Minggu, 31 Juli 2011

Saat Segalanya Terbalut Kasih Sayang

Senin 1 agustus 2011.
Buka puasa pertama ramadhan tahun ini, sayur bening labu siam dan tahu tempe goreng, ta'jilnya serbat tomat. Alhamdulillah aku bukan lagi ibu yang suka 'browsing' hidangan enak untuk berbuka puasa.  Dalam hal makanan aku bersikap biasa-biasa saja, seperti hari-hari biasa.  Seperti tadi pagi, bu Kot pulang belanja dengan tangan kosong, katanya tidak ada tukang sayur yang berjualan. Bu Kotpun memasak seadanya di kulkas. 

Ramadhan adalah bulan ajaib, baunya terasa harum, bahkan sudah tercium beberapa bulan sebelumnya, menjadikan orang beriman begitu merindukannya.

Ramadhan adalah bulan dimana segala hal menampakkan keindahannya. Langit, bumi, gunung, daun, angin lembut atau berisiknya deru mobil di jalan... semua menjadi begitu indah, karena hati kita dan hati mereka dipenuhi cinta....

Karena Ramadhan adalah bulan kasih sayang... walaupun setiap bulan dan hari kita semestinya saling berkasih sayang, ramadhan adalah bulan yang begitu khusus, disini tempat melatih rasa kasih kita.

Kasih sayang yang bukan dibatasi oleh orang-orang terdekat kita, Allah mengajari kita mengasihi orang yang lemah, fakir miskin, anak yatim..... dan alam semesta.

Sore tadi, Alni yang badannya panas, kupeluk lalu kuucapkan :" Ibu sayang Alni ".
Tak kusangka aku mendapat respon yang meleset dari tebakanku.  Kukira dia akan bilang :" Alni juga sayang ibu ", seperti biasanya.
Kali ini jawaban Alni begini : " Alni juga sayang ibu, mas Insan, bapak...... semuuuuaaanya,  Alni juga sayang sama Allah, juga sayang sama bumi .......semuuuuaaaanya ".

Aku merasa tidak pernah mengajari Alni jawaban itu, seolah-olah dia bisa mengcopy paste pikiran dan perasaanku.
Orang yang menyayangi adalah orang yang berbahagia, orang yang hatinya dipenuhi kasih sayang adalah orang yang merdeka, merdeka dari perbudakan hasad, iri dengki, marah, benci, dll....

Biasanya remaja putri dan ibu-ibu suka sekali menyiapkan berbagai makanan enak untuk buka dan sahur. Sedang  Allah mengiming-imingi pahala yang banyak buat orang yang memberi makan orang yang puasa.  Jadi saat kita menyiapkan makanan untuk keluarga kita, apa yang kita pikirkan?
Apakah kita memikirkan juga,  di belahan bumi ini, di indonesia ini..... di desa ini, di lingkungan terdekat kita..adakah yang tidak bisa makan sahur dan berbuka dengan makanan yang layak?
Jangan menunggu hingga kita berkelebihan, baru beramal.  Bila perlu, berhematlah agar bisa beramal.

Seandainya di bumi ini, orang yang berlebihan harta mau sedikit saja berhemat untuk disisihkan dan diberikan kepada orang yang lemah, fakir dan miskin, tentu di dunia ini tidak ada kelaparan.

Allah melatih kepekaan kita selama ramadhan, bila berhasil, kepekaan itu terbawa hingga sepanjang tahun.  Sepanjang tahun yang kita lalui dengan penuh kasih kepada orang-orang yang lemah dan membutuhkan.  Bila kita hanya menjadi dermawan saat ramadhan, lalu menjadi penuh perhitungan lagi diluar ramadhan... boleh jadi 'latihan' kita tidak berhasil.  Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.

Allah,
jadikan tangan ini, kepanjangan dari rahmatMu
luaskan hati kami dengan kasihMu
sampaikan tangan kasih ini kepada mereka yang membutuhkan
hingga tak ada lagi di bumi ini
penderitaan dan kelaparan
atau permusuhan

jadikan bumi ini pintu menuju
surgaMu


Ramadhan Ini Anda Mulai Dari Mana?

Memasuki ramadhan malam ini, mas Hary dan Insan larut dalam kebahagiaan malam pertama tarawih.
Aku dan Alni di rumah saja, aku sedang haidh dan Alni baru saja turun demamnya.

Memasuki ramadhan, seperti memasuki salon kecantikan lahir batin.
Aku memulai "perawatan" diri tadi sore.
Saat bertemu dengan seorang anggota keluarga yang rasa irinya padaku begitu kentara . Aku tak tahu apakah salahku, bahkan dia seakan-akan menjauhkan anak-anaknya dariku, padahal aku amat rindu dan menyayangi mereka. Dia juga telah menyakiti ibuku begitu dalam, sedang dia selalu merasa benar.

Sore tadi kubertemu dia di rumah ibu di Ngantang, kutepis jauh-jauh rasa kecewa, kubuang segala sakit hati dan berbagai pertanyaan 'mengapa atau apa salahku?'.  Kumaafkan dan aku berdoa dengan tulus kepada Allah, agar Allah mengampuni kami semua dan mengutuhkan keluarga kami lagi.
Setelah doaku, aku menjadi tahu, bahwa mencari-cari dimana sumber kesalahan , itu tak akan memberi kontribusi apa-apa pada permasalahan kami.
Hanya maaf dan kasih sayang yang tulus yang bisa menjawab segala perselisihan di antara keluarga.

Malam ini, ya Allah.
Telah kumulai ramadhanku dengan hati lapang, penuh maaf dan cinta.
Ijinkan aku berada dalam naungan ramadhan yang indah dan menyelesaikannya dengan meraih kemenangan.

Sahabatku,
Ramadhan yang indah ini, dari mana kalian memulai 'perawatan' diri ?

Senin, 25 Juli 2011

Gila Harta Geli Harta

Kalau orang gila harta, banyak jumlahnya... kalau geli harta? Apaan tuh.... Memang harta bisa membuat kita geli lalu ...hahaha...?

Tentang harta, aku banyak belajar dari ibuku. 
Orang tua ibuku (kakek nenekku) adalah petani yang sukses di Ngantang, sawah dan kebunnya luas. Walau begitu ibu tak pernah merasakan kepanasan di sawah, karena pembantunya banyak dan kegiatan ibu hanya bersekolah.  Setelah lulus SR (Sekolah Rakyat) ibu kemudian bersekolah di kota, lalu menjadi guru di Batu, menikah, punya anak kakakku.  Ibu sempat melanjutkan kuliah sampai tingkat IV kata ibu, tapi berhenti kuliah karena hamil aku, putri keduanya ini.

Saudara ibu banyak, ada 13 bersaudara, tapi yang hidup hanya ibu dan kakak sulung ibu (almarhum pakde), jadi hanya si sulung dan si bungsu yang hidup. 
Kata ibu, pak de orangnya agak serakah (maaf pakde, Indah ceritakan ini semua untuk memberi pelajaran ke banyak orang, katanya kalau untuk ibrah gakpapa menceritakan keburukan orang lain).  Sawah dan kebun yang sebegitu luasnya sedikit demi sedikit dijual sama pak de, hingga yang tersisa cuma sebuah rumah tua dengan kebun yang mengelilinginya.

