembayaran.
" Jangan sampai mengalami seperti yang menimpa ibu X, dia rugi seratus jutaan gara-gara eksport ke negara ... (aku lupa) ", kata pak Nanang padaku. Saat itu uang seratus juta banyak sekali, BBM belum naik dua kali lipat, presidennya masih bu Mega dan ekonomi stabil.
Kontan memoriku memutar ulang perlakuannya dulu padaku dan hatiku bilang, Allah sudah membalasnya .

Lega karena sudah membuktikan bahwa Allah tak pernah menutup mata bila ada hambaNya didholimi , dan lega karena melihat orang yang mendolimi aku menderita.  Duh malunya bila mengingat perasaanku yang begitu kejam saat itu.

Belakangan aku mulai mengerti betapa salahnya aku memilih perasaan itu.  Bila kutahu betapa amat besar karunia Allah  yang kuperoleh bila mau sedikit saja memaafkan, maka aku pasti sudah memaafkannya sejak detik pertama dia ngamuk-ngamuk. Memaafkan ternyata bisa memperbaiki semuanya.  Aku menulis pengalaman indahku dalam memaafkan di note FB ku 'Keajaiban Memaafkan', pengalaman nyata yang melukiskan betapa karunia Allah sangat besar kepada orang yang memaafkan, bahkan telah merubah secara ajaib perilaku teman yang telah mendholimi kita. Indah bukan?

Perlahan-lahan aku mulai mengerti, pada saat Allah menurunkan cobaan berupa didholimi orang, sebenarnya Allah sedang memberi peluang kita untuk bisa merubah dunia. Dimulai dari diri kita sendiri, menyadari bahwa kita sedang dilatih Allah untuk menjadi orang yang pemaaf dan lapang dada. Setelah kita memaafkan maka menimbulkan perasaan kasih di hati kita kepada siapapun, bahkan kepada orang yang telah menjahati kita.  Perasaan seperti ini adalah perasaan yang derajatnya tinggi di hadapan Allah dan di hadapan manusia.  Lewat ketinggian inilah kita bisa melihat segala sesuatu lebih luas, lebih sempurna, lebih detail dan tentu saja lebih indah.  Pada titik ini karunia Allah berdatangan, baik berupa materi dan hal lain yang Dia kehendaki.

Pilihan ada di tangan kita, mau mengambil peluang ini atau mengabaikannya.  Allah memang membalas setiap kesalahan hambaNya, tapi kita tak memperoleh apa-apa selain rasa puas melihat orang yang telah menyakiti kita menderita.

Duhai hati, berhentilah menjadi raja tega.

Kamis, 09 Desember 2010

Bunga Yang Berayun Seperti Kepak Sayap Kupu-Kupu

Aku pernah dibawa terbang, ke taman bunga yang berada antara hangat dan sejuk, dengan cahaya yang terangnya tidak menyilaukan dan tidak pula panas,  dengan kolam yang berair jernih, dan bunga-bunga yang berayun seperti kepak sayap kupu-kupu.  Indahnya membuat ingin seterusnya berada disana.

Itu semua kualami saat berbaring di rumah sakit beberapa tahun yang lalu, kena demam berdarah, dengan trombosit yang rendah sekali sampai harus tranfusi darah.  Tubuh lemah dan tidak boleh banyak bergerak, apalagi turun dari tempat tidur.  Suamiku menunggu dengan setia, siang malam.

Mengingat itu semua membuatku menitikkan air mata, betapa elok caraNya menghiburku, membuatku semakin merindukanNya. Mengingat itu semua membuat semakin  bertambah-tambah imanku, betapa Maha Kuasa Dia menciptakan keindahan yang tak terbayangkan oleh kita.  Ingat bagaimana surga dilukiskan sebagai sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh manusia keindahannya.

Allah, aku percaya akhirat, surga dan neraka.  Rasanya aku tak punya masalah dengan imanku, hingga pada suatu kesempatan berbincang dengan Bpk kiai di pondok pessantren Tirtoyudo.