Ibu memutuskan untuk kembali ke Ngantang, menjadi guru di Ngantang dan menempati rumah peninggalan kakek yang tersisa. Pak de dengan rela menyerahkan sisa harta kepada ibu, beliau merasa sudah menghabiskan tanah dan sawah terlalu banyak.

Semula kehidupan Pak de normal-normal saja, hingga akhirnya jatuh miskin, tapi ibu selalu menyayanginya dan juga mengajari kami untuk menyayangi pakde . Ibu secara rutin mengirim beras, memberi uang, membawanya ke dokter bila sakit, bahkan berlangganan majalah Jawa Panjebar Semangat untuk pak de.  Ibu tak pernah dendam dengan perlakuan pak de padanya. Walaupun ibu sering bercerita tentang kerinduannya akan sawah yang menguning, atau duduk di pondok di tengah sawah ditemani hembusan angin.... Dulu aku sering tertular ibu, ingin merasakan punya sawah dan berada di tengah harum padi yang menghampar.....

Mungkin keikhlasan ibu memberikan berkah pada hartanya, akhirnya ibu bisa memiliki empat bidang tanah lagi dan sebuah rumah yang sekarang ditempati ibu.  Entah bagaimana cara ibu mengelola keuangan, aku melihat harta ibu berkembang, sementara aku dan 3 saudaraku juga bersekolah hingga perguruan tinggi.  Mungkin inilah yang disebut berkah dalam rejeki.

Aku juga melihat bahwa harta juga bisa berpaling dari seseorang sesuka hatinya.
Waktu kecil di Ngantang itu aku mempunyai tetangga yang kaya sekali menurut ukuran desaku.  Beliau bapak Y yang mempunyai studio foto pertama di Ngantang, studionya dihiasi lukisan yang memenuhi dinding.  Selain itu beliau juga mempunyai kebun yang luas.  Bila panen cengkih tiba, sebagian besar halaman rumahnya yang luas itu menjadi penuh dengan bunga cengkeh yang harum.  Begitupun saat panen kopi, panennya termasuk yang paling berhasil di lingkungan tempat tinggalku saat itu.

Kekayaan bapak Y terlihat dari mainan putranya, saat anak-anak di desaku bermain dengan tanah dan alat masak memasak yang terbuat dari tembikar, maka putra pemilik studio foto ini sudah bermain dengan kereta yang bisa berjalan sendiri dengan bateray. Kebetulan putra keduanya seusiaku dan kami sering main bareng. Saat itu langka sekali mainan seperti itu, hanya bisa dibeli di kota dan  mahal pula.

Ketika aku meninggalkan Ngantang untuk bersekolah di SMAN Batu, bisnis bapak Y mulai mundur dan harta bapak Y mulai 'meninggalkan'nya satu persatu.  Tanah yang luas itu sedikit demi sedikit dijual dan salah satu kapling dibeli oleh ibuku.  Hingga yang tersisa tinggal rumah yang beliau tempati.  Tragis bukan?

Kenyataan yang kulihat di sekelilingku sejak aku kecil itu membuatku tidak gila harta.....
Pernah melihat  orang yang semasa hidupnya begitu membanggakan kekayaannya?  Pernah melihat saat dia mati? Apakah kekayaan yang dia banggakan bisa menolongnya? atau terbawa ke alam kubur? atau melepasnya dari azab Allah? bahkan kekayaan itu tidak bisa membuatnya terlepas dari pedihnya sakaratul maut.......

Kita lihat sungguh menggelikan sikap manusia terhadap harta.... Semasa hidupnya sebagian manusia  memperjuangkannya hingga menghalalkan segala cara, kemudian harta yang dikumpulkannya membakarnya di neraka..... Kadang  belum sampai ke neraka akhirat, lebih dulu merasakannya di dunia ini, berupa ketidaknyamanan, ketidak tenangan, dan mungkin penjara....

Mungkin kita musti mengembalikan posisi harta pada tempatnya, pada fungsi pokoknya.
Harta yang berupa rumah adalah tempat manusia berlindung dari hujan, panas, melindungi aurat kita, tempat kita berkumpul dan berkasih sayang dengan keluarga, tempat kita memperoleh ketenangan sehingga bisa beristirahat dan beribadah dengan tenang....  Tempat kita berbuat baik dan menolong orang lain bila ada yang membutuhkan menginap. Rumah secara keseluruhan menjadi tempat kita mengabdi  kepada Allah.

Bila kita membangun rumah demi tujuan bermegah-megahan, agar dibilang sukses dan kaya misalnya...atau tujuan lain yang hanya memuaskan nafsu duniawi, berarti saatnya merenovasi niat kita.... jangan sampai rumah yang kita banggakan turut menjadi bahan bakar kita di neraka.

Setiap hari kita bersentuhan dengan harta yang berupa uang, setiap hari tangan kita terkotori oleh kuman yang  dibawanya.  Kuman sungguhan yang berupa bakteri dan virus atau kuman ruhani yang berupa tamak dan rakus. 
Kita musti kembalikan fungsi uang sebagai alat tukar, bukan sumber ketenangan batin atau kepuasan diri sendiri.  Bila kita menjadi begitu sedih dan pusing saat tidak punya uang atau saat hanya memiliki sedikit uang, lalu menjadi begitu gembira saat kedatangan uang yang melimpah..... tanyakanlah pada hati anda, apakah uang sudah menjadi sumber kebahagiaan buat anda?  Bila ya, tanyakan lagi kepada hati anda, tidakkah ada yang lebih berhak untuk menjadi sumber kebahagiaan anda yaitu Dzat yang telah memberi anda rejeki berupa uang?

Aku adalah orang yang tidak suka menabung dan tidak suka ikut asuransi ini itu.  Aku memang khawatir bila aku mempunyai banyak uang di rekeningku, maka dia berubah menjadi sumber rasa amanku, bila ikut asuransi pendidikan aku juga khawatir bahwa aku menganggap uang adalah jaminan masa depan anak-anakku.  Sumber rasa amanku adalah Al Mu'min (salah satu asma Allah yang artinya Yang Maha Mengaruniakan Keamanan) dan tetaplah Allah saja sumber rasa aman dan kebahagiaanku.  Adalah Allah yang membuat anak-anakku bisa bersekolah dan hanya Dia Maha Penjamin kehidupan manusia seluruhnya. Aku pernah tahu, seorang familiku yang mengasuransikan pendidikan anaknya, ternyata anak itu sendiri malah mogok kuliah..... 

Selain sebagai alat tukar, uang juga merupakan ujian dan amanah Allah.  Bagaimanakah tuntunan Allah di Al Qur'an tentang cara kita memperlakukan harta yang kita punya?  Bukankah Allah memerintahkan kita menafkahkan di jalanNya?  Menafkahi keluarga termasuk di dalamnya, tapi tidak perlu berlebihan bukan? Dan jangan tunggu sampai berlebihan baru menafkahkannya untuk fakir miskin, ibnu sabil, anak yatim, jihad fisabilillah ......... dst

Ibu-ibu suka sekali dengan perhiasan yang berupa emas dan perak. Dulu sewaktu masih nganggur, aku suka mengamati ibu-ibu menjadikan koleksi emas yang menghiasi tubuhnya sebagai bahan untuk jor joran, atau bersaing satu sama lain.  Itulah sebabnya aku tidak suka perhiasan emas dan tidak suka memakaikannya untuk anak-anak gadisku kecuali anting-anting. Sementara aku lihat di kampung-kampung, balita yang lucu-lucu sudah diberi perhiasan emas mulai dari anting, gelang, kalung dan cincin, gak tahulah aku apa maksudnya, yang jelas bagiku, balita cantik-cantik itu jadi rawan dijahati orang.

Allah memang tidak melarang hambaNya untuk menjadi kaya raya, Dia sendiri pula yang menurunkan rejeki mereka.  Tapi untuk memperlihatkan kekayaan di tengah kemiskinan...... oh... i'm sorry...
Manusia sering terlupa bahwa harta bisa membutakan mata hatinya, dan bila ini terjadi .... tunggulah barang sebentar karena harta bisa datang dan pergi sesuka hatinya.

Semasih di Bali, aku dan suamiku punya teman muslim yang sangat sangat sukses dan juga sangat dermawan, sebut saja bapak S di kota N.  Saking suksesnya, beliau membangun rumah besar dan mewah dilengkapi dengan kolam renang, kamar si empunya rumah setara dengan kamar hotel bintang 5. Aku memang pernah masuk ke kamar beliau untuk berwudhu di kamar mandinya yang mewah sekali. Selain rumah utama, ada dua paviliun yang disediakan untuk tamu atau saudara yang menginap.

Sayangnya, tak jauh dari rumah mewah itu, ada perkampungan miskin yang keadaannya amat memprihatinkan.  Aku pernah bertamu ke beberapa rumah disitu, salah satu rumah yang kukunjungi ternyata hanya berupa sebuah kamar berdinding bambu yang ditempati suami istri dengan lima orang anaknya!!! Yang dijadikan 'ruang tamu' hanyalah sebuah teras kecil dengan bangku yang amat sederhana.  Rumah-rumah lain lebih mendingan, tapi tetap saja disebut gubug karena rata-rata berdinding bambu dan reyot pula.

Memang Allah tidak melarang kita membangun rumah mewah dengan uang kita sendiri, tapi musti diingat lagi..... apa tujuan/niatan kita saat membangun rumah mewah itu?  Apakah untuk bermegah-megahan yang dilarang Allah? atau untuk apa....? Bila kemewahan itu bisa mengikis kepekaan hati kita akan penderitaan orang lain, bisa jadi harta kita adalah cobaan... 

Setelah aku pindah ke Malang, aku jarang berhubungan dengan bapak S dan istrinya, hingga suatu saat ada kesempatan berkunjung ke Bali. Bapak S bercerita pada suamiku bahwa usahanya telah bangkrut dan tutup, sekarang mereka hidup dari sebuah warung makan yang dikelola istrinya.  Rumah mewah yang nilainya beberapa milyar itu kini sudah dalam jaminan bank.  Seandainya terjualpun, hasilnya tidak bisa menutup utang mereka yang belasan milyar.  Warung makan tempat istrinya berjualan itupun statusnya menyewa.  Praktis bapak S adalah orang miskin yang terlihat kaya, orang menderita yang terlihat bahagia, bahkan untuk menguliahkan anak mereka, musti mencari kuliah gratis atau yang ada beasiswanya.  Kasihan bukan? Semoga dengan peristiwa ini mereka sadar, bahwa menjadi dermawan saja tidak cukup, kita juga musti menjaga hati orang miskin untuk tidak silau dengan harta yang kita punya.

Harta memang bisa datang dan pergi sesuka hatinya, saat dia pergi terlihatnya seperti sedang 'mengkhianati' kita, padahal dia hanyalah makhluk Allah yang patuh.  Harta hanyalah alat untuk membuktikan ketaatan dan pengabdian kita padaNya.  Sebagai sebauah alat, dia dipakai sebagai sarana untuk mendekatkan kita pada Allah.  Jangan jadikan alat sebagai tujuan, karena ini hanya menunjukkan kebodohan kita.  Ibarat mobil hanyalah alat untuk mengantarkan kita ke suatu tempat, bila kita menjadikan mobil sebagai tujuan, maka mobil itu hanya kita nikmati kebagusannya saja, kita lap dan kita bangga-banggakan sebagai mobil milik kita, tanpa pernah memakainya, kitapun tak bisa memetik manfaat dari mobil itu. Menggelikan bukan?  

Selasa, 19 Juli 2011

Perbedaan antara Benar dan Yakin

Semasih SMP, aku pernah tertegun saat membaca dalil tentang jilbab, seingatku di buku Al Islam karya Prof. Dr. Hasby Assidieqy.  Maklumlah, saat itu belum umum orang mengenakan jilbab, dan akupun tak pernah mendapat pelajaran tentang pakaian wanita Islam. Kagetlah aku, ternyata wanita muslim itu harus tertutup semuanya kecuali muka dan telapak tangan.
.... dan pakaian yang terbaik adalah takwa.... maka tahukah setelah membaca bahwa 'pakaian terbaik adalah takwa', aku langsung merasa lega, jilbab berarti bukan keharusan karena pakaian terbaik adalah takwa.
Bila mengingat pemikiranku saat itu, aku jadi ngakak.... Coba pikir, kalau misalnya seseorang memakai rok mini dengan atasan yang minim pula..... atau memakai bikini, apa bisa disebut berpakaian takwa?  Terus patokan mana pula yang kita pakai untuk disebut  berpakaian taqwa?.

Anehnya pemikiran ala anak bau kencur itu menjangkiti anak kuliahan.  Waktu itu aku punya teman satu kost yang menganggap bahwa jilbab tidak wajib, jilbab hanya anjuran agar wanita mudah dikenali dan tidak diganggu.  Katanya begini nih.... aurat wanita adalah berada dalam rumahnya....dan banyak lagi alasannya. Gak jelas deh, dalil yang mana yang dia pakai.....
Saat kuliah itu pemikiranku tentang jilbab sudah benar 100% sih, malah aku sudah berkerudung saat itu.

Setelah aku tua ini, aku masih bertemu lagi dengan orang yang merasa yakin bahwa jilbab bukan kewajiban......

Aku mau mendongeng saja aaah...
Pernah aku alami, saat kuliah itu, aku berjilbab dan berkumpul dengan jilbaber dari berbagai fakultas di kampus.  Ngaji bareng di masjid kampus di sela-sela waktu kuliah, study ke pondok pesantren, menjalankan amalan sunnah selain yang wajib.... banyak dan banyak hal.  Aku menaatiNya dengan ikhlas.

Setelah menikah, aku memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.  Aku menjaga diriku untuk hanya keluar rumah bila didampingi muhrim saja.  Sampai-sampai aku tidak tahu rasanya naik angkot!  Aku menjalani peranku sebagai ibu dan istri dengan mengikuti aturan Allah .

Lalu datanglah cobaan itu.  Aku sering dilanda ketakutan, bagaimana ya seandainya suamiku meninggal duluan, sedang aku tidak bisa mencari uang.  Ketakutan itu menderaku terus menerus....  Hingga aku minta ijin suamiku untuk berwirausaha.  Saat itu pilihanku membuka warung makan.  Selama aku menjadi ibu rumah tangga saja, aku memang jadi pintar memasak, lagi pula di daerah Pakis dulu tidak ada warung makan yang enak.