Beliau masih muda, tapi pembawaannya langsung menyiratkan 'bobot'nya, apalagi saat beliau bicara. Saat beliau bicara tentang tauhid, membuatku jadi bertanya pada diriku sendiri," Sebenarnya sudah berimankah aku?"  Panjang lebar beliau berbicara dengan kami berdua, aku dan suamiku, tentang tauhid.

Salah satu yang kuingat adalah ,"Orang yang tauhidnya benar, dia tak pernah menghina orang lain, meskipun hanya di dalam hatinya.  Bahkan kepada seorang gelandangan yang makan dari tempat sampah pun, hatinya tunduk, kita tidak tahu, mungkin orang itu adalah orang yang dekat dengan Allah. " kata beliau. Lalu aku dibuat terpana oleh penuturan baliau dalam menafsirkan beberapa ayat Al Quran dan menghubungkan antara ayat yang satu dengan yang lain, aku merasakannya sebagai penafsiran yang sangat dalam dan tidak biasa.

" Hati orang yang tauhidnya benar itu tunduk,  ndingkluk  (beliau mengisyaratkan dengan tangannya yang tertekuk di pergelangan)  begini di hadapan manusia.  Jangan sampai hati kita menyimpulkan atau mengomentari sesuatu hal yang ada di depan mata kita, hanya Allahlah yang tahu hakekatnya ", lanjut beliau.

" Kekasih-kekasih Allah itu tersebar di masyarakat, tidak harus kiai,  jangan sampai kita mempunyai hati yang jelek kepada mereka, bisa kewales ( mendapat balasan Allah) kita ".

Pulang dari pondok di Tirtoyudo itu perasaanku sungguh tidak karuan, gelisah. Betapa bertaburan dosa dan kesalahanku.  Aku suka memandang rendah orang lain, aku suka sinis bila ada peminta-minta yang datang membawa map, apalagi orang yang meminta sumbangan dengan cara bershalawat dan berdzikir dari dalam mobil sementara anak buahnya berjalan dari rumah ke rumah membawa kotak sumbangan. Padahal suamiku suka mengingatkanku dengan mengatakan, " Dik, yang membawa mereka ke hadapan kita adalah Allah ".

 Aku suka memarahi karyawan yang tidak faham-faham dengan tugas yang aku berikan padanya, padahal bukan pilihan dia untuk berpendidikan rendah sehingga tidak mudah memahami.

Bila kita yakin bahwa dibalik semua kejadian adanya dengan ijinNya, dibalik semua perilaku orang adalah Allah, maka mengapa kita mencela skenarioNya.  Mungkin inilah salah satu yang harus kufahami,  dan aku juga mesti lebih meluaskan hati dengan menyayangi dan mendoakan mereka.

Ustadz Virin bilang padaku ,"Allah sudah mengajari bunda lewat rasa, setelah sebelumnya lewat berbagai peristiwa dalam hidup ".

Meski jatuh bangun, ingat dan lupa lagi, kucoba memahami maksud Kiai tentang tauhid yang benar.  Pernah aku merasakan bahwa tauhid itu adalah suatu rasa yang indah, saat dimana tidak ada yang lebih berarti bagi kita selain Allah, tidak manusia, apalagi uang dan materi.

Aku rasakan bahwa jalan menuju tauhid adalah jalan yang Dia ciptakan untuk hamba yang dipilihNya, hanya kemurahanNya yang membuat orang bertauhid, bukan karena usahanya. Perasaan seperti ini indahnya melebihi bahagia.  Makanya kita berdoa di setiap shalat, membaca al Fatihah, memohon petunjuk dan pimpinanNya.