Akupun membuka warung makan yang laris, hingga mempunyai cabang di dalam area lanud Abd. Saleh. Sementara suamiku masih tinggal di Bali, dia pulang ke Pakis tiap dua minggu sekali.
Saat itu perlahan-lahan jilbab mulai tergusur dari kepalaku....  Mulanya karena tergesa-gesa meladeni pelanggan , hingga tidak sempat berjilbab...lalu aku menjadi ringan saja melepas jilbab.

Begitulah, aku menjadi 'jahiliyah' selama sekitar 2 tahun.  Selama itu cobaan datang bertubi-tubi, terutama karena aku tidak mengenakan jilbab.  Banyak dan banyak sekali lelaki jatuh cinta padaku (aku memang lebih cantik bila tidak memakai jilbab), mereka mengatakan cintanya dan bahkan ada yang melamarku karena mengira aku masih gadis.
Akhirnya aku terpikir untuk menutup warung saja, aku sudah tidak tahan dengan banyaknya godaan dan banyaknya penderitaan karena jauh dari suami.  Aku putuskan untuk bertaubat, kembali pada suamiku dan kembali kepada Allah.

Bila aku renungkan, periode 'jahiliyah'ku itu hanyalah mengundang kesengsaraan dan penderitaan saja, bukan hanya bagi diriku, juga bagi orang-orang yang dekat denganku sementara aku tidak menyadarinya.  Kesimpulanku adalah "Tidak ada kebahagiaan dalam ketidaktaatan akan aturanNya".

Aku bersyukur sekali, pengalaman menaati Allah saat kuliah itu menarikku kembali menaatiNya. Itu adalah saat-saat indah dalam hidupku.  Juga saat menjadi ibu rumah tangga saja dan mengikuti aturanNya itu sungguh suatu 'episode' kehidupanku yang paling manis.

Jujur aku memang masih merindukan masa-masa indah itu, di rumah bersama anak-anakku, memasak, berkebun, memelihara ikan, menunggu suami pulang kerja.  Aku hanya keluar rumah bersamanya dan tentu saja berjilbab. Tidak ada lelaki menggoda atau jatuh cinta.  Aku begitu terjaga dan begitu bahagia...  Mungkin itulah maksud Allah dengan segala aturan yang kelihatannya memberatkan kaum wanita, padahal semua itu demi kebahagiaan wanita itu sendiri.

Pernah aku ungkapkan rasa inginku kembali seperti dulu pada ustadz Virien, dia jawab begini :" Boleh bunda kembali seperti itu... tapi bila tetap seperti ini bunda lebih bermanfaat untuk orang banyak.  Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain".
Yah, aku tidak boleh egois, yang hanya memperhatikan ketentraman batinnya sendiri. Sekarang aku memang menjalani peranku sebagai pengusaha, aku juga sering tampil di depan umum sebagai nara sumber, dan berinteraksi dengan banyak orang.... Mungkin yang penting adalah tetap menjaga aurat dan perilakuku sebagai muslimah.

Sekarang bila ada orang yang mengatakan bahwa jilbab hanya anjuran saja, dan tidak wajib... aku hanya bisa bilang, boleh mereka meyakini pendapatnya, tapi ketahuilah bahwa yakin belum tentu benar. Karena yang benar adalah yang mendatangkan kedamaian, kepastian dan kebahagiaan di hati.  Menolak untuk berjilbab sama saja dengan menutup kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang Allah berikan kepada wanita yang menaatiNya. 

Rasanya cuma Islam agama yang mengatur umatnya sebegitu rinci dan menyeluruh, tak ada aktifitas yang luput dari perhatian Islam, betapa Maha Teliti Dia. Apa ada agama lain yang mengatur cara umatnya berpakaian? Cuma Islam kan? beruntunglah kita wanita muslimah.

Catatan :
Pembahasan tentang jilbab ini mungkin lebih lengkap bila anda membuka postingku yang berjudul
- Dalil tentang Jilbab
- Allah, apakah kami Engkau ciptakan untuk Engkau siksa
- Idiih Malu deh

Dalil Al Qur'an dan Hadist tentang Jilbab

 Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "

( terjemah QS. 33 : 59 )

“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
(QS. Al A’raaf: 26)

Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini (Rasulullah menunjuk muka dan telapak tangan).’ (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.’(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : ‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.’
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya

Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Minggu, 17 Juli 2011

Minggu yang Indah

Minggu dalam kesendirian, cuma dengan Alni.
Mas Hary ke Jakarta, pameran dengan Yudi.  Insan main ke temannya.

Minggu ini begitu sunyi, kulalui dengan bermain bersama Alni.
Kadang Alni menonton tivi, sementara aku mendengarkan lagu nostalgia dari youtube.
Senangnya bisa menemukan lagu jadul, Titik Hujannya Marini dan Cinta Putihnya Titik Puspa. Bahkan bisa jumpa dengan Ernie Johan dan Tetty Kadi, dua penyanyi ini kondang waktu aku masih imuuut banget, mungkin waktu awal-awal aku masuk SD. Kalau Marini sih terkenalnya waktu aku SMP, jadi lagunya masih aku ingat.

Siang bapak datang dari Ngantang, katanya besok mau kontrol ke  RS Abdurrahman Saleh.
Sore hujan turun dengan manis, hujan pertama sejak beberapa lama panas terik.
Bau air hujan begitu harum....
Film di tivi juga film anak-anak yang manis, hercules, lalu george si raja hutan.
Selepas hujan aku dan Alni belanja ke minimarket KUD sebelah rumah, bau tanah basah dan air hujan tergenang di beberapa tempat, menghadirkan kehangatan.

Di minggu yang tenang, saat bermain mengajari Alni membaca dengan metode bunyi,  tiba-tiba muncul lagi perasaan gelisah... Seharian aku seperti merasa membuang waktu, tak ada yang berguna untuk kupersembahkan kepada Allah.
Tapi di menit itu aku serasa mendapat jawaban Allah di hatiku.  Bahwa inilah tugas yang Allah amanahkan padaku, sebagai wanita dan sebagai ibu.  Tugas yang menyenangkan, mengasuh bocah cantik yang aduhai lucunya..... Mengajarinya berbagai hal adalah tugasku.

Ibadah bukan hanya ibadah khusus, seperti shalat, dzikir, puasa, haji. Mengasuh anakpun ibadah... mengapa aku tidak menyadarinya? 
Mendengarkan musikpun ibadah, bila musik yang didengarkan makin memperhalus perasaan, dan membuat kita makin mengingatiNya.
Melihat tarianpun ibadah, bila saat melihatnya kita jadi bertasbih, betapa Allah telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, beraneka ragam budaya.

Sabtu, 16 Juli 2011

Jangan Tinggal Di Bangunan Rapuh

Suatu hari aku melintasi sebuah rumah yang masih gress.  Rumah itu besar, megah, bagus, dan tentunya kuat bangunannya.
Rumah itu milik sepasang suami istri dengan seorang anak.
Menurutku rumah sebesar itu pantasnya dihuni oleh pasangan dengan lima atau tujuh anak dengan dua orang pembantu.

Sayangnya rumah itu dibangun dari uang hasil riba. Tinggal di rumah yang dibangun dengan pendapatan yang diharamkan Allah, bagaikan tinggal di bangunan yang rapuh. Bangunannya bisa runtuh dan menyengsarakan kita, bahkan membinasakan kita.

Ada berita terkini  tentang seorang  jendral yang 6 rumah mewahnya disita KPK.  Ini adalah contoh nyata bahwa membangun sesuatu dari yang haram itu hanya membawa kesengsaraan.

Dunia ini tipu daya dan senda gurau, begitulah yang sering kubaca di kitab suci.
Tipuannya jelas sekali, nyata sekali, bahkan setiap orang setiap hari menyaksikannya.
Manusia baru tersadarkan saat dunia itu Allah ambil darinya, atau dirinya yang Allah ambil dari dunia.

Setiap hari kita saksikan manusia bekerja di berbagai lapangan pekerjaan. Manusia yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, menjadikannya tak begitu pilih-pilih pekerjaan, yang penting menghasilkan uang banyak.  Apakah Allah ridha dengan pekerjaannya menjadi hal yang tidak penting.  Halal atau haramkah pekerjaan yang dilakukannya juga menjadi hal yang tak dia pedulikan lagi.

Bahkan seorang muslim yang baikpun masih bisa tertipu.  Contohnya seorang muslim yang bekerja di perusahaan yang prinsipnya tidak islami, mungkin tidak islaminya dalam sitem atau berupa peraturan yang menyulitkan orang beribadah dan menutup aurat.

Banyak lapangan pekerjaan yang kelihatannya sah-sah saja padahal meragukan, yang jelas-jelas haram menjadi remang-remang, seperti bekerja di bank konvensional, di koperasi simpan pinjam dan semacamnya.

Orang yang bekerja di pekerjaan yang haram sama capeknya dengan orang yang bekerja di pekerjaan yang halal.  Hasilnya secara kasat mata mungkin bisa sama atau berbeda, tapi perbedaan yang nyata adalah dalam hal keabadian, karena hal yang haram tidak akan abadi, hanya bisa dinikmati di dunia ini, malah kelak di akhirat akan menyiksanya....

Orang yang bekerja di perdagangan jual beli yang halalpun masih diuji Allah, mungkin dalam hal kejujurannya, juga kesabaran dan keikhlasannya.

Semasih kecil aku sering disuruh ibu ke pasar dan aku selalu belanja di toko bu S yang ramai pembeli karena harganya murah. Tak tahunya, bu S bisa menjual dengan harga murah karena timbangannya dikurangi, kutahu karena pernah sepulang belanja nenekku menimbang ulang hasil belanjaanku menggunakan timbangan kue yang ada di rumah. Pantas saja.... 

Bu S sebenarnya sedang tertipu, dikiranya toko yang laris dan keuntungan yang banyak akan memberikannya kebahagiaan.  Lupa bahwa Allahlah pemberi rejeki, bila Allah berkehendak melenyapkan segala keuntungan yang dia peroleh, itu mudah saja.

Seorang karyawan yang bekerja di 'perusahaan halal'pun bisa terjebak dalam korupsi kecil tapi sering, ya korupsi waktu, atau sekedar membawa pulang bolpoint inventaris kantor.  Hati-hati, biarpun kecil, mencuri ya tetap saja mencuri dan ada balasannya.

Pernah saat aku pameran di Jakarta, seorang famili yang amat baik membantuku berjualan.  Ketika seorang pengunjung menawar sebuah barang , dia bilang begini :"Gak boleh bu kalau seratus lima puluh ribu, barusan ditawar dua ratus ribu gak boleh. Pasnya duaratus limapuluh ribu".  Padahal sebelumnya tidak ada orang yang menawar....  Setelah calon pembeli itu pergi, akupun menegurnya :"Gak boleh bohong lo, bikin gak berkah".  Dia tertawa dan merasa tidak bersalah !

Menekuni pekerjaan yang halal dan melakukannya dengan cara yang baik dan lurus diatas aturan Allah, kedengarannya merepotkan.   Tapi tahukah bahwa melakukan hal yang harampun cukup merepotkan. 

Perbedaannya, pekerjaan halal dan baik hanya membuat kita repot di dunia ini saja, sedang di akhirat nanti pekerjaan kita menjadi amal saleh yang menemani kita. Sedangkan pekerjaan haram akan terus membuat kita repot sampai ke akhirat nanti.  Pilih yang mana???

Jangan ragu untuk berhijrah dari pekerjaan yang Allah tidak ridha menuju pekerjaan yang Allah ridha. Jangan takut miskin atau takut tidak memperoleh pekerjaan halal. Bukankah Allah Maha Kaya dan Maha Pemberi Rejeki.
Jangan sia-siakan kesempatan yang berupa umur dan waktu yang masih Allah beri, untuk memperbaiki semua hal.  Allahlah Penolong yang terpercaya.

Jumat, 15 Juli 2011

Setelah Dua Puluh Tujuh Tahun

Pulang ke Ngantang beberapa hari yang lalu kutempuh dengan naik bis, karena mas Hary tidak bisa mengantar.  Mas Hary hanya bisa mengantarku sampai terminal Landungsari.  Sewaktu berangkat dari terminal, bis tidak terlalu penuh. Tapi saat tiba di terminal Batu, penumpang yang naik bak menyerbu bis, hingga berjejal-jejal berdiri di bagian tengah.

Di tengah padatnya penumpang, aku mendengar suara seorang pedagang asongan menjajakan dagangannya : "Keripik kentang! Kacang! Keripik-keripik !".
Rasanya suara itu pernah kukenal, lalu kulihat punggung pedagang itu berusaha menembus barisan rapat penumpang agar bisa menawarkan dagangannya ke seluruh manusia yang ada di dalam bis.  Mataku terus mengawasi gerak gerik lelaki itu, ingin memastikan bahwa dia adalah orang yang pernah kukenal. Dan benar......

Dua puluh tujuh tahun yang lalu, di dalam bis jurusan Kediri Malang yang masih mangkal di perempatan Selekta Batu, kujumpa lelaki itu, saat itu aku berseragam putih abu-abu berdua dengan bapak.  Bapak dan pedagang asongan itu saling menyapa dan tersenyum, bapakpun membelikanku beberapa kantong kecil kacang bawang.
Bila aku pulang ke Ngantang naik bis, aku hampir selalu bertemu lelaki itu di halte, menawarkan kacang bawang, kacang telur, kacang kapri.  Seingatku dulu  harga sekantungnya seratus rupiah.

Sekarang lelaki itu sudah tua tentu saja, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak melihatnya, lelaki seusia dia sudah waktunya beristirahat di rumah dan bermesraan dengan cucu dan buyut. Keriput di wajahnya terlihat nyata, dan gerakannya sudah tak segesit dulu.  Tapi senyum ramahnya tidak berubah.

Sesampai di rumah Ngantang, akupun dengan penuh semangat bercerita kepada bapak perihal perjumpaanku dengan lelaki tua penjaja keripik kentang itu.
"Kok bapak kenal dia?" tanyaku pada bapak.
"Dulu waktu bapak dinas di Sisir Batu, dia itu tetangga, teman hansip bapak ", kata bapak.
"Dia kelihatan lebih tua daripada bapak".
"Oh, sebenarnya kami seumuran".
"Memang dari dulu dia jualan di bis?"
"Iya, jauh sebelum kamu masuk s-m-a dia kerjaannya ya jualan di bis".