Ingat taman bunga yang berada antara sejuk dan hangat, dengan kolam yang berair jernih, dengan bunga yang berayun seperti kepak sayap kupu-kupu .... itu hanyalah sebuah tempat, jangan aku merasa puas hanya karena pernah berada disana.  Merasa sudah disayang Allah, padahal masih jauh perjalanan tauhid yang harus ditempuh, dan keindahan demi keindahan menunggu disana...

Bapak Syamsul Alam almarhum (semoga Allah merahmati beliau) pernah mengajariku, bahwa dalam perjalanan keimanan seseorang ada maqam2 tertentu, atau stasiun-stasiun , kita bergerak dari stasiun satu ke stasiun berikutnya seiring dengan naiknya nilai keimanan kita, hingga bertambah dekat dengan tujuan kita yaitu Allah.  Saat itu aku hanya memahami, tapi belum merasakan betapa indahnya pemandangan di stasiun2 itu dan betapa semakin indah saja pemandangan saat kita semakin dekat dengan tujuan kita, Allah. Tapi bagaimana juga indahnya pemandangan-pemandangan itu , tetaplah bukan tujuan.

Jangan terpesona dengan keindahan yang kita lihat di sepanjang perjalanan menujuNya, jangan lalai dan jangan mudah dipalingkan dari Allah, karena keindahan yang abadi hanyalah berada di sisiNya saja, menyatu dengan kasihNya dan memancarkan kasih itu ke seluruh alam.

Sabtu, 04 Desember 2010

Mengapa Ibadah Tidak Membuat Orang Menjadi Baik

Pernah pada suatu ketika, aku bertemu dengan seorang ibu yang rajin sekali berpuasa dan sholat tahajud.  Sebenarnya beliau ini mempunyai wajah yang lembut dan tutur kata yang halus pula.  Tapi, sungguh betapa menjengkelkannya dia.  Sempat membuatku berpikir dan bertanya ,"Allah, mengapa ibadah tidak membuat orang menjadi baik dan mengerti orang lain?"  Aku  gelisah dalam beberapa hari.

Pertemuan itu terjadi dalam sebuah pameran di gedung yang cukup bergengsi di Jakarta.  Kami diajak oleh sebuah institusi pemerintah, didampingi 3 orang dari dinas terkait.  Sebuah stand pameran berukuran 3 x 4 m  dibagi bertiga, aku,  ibu itu,  dan dinas yang menjual informasi.

Sebagai seorang pengusaha yang nunut, semestinya kita bisa memposisikan diri, harus rela diatur oleh si empunya stand.  Tapi tidak halnya dengan si ibu ini,  dengan ringan dia memajang barang dagangannya sehingga brosur-brosur dari dinas kehilangan tempat, bahkan sebagian menutupi daganganku juga.  Aduh, ibu-ibu pendamping sempat dongkol dan hanya bisa bisik-bisik di belakang

Tapi ketika si ibu mendatangkan sanak familinya yang dengan enjoy duduk-duduk menenuhi stand, terpaksa ibu-ibu dari dinas melarang dan membatasi satu orang saja yang menunggu stand.  Tapi dia masih maksa juga, menunggu stand dengan saudaranya, jadi dua orang.  Jadilah stand yang yang berukuran 12 m persegi itu dijaga oleh enam orang.  Ibu-ibu dari dinas sampai mengalah,  bergantian mereka jalan-jalan, biar standnya tidak terkesan penuh.
Yang lebih menjengkelkan lagi, dia pernah membeli kerudung lukisku, tapi dia memaksaku menambahkan lukisan (aku membawa cat saat pameran), disaat semua mau pulang.  Dia ini tidak tahu atau tidak mengerti atau tidak peduli melihat kami semua kelelahan, dan begitu merindukan kasur empuk. Kuingat 3 orang ibu dari dinas berdiri menungguku, terkantuk-kantuk dengan mendekap tas, bersiap pulang. Aku yang enggan berdebat  menurutinya, seperti seorang hamba patuh pada tuannya ,oh.