Akupun memandangi ayahku, kelihatannya bapak lebih muda dari lelaki di bis itu.  Lagipula bapak lebih beruntung, karena di usia senjanya bapak tidak harus bekerja keras. Kegiatan bapak sekarang adalah memetik kopi, dan itu bapak lakukan dengan senang, sebagai hiburan saja.

Perjumpaanku dengan lelaki tua penjaja keripik di bis itu, terus terang membuatku gelisah berhari-hari.  Rasanya aku sedang didera ketakutan akan hidup yang telah kutempuh.  Berapakah nilaiku di hadapan Allah? Sudahkah aku memenuhi harapan Allah saat Dia ciptakan aku? Banyak pertanyaan mendera batinku.

Semua tahu, manusia dalam menjalankan aktifitasnya mengikuti grafik usia. Ada masa produktif, ada kontra produktif lalu 'menghilang'.  Bagaikan grafik parabola, berawal dari nol, naik mencapai puncaknya lalu menurun mencapai titik nol lagi.
Selama mengikuti grafik itu, tahun demi tahun terlewati, suka duka terasakan, kebahagiaan dan penderitaan silih berganti, air mata dan tawa menghiasi.

Selama waktu yang tertempuh, adakah kita bergerak maju, berlari, berjalan mundur ataukah jalan di tempat? Renungkanlah, karena ... demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali yang beriman dan beramal saleh.

Bila kita lihat secara kasat mata, bapak penjual keripik itu, adalah potret seorang yang "berjalan di tempat" dari segi ekonomi.  Kenyataan yang sungguh melelahkan bukan? Masak dari muda sampai kakek-kakek, bahkan sampai punya buyut, pekerjaan yang dilakukannya sama, itupun pekerjaan fisik yang melelahkan.
Realitas hidup seperti ini banyak sekali 'penderita'nya.  Tapi diantara sebegitu banyak manusia yang mengalami kelelahan ekonomi, tentu ada beberapa yang berbeda.  Perbedaan itu terletak pada imannya, yaitu pada niatnya melakukan semua hal yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Sesungguhnyalah, bekerja merupakan amal shaleh yang diperintahkan Allah dalam kitabNya.  Bila perkerjaan yang kita lakukan niatnya bukan karena Allah, misalnya niat untuk mencari makan, agar tidak merepotkan anak cucu, bisa membeli mobil, rumah, bahkan untuk biaya pendidikan anak kita dll..... hati-hati deh, jangan sampai kita menjadi orang yang merugi, yang menyia-nyiakan umur kita demi sesuatu yang akan musnah.

Iman dan amal shaleh, menurutku adalah dua hal yang dilakukan secara bersamaan. Bila kita meniatkan segala sesuatu karena Allah, gak usah khawatir deh, Allahlah yang akan menjamin hidup kita.  Contohnya bila niat kita menyekolahkan anak-anak karena Allah, insyaAllah kita tidak bakalan dipusingkan dengan biaya sekolah, karena Allahlah yang akan mencukupiNya. Dan kita tidak perlu tergoda bila ada orang menawarkan asuransi pendidikan.

Shalat lima waktu yang kita lakukan dengan khusyu', membuat kita tersadarkan lagi akan niat hidup kita untukNya.  Bangunkan niat yang benar dan lurus mulai dari hal yang kecil-kecil sekalipun, agar detik demi detik kehidupan kita mempunyai makna di hadapan Allah.
Niat makan adalah untuk menjaga kesehatan tubuh agar bisa menjalankan amanahNya dengan baik, agar bisa beribadah padaNya dengan tekun. Niat istirahat atau tidur adalah untuk bisa menyegarkan kembali tubuh yang letih agar bisa menjalankan perintahNya dengan lebih baik.
Niat bergurau dan bercengkerama dengan keluarga adalah untuk mensyukuri nikmat Allah berupa suami/istri dan anak yang menyenangkan. 
Tataplah anak-anak kita, betapa Allah telah melukis senyum mereka, mata polos nan indah mereka, gerakan lucu mereka....hingga kita mengucap Subhanallah, Alhamdulillah.... dari hati kita yang paling dalam.

Takutlah kita akan kelelahan hidup yang sia-sia, hidup yang tidak ada nilainya di hadapan Allah. Hidup yang mundur ke belakang, sementara waktu berjalan ke depan menyisakan jatah umur yang kian berkurang. Atau hidup yang jalan di tempat, sementara hanya dengan merefresh niat kita, hidup bisa kita bawa berlari.

Sungguh sayang melihat lelaki tua di dalam bis, tetap bekerja keras ditengah deraan nafas kehidupan.  Lebih sayang  melihat orang yang tetap bekerja keras hingga sisa umurnya, tanpa mengukirkan makna di hadapan Allah, hingga ajal menjemput.

Saat ini, kita sedang berdiri dimana?
Marilah kita memperbaiki segala kebodohan dimasa lalu, hingga sisa umur yang Allah berikan tak lagi menjadi hal yang sia-sia.....

"Sebenarnya waktu yang dimiliki manusia adalah umurnya sendiri yang terus berjalan seperti gerakan awan.  Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya.  Sementara waktu yang digunakan selain tujuan tersebut tidak dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya " (Ibnul Qoyyim)

Rabu, 13 Juli 2011

Titian Serambut Dibelah Tujuh (3)

Sering jumpa kalimat ini di Al Qur'an ,"....Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki....."?
Kedengarannya tidak adil, kasihan dong orang yang disesatkan Allah... begitu yang dulu kupikirkan.  Tapi sekarang aku mengerti, Allah yang Maha Adil tidak pernah mendhalimi hambaNya. Masing-masing jiwa dibekali dengan jalan kebaikan dan keburukan, beruntunglah orang yang menyucikannya dan memilih untuk menempuh jalan kebenaran.

Menurutku manusia dibekali dengan segenap kemampuan untuk memilih sendiri takdirnya. Bila Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, yang jadi pertanyaan adalah, apakah kita menghendaki petunjuk dari Allah? ataukah kita merasa tidak butuh petunjuk itu, karena sudah merasa benar?  Tentu Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang menyombongkan dirinya (sementara dia tidak menyadari) bukan?

Aku dan seorang teman pernah berada dalam situasi yang hampir sama, sama-sama mendapat 'soal ujian' yang mirip banget. Tapi kami berbeda dalam mengisi 'lembar jawaban'nya.  Tentunya kami mendapatkan nilai yang berbeda.... dan nilai itu lah yang kemudian musti kami 'telan', manis atau pahit, sesuai dengan 'lembar jawaban' yang sudah ditulis.

Ini cerita tentang cinta yang terlarang... hmmm.
Aku tiba-tiba saja jatuh cinta pada suami orang....(jangan khawatir, episode ini sdh terlampaui olehku dengan selamat).  Temanku itu juga, di saat yang hampir bersamaan, tapi dia tidak selamat...

Kukira semua ini berawal dari pandangan mata. Pak X adalah teman dan juga rekan bisnis, dia suka diam-diam memandangiku, saat aku bicara dengannya, dia menyimak pembicaraanku dengan tatapan mata yang seolah bicara ..... 'betapa aku sayang padamu'. Sepertinya aku kege-eran ya... barangkali...hehehe.  Lalu aku jadi seperti  remaja yang jatuh cinta ... kayak lagunya Evie Tamala, mau makan teringat padamu, mau tidur teringat padamu, mau apapun teringat padamu.. kekasihku.
Jatuh cinta yang parah wis, apalagi pak X orang yang amat menghargaiku, dia juga bukan orang yang kurang ajar, jadi menambah kekuatan 'sihir' tatapan matanya.