Tiap hari sepulang pameran aku bertanya pada Allah," Mengapa ibadah yang sangat intensif tidak membuat hatinya lembut untuk memahami orang lain?"

Allah menjawabku.  Dalam kesempatan mengobrol dengannya, dia bercerita, betapa takutnya dia melihat pergaulan remaja sekarang, merokok, minuman keras, narkoba dan banyak kenakalan lain.  Dia berpuasa dan bertahajud untuk memohon pada Allah agar anaknya dijauhkan dari semua itu. Dan anaknya memang jauh dari semua yang dikhawatirkannya.

Akupun mengambil kesimpulan, inilah jawaban Allah, bahwa seseorang akan mendapat apa yang diniatkannya.  Saat dia beribadah demi anaknya, Allah penuhi permintaannya, hanya yang diniatkannya, tidak mendapat yang lain.  Tapi bila seseorang beribadah demi cintanya pada Allah, maka dia akan mendapat semuanya, bagusnya dia di hadapan Allah sekaligus bagusnya dia di hadapan manusia dan terjauhkannya dia dari apa-apa yang dikhawatirkannya.

Di penglihatan mata kelihatannya sama, berpuasa dengan menahan lapar dan haus, bertahajud 11 rekaat, lelahnya juga sama, tapi sungguh besar perbedaan dalam perolehannya,  hanya karena perbedaan dalam meniatkannya.

Allah,  tuntunlah hatiku dalam menata niatku, agar selalu karenaMu saja. Engkaulah yang membolak balikkan hati manusia.




Jumat, 03 Desember 2010

Ketulusan yang Mencengangkan

Orang-orang yang tulus, tulus dalam membantu orang lain, tulus dalam memberikan ilmunya, dan hatinya mudah jatuh melihat penderitaan orang lain, adalah orang yang telah sengaja berbuat baik untuk dirinya sendiri.  Hal yang luar biasa aku temui kemarin, cerita dari pelaku ketulusan hati yang membuka peluang bagi dirinya sendiri untuk melesat dalam karir dan finansial mereka.

Ini sepotong cerita oleh-oleh dari rapat di Surabaya, bertemu teman sesama trainer di klinik UKM propinsi Jawa Timur, ada yang aku sudah kenal, ada yang baru kenal dan ada yang baru dua kali bertemu.
Jam karet membuat kita satu jam menunggu, yang kita manfaatkan untuk saling kenal dan berbagi cerita.
Duduk disampingku seorang ibu yang berusia limapuluh tahunan lebih, seorang penulis, yang punya usaha di bidang handycraft.
" Berapa karyawan njenengan?" beliau bertanya padaku.
" Persisnya ga ingat, yang jelas lima puluh orang lebih ".  Kagetnya dia, matanya membelalak.
" Hah? Trus gimana masarkan produknya? "  beliau bertanya dengan lugunya,  dan kujawab dengan lugu juga.
" Yah, dipasarkan aja ...", kataku
" Kalau saya ini ya cuma lewat pameran, saya bikin usaha ini gak sengaja lo mbak ", kata beliau.  Lalu beliau bercerita tentang karyawan pertamanya,  seorang ibu rumah tangga yang amat membutuhkan pekerjaan.  Sebenarnya si ibu sudah mencoba menjadi pembantu rumah tangga, tapi tangannya tidak kuat mengerjakan pekerjaan kasar, ditunjukkannya tangannya yang melepuh kepada temanku ini.  Karena kasihan, diajarinya ibu ini berbagai ketrampilan.  Eh, datang lagi perempuan lain yang juga membutuhkan pekerjaan, diterimanya juga, sampai terkumpul 5 orang.  Terpaksalah temanku ini jadi pengusaha, pameran sana sini.  Yang membuat produknya dikenal,  lalu dia diambil menjadi trainernya propinsi (yang honornya lumayan buangets), lalu bertemu denganku ... hehehe.

Dalam perjalanan pulang, suamiku malah punya cerita yang lebih seru lagi.  Tadi waktu rapat kami memang tidak duduk berdampingan, suamiku ngumpul dengan bolo kurowo nya, wong lanang-lanang di belakangku. Tapi yang diceritakannya tentang seorang ibu yang datang belakangan, lalu duduk di sampingnya.
Si ibu bercerita bagaimana dia secara total membantu orang lain,  dia punya usaha pengolahan eceng gondok menjadi berbagai barang kerajinan.  Lewat pelatihan yang diselenggarakan pemerintah dia tularkan ilmunya ini pada banyak orang, dia cetak orang menjadi pengusaha, tanpa takut mereka menjadi pesaingnya.  Bahkan beliau pernah membantu seorang yang bangkrut, terpuruk dengan banyak hutang, rumahpun terjual,  sampai orang ini bisa melunasi semua hutangnya, punya rumah dan mobil lagi.
"Aku bilang padanya, janganlah memikirkan hutang, pikirkanlah membantu orang lain", demikian yang dikatakannya kepada orang yang bangkrut ini.  Resep memikirkan orang lain ini membuatnya kebanjiran order, sampai keuntungannya melebihi jumlah hutang. Amazing bukan?
Dan untuk si ibu yang tulus hati ini Allah memberinya hadiah yang luar biasa. Beliau ditarik Unesco memberi pelatihan untuk beberapa negara, jadi dia bisa keliling dunia gratis plus honor yang kemudian dipakainya membeli tanah yang luas, saking luasnya sampai lebih mirip hutan.

Allah, terimakasih, Engkau berikan kami pelajaran berharga hari ini, jadikanlah kami orang-orang yang tulus hati, yang berbuat kebikan bukan karena mengharap balasan , tapi semata-mata karena mewujudkan kasihMu di muka bumi.

Kamis, 02 Desember 2010

Sunan Giri Dan Aku

Dulu bila mendengar kata 'ziaroh' yang maksudnya ziarah / berkunjung ke makam tokoh-tokoh yang dianggap suci, aku langsung gatal-gatal, alergi ... haha, apalagi mendengar kata 'ziaroh wali lima', 'ziaroh wali delapan',  rasanya pingin bilang, ziaroh wali seratus aja, ga usah pulang ... hahaha.

Ya memang semakin kita tidak menyukai sesuatu, semakin berdatangan hal yang tidak kita suka itu di sekeliling kita, seperti mengejek, menertawakanku dan semakin keras tawanya begitu melihatku bete.

Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan Muhamadiyah, yang namanya ziarah, berkunjung ke makam orang-orang suci, adalah hal yang sama sekali asing bagiku. Dan berdasarkan berbagai pengalaman, aku jadi mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang berziarah rata-rata tujuan mereka adalah ngalap berkah  yang tidak diperbolehkan dalam agama karena tidak ada dasar hukumnya di hadist dan Al Quran.  Itulah anggapanku yang kupegang teguh selama bertahun-tahun.

Walaupun aku seorang yang mudah menerima perbedaan, tapi ga enak juga bila karyawanku semua adalah warga Nahdiyin. Mereka sering pamit tidak masuk kerja karena ziaroh wali, sesering aku bertanya kepada mereka," Apa sih tujuanmu ziaroh?" Mereka suka menjawab dengan senyuman, melengkapi alergiku dengan rasa penasaran.

Rasa penasaran itu akhirnya terjawab secara tidak sengaja.
Suatu hari aku bertiga dengan sopir dan ustadz Virin ke Gresik, mengantar mukena pesanan. Banyak sekali pesanannya, ribuan, karena produk ini diiklankan di majalah-majalah, dipakai di sinetron-sinetron dan memakai model artis ternama. Tiap minggu aku mengirimkan ke Gresik bila telah selesai 200 potong mukena.