Saat itu seolah-olah di kedua telapak tanganku tersedia dua pilihan, di tangan kiriku ada selingan indah keluarga utuh, di tangan kananku ada Allah, RasulNya, mas Hary suamiku, anak-anak, keluarga besar kami berdua.....  Dan tahukah bahwa syetan selalu berusaha untuk membuatku memilih keduanya dengan berbagai logika seperti ,"Berdosakah bila sekedar mencintai?"
"Bukankah aku tidak melakukan hal terlarang? aku hanya mencintai, kulitkupun tak pernah tersentuh olehnya?"
"Apakah saling mencintai itu hanya hak orang yang masih lajang?"
Begitulah pekerjaan syetan yang menjadikan indah sesuatu yang salah, padahal bila aku memilih keduanya, sama saja dengan memilih jalan syetan.

Akupun menangis di hadapan Allah, aku mengadu, betapa aku ingin mengakhiri perasaan cinta yang menyiksa ini. Aku ingin kembali berada di sisi suami dan anak-anakku, ya ragaku, ya batinku ...... Aku mohon pertolongan dan kekuatan.....akupun ingin mengaku dosa pada suamiku, bagaimanapun ridha Allah terletak pada ridha suami, murka Allah terletak pada murka suami.

Lalu datanglah kesempatan itu.... Pak X yang kupercaya dan kuhormati itu ngomongnya mulai nyerempet-nyerempet gitu.  Bukannya senang dengan cinta yang tak bertepuk sebelah tangan, aku malah marah besar. Rasanya aku sedang dihina, dilecehkan dan diinjak harga diriku sebagai wanita yang sudah bersuami, aku tersinggung berat.
Tak peduli dengan hubungan bisnis yang telah terjalin, tak peduli berapa kerugian yang aku dapat bila memutus hubungan dengannya.  Aku memutuskan untuk tidak usah bertemu dia lagi untuk waktu yang aku tidak tahu.

Akupun mengaku pada suamiku akan keputusanku untuk tidak berbisnis lagi dengan pak X, dan bercerita tentang penyebabnya.  Aku menangis, minta maaf dan minta didoakan untuk bisa melupakan pak X.  Aku tahu suamiku tak akan bertindak bodoh dengan melabrak pak X misalnya. Episode itupun berlalu dan aku menemukan cintaku kembali.

Alkisah temanku itu, saat dia mengalami cinta terlarang (kadang dia bercerita padaku, tapi dia tak tahu kalau aku juga tengah mengalami hal yang sama).  Seperti halnya aku, di tangannya sedang tersedia dua pilihan, pilihan untuk berada di jalan lurus, atau menabrak pagar Allah. Berawal dari dosa-dosa kecil yang dia benarkan dengan pertolongan syetan, lalu mengerjakah dosa-dosa besar, akhirnya rumah tangganya berantakan, juga rumah tangga selingkuhannya.  Keduanya lalu menikah tapi tidak berakhir bahagia.  Sekarang mereka berdua sudah hampir dua tahun pisah ranjang dan  pisah rumah.... kadang dia bercerita padaku tentang kejengkelannya pada suaminya.  Yang pasti, bukanlah kebahagiaan yang dia dapatkan.

Aku sudah berhasil melewati ujian itu dengan pertolongan Allah, kuncinya hanya pada pilihan hati. Walau sulitnya bak melewati titian serambut dibelah tujuh, hatiku hanya memilih untuk lurus, lalu Allah mengantarku ke seberang. Bukanlah usahaku yang membuatku selamat dari perbuatan terlarang, semua hanya karena pertolongan Allah.
Bila kita membuka kisah Nabi Yusuf di dalam Al Qur'an, beliaupun menyatakan jikalau bukan karena pertolongan Allahlah, bisa jadi dia terkena fitnah wanita.
Aku yakin temanku itu juga memilih, yaitu memilih mengikuti nafsunya, lalu dia terjatuh dan sengsara hingga sekarang.

Sesulit-sulitnya menempuh jalan kebenaran, masih jauh lebih sulit (dan lama) merasakan penderitaan akibat perbuatan kita yang melanggar kebenaran.

(bersambung)

Minggu, 10 Juli 2011

Keajaiban Memaafkan

by Innuri Sulamono on Saturday, November 6, 2010 at 8:56pm


Bertemu dengan orang yang pernah menipu kita, pasti nyebelin banget. Apalagi saat itu kita juga sedang dalam proses ditipu olehnya untuk yang ketiga kali....... Sungguh, susah sekali untuk tersenyum.


Kejadiannya saat diundang seminar dan pameran di sebuah hotel di pinggiran kota malang.
Saat menata barang di stand yang telah disediakan panitia, kulihat dia -wanita itu- juga menata barangnya tepat disamping standku. Tak mudah melupakan sakit hati yang pernah dibuatnya.

Tapi kucoba memotivasi diri sendiri ," Sudah maafkan saja, marah dan dendam hanyalah menyakiti diri sendiri, mengotori hatiku sendiri. Jangan menarik kejadian negatif dengan memelihara hal negatif di dalam dirimu". Berbagai macam alasan kucari agar diriku bisa memaafkannya. Dan akhirnya berhasil dengan pertolongan Allah.


Kusapa dia dengan senyum tulus yang keluar dari hatiku, kupeluk dan cipika cipiku. Enak sekali rasanya sudah berhasil mengalahkan diri sendiri, perasaanku begitu ringan dan bahagia.


Allah begitu menghargai usahaku, hingga Dia membalasnya dengan indah sekali.
Siang itu, pameran yang hanya dilihat peserta seminar dari jam 10 pagi sampai jam 12 siang mencatat penjualan yang sangat mencengangkan, sampai musti ngambil barang lagi dari rumah. Benar-benar mengherankan, pameran di hotel sepi dan di pinggiran kota pula, dengan peserta seminar yang hanya puluhan orang dengan tenggang waktu hanya 2 jam.

Ada seorang ibu dengan penampilan sederhana, jauh dari sebutan modis, juga bukan orang yang terkesan kaya, tanpa menawar memborong rok lukis sulamku dengan uang tunai yang keluar dari dalam tasnya yang biasa biasa saja. Sempat membuatku heran, kok ada peserta membawa uang jutaan di event seperti ini.


Bila dihitung hitung, keuntungan yang kuperoleh hari itu sudah jauh melebihi jumlah uang yang telah diambil si teman yang pagi tadi kumaafkan. Benar-benar membuatku tertegun. Rasanya Allah bicara padaku, bahwa Dia bisa mengganti seberapapun yang Dia kehendaki, jadi janganlah merasa rugi dalam berbuat baik dan memaafkan.

Allahpun masih menambah bonus untukku. Beberapa waktu setelah kejadian itu, suamiku pulang membawa uang yang katanya dari wanita itu. Dia membayar walaupun tidak sampai lunas, barang yang sudah dia bawa dariku.

Sejak detik itu, aku tak punya alasan untuk tidak memaafkan orang lain.
·

Shalat Untuk ......

Seorang teman bertanya padaku ; "Usia ibu berapa?"
Kujawab empat puluh empat tahun. Lalu dia berkata, bila masa baligh dihitung sejak sembilan tahun, berarti total umur ibu yang harus dihisab adalah tiga puluh lima tahun. Berapa kalikah ibu meninggalkan shalat selama itu?

Aku tersenyum lebaaar karena...... jujur aku tidak tahu, harus menjawab apa..... pernah aku tulis di postingku yang berjudul "Cinta Terenak Yang Pernah Kurasakan".
Disitu aku menulis, ada banyak faktor yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu.
Ada manusia yang bergerak karena rasa takut, seperti takut neraka, takut hisab, takut dimarahi, takut ditinggalkan, takut ditelantarkan....
Ada manusia yang bergerak karena iming-iming hadiah, seperti pahala, limpahan rejeki dari langit dan bumi, bidadari, surga....
Ada manusia yang bergerak karena dorongan cintanya

Yang aku ingin capai dari diriku sendiri,  shalat adalah sebuah kerinduan, dzikir adalah hiasan cinta, mentaatiNya adalah kesenangan, menyebarkan rahmatNya adalah kenikmatan.....  Puncak acaranya adalah bertemu dengan Allah di akhirat dalam keadaan yang diridhaiNya.

Apakah aku tidak takut neraka? Hooo... takut bangets, wong sama api di dunia ini saja aku takut.
Apakah tidak takut padang maghsyar, hisab dll ? Takuut lah....
Tapi bergerak karena mencintai itu kurasakan lebih nikmat, lebih bahagia, lebih nyaman, lebih enjoy deh.

Bila aku bertanya tentang shalatku, maka pertanyaannya menjadi :
Apakah hatiku segera tergerak dengan penuh kerinduan saat adzan berkumandang? Sudahkah kubertemu Allah di tiap takbir dan sujudku? Apakah aku termasuk orang yang lalai dari shalat, hingga ragaku di atas sajadah sedang pikiran dan batinku berada di tempat lain? Nikmatkah cara shalat seperti itu? Sudah seberapa pasrahkah jiwaku saat ruku' dan sujud di hadapanNya? hingga selepas shalat aku bisa merasakan kebahagiaan yang hanya diberikan olehNya kepada orang yang khusyu'dalam shalatnya.

Bagiku shalat adalah sebuah perjalanan suci menuju tempatNya, tempat terindah yang merupakan tujuan terakhir perjalanan ini.  Bila saat aku masih kecil dulu, shalatku karena takut neraka, saat remaja shalat karena menggugurkan kewajiban, saat dewasa shalat karena kebutuhan, maka di saat 'senja' begini shalat adalah sebuah kenikmatan, kerinduan dan kecintaan.

Shalat adalah pulang kepada Allah.
Ibarat kita datang kepada Allah dalam keadaan dahaga jiwa, lalu Dia melimpahi kita dengan air kesejukan.  Ibarat sebatang pohon kering yang hampir mati, lalu Dia menyiramnya dengan air kehidupan.
Shalat adalah perjalanan menuju bahagia.
Di titik ini, surga atau neraka menjadi nomor sekian...karena segala keputusanNya adalah kebahagiaan bagi hati yang mencintaiNya.

Karenanya, bila aku menyuruh anak-anak shalat, aku sering mengatakan begini," Shalat dong sayang, untuk berterimakasih sama Allah karena sudah memberimu banyak kenikmatan.... (akupun memerinci banyak hal yang telah Allah limpahkan padanya)".  Maksudku mengatakan demikian, karena ingin membangunkan cinta mereka kepada Allah, kuingin mereka beribadah karena cinta. Kuingin mereka mengerti, betapa sayangnya Allah pada mereka, sehingga Allah menciptakan kewajiban shalat, karena Allahpun rindu dan ingin bertemu dengan hambaNya.

Jumat, 08 Juli 2011

Titian Serambut Dibelah Tujuh (2)

Ambillah Keputusan Untuk Selamat

Bila membayangkan berjalan di atas titian serambut di belah tujuh, maka yang tampak di pikiran adalah betapa penuh kesulitan dan membutuhkan pegangan yang kuat agar tidak terpeleset lalu terjatuh.  Begitulah memang kenyataan yang kita hadapi.  Tapi bayangkan juga 'daratan' penuh keindahan yang akan menyambut kita saat kita tiba di seberang, berupa karunia Allah yang amat besar yang tak terbayangkan oleh kita.

Ambillah keputusan untuk melintasinya dengan selamat, jangan lepaskan tali yang kuat tempat kita berpegangan (aturan Allah dalam Al Qur'an dan Hadist).  Untuk selamat hingga ke seberang, kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri, hanya pertolongan dan kasih sayang Allahlah yang membuat kita bisa melintasinya. Mohonlah kekuatan dan pertolonganNya.

Baik jaman dulu atau sekarang, orang menganggap wajar saja bila masa-masa remaja adalah masa berpacaran.  Akupun mengalami itu, ketemu cinta monyet maksudku.  Ya puluhan tahun yang lalu sih kejadiannya, tapi masih bisa diambil hikmahnya.

Gita cinta dari SMA nih ceritanya. Ada kakak kelas yang naksir dan melakukan pendekatan terus, ngekor terus...hehehe. Jadilah kami berpacaran dengan gaya pacaran ala Indah, maksudku gak pake sentuh-sentuhan, bersalaman aja aku gak mau... Sebatas ngobrol di ruang tamu dengan ditunggui bulek (saat SMA aku di Batu dan dititipkan di rumah bulek).  Kadang dia membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah, atau mengikuti kegiatan ekskul bareng.
Lucunya, meskipun cinta monyet,  cowokku itu serius berat.  Dia bilang aku adalah cinta pertama dan terakhirnya, bahkan dia sudah berencana membuat batu bata untuk rumah kami....romantis ya. Katanya dia amat mencintaiku, sampai menulis surat dengan dibubuhi darahnya sebagai bukti cintanya..., dia ciptakan lagu untukku, dia naik gunung untuk menuliskan namaku dan namanya di puncak gunung dan banyak hal konyol dia lakukan untukku

Cinta yang indah, tapi aku merasa amat berdosa.  Apalagi saat di sekolah, guru agama mengatakan bahwa memandang lawan jenis untuk pandangan ke tiga adalah haram, berdosa. Masih kuingat, dengan lugunya aku bertanya pada pak guru," Kalau memandang fotonya gimana Pak?"  Pak guru agamaku itu malah tertawa dan tidak menjawab pertanyaanku.

Aku merasa kotor sekali, merasa berdosa sekali dengan cinta itu .... tapi aku sungguh tidak tahu bagaimana mengakhirinya.  Apalagi ibu tidak menyukai cowokku itu, bertambah-tambahlah perasaan berdosaku, sudah berdosa pada Allah, masih berdosa pada ibu juga.  Tapi akupun merasa berat memutuskan cinta itu karena aku sayang padanya. Sulitnya menapaki titian serambut dibelah tujuh part two....

Akupun berpasrah pada Allah, dengan air mata berderai kubersimpuh di atas sajadah.  Aku bilang pada Allah, bahwa aku memilih mematuhiNya dan mematuhi ibu, aku mohon Allah memberiku jalan.  Aku hanya bisa berdoa