Allah Yang Maha Membuat Rencana mengatur kedatanganku ke kantor perusahaan mukena itu tidak dalam waktu yang tepat, karena mereka sedang istirahat siang, mereka menyuruhku kembali satu jam lagi.  Aku mengajak sopir dan ustadz Virin ke makam sunan yang banyak sekali berada di Gresik.  Akhirnya kami bertiga berkunjung ke makam sunan Giri.

Bengong aku berada disana.  Melihat begitu banyak manusia duduk membaca yasin dan doa-doa, aku ikut-ikutan membaca yasin. Kubaca dengan penuh perasaan karena aku mengerti artinya, hingga aku seperti masuk ke dalam kata perkatanya. Dalam khusyukku aku seperti ditemui seseorang dari masa lalu, berpenampilan sederhana, bersurban, beliau mengatakan padaku ," Jerih payah kita dalam berdakwah itu tak sebanding dengan karunia Allah (yang luar biasa) saat kita sudah meninggal ".

Aku tertegun, air mataku spontan berjatuhan, hatiku dingin dan haru.  Tahukan perasaanku beberapa hari terakhir?  Aku patah hati, patah hati karena merasa gagal membawa karyawanku yang aku rengkuh sebagai saudaraku sendiri untuk mendekatiNya.  Aku ajak mereka mentaatiNya,  tapi mereka itu titik titik deh.  Aku datangkan pengajian ke butik, aku wajibkan berdoa dan membaca Al Quran tiap pagi sebelum kerja, tapi perilaku mereka begitu aduhai di mataku.  Aku patah hati.

Aku tak tahu siapa dia, lelaki dari masa lalu, yang kebijakan memancar dari wajah sederhananya.  Aku bayangkan betapa susah payahnya beliau menyusun strategi dakwahnya di tanah jawa yang mungkin masih gung liwang liwung.  Dan mungkin karenanya aku sekarang bergama Islam. Betapa malunya, perjuanganku memimpin beberapa puluh orang saja sudah membuatku patah semangat.

Dalam perjalananku pulang ke Malang, ustadz Virin berkata, " Diantara hikmah kita berziarah ke makam para wali adalah meneladaninya".
Aku pulang membawa semangat, seolah berguguran segala keluh kesah tentang karyawanku.

Rabu, 01 Desember 2010

Tangan Kekar Itu

Tangan kekar itu tergolek lemah, selang infus terpasang.  Itu tangan bapak, begitulah aku memanggil ayahku.
Dulu tangan itulah yang menggendongku, membelai, bahkan kuingat saat kecil dulu, pernah cacingan, dan sepanjang malam tangan itu pula yang menggaruknya sedang aku dalam posisi nungging. Geli mengingatnya.

Tangan itu  dulu hampir tiap habis maghrib memeluk aku dalam pangkuannya, sedang anak-anak kecil yang beberapa tahun diatas usiaku mengelilinginya, mengaji.
Tangan itu pula yang menurunkan aku dari gendongannya, meletakkanku berdiri tepat disampingnya, lalu bertakbir Allahu Akbar, orang-orang di belakangku mengikutinya ruku dan sujud.  Lalu setelah salam, tangan itu meraihku dalam pangkuannya, bahkan aku masih ingat dzikir yang biasa dilantunkannya.

Tangan itu pernah menenteng kanvas dari rumah tukang, untuk menyenangkan aku yang hobby melukis. Dan pernah, saking bangganya pada anak cantiknya yang diterima di fakultas perikanan , membeli kaca aquarium besar yang dibelinya dari kota, naik bis berjarak 40 km an, dan kaca itu kupecahkan, hingga jadi aquarium kecil.

Pernah kubertemu seseorang di angkutan umum, mengatakan padaku ," Untung lo ada bapak, beliau salah seorang yang merintis kehidupan beragama di desa Sumberagung ".

Aku suka bertanya pada diriku, bila orang tuaku telah memberiku masa kecil yang indah,  masa kecil seperti apakah yang telah kuberikan pada anak-anakku?  Apakah yang mereka kenang tentang ibunya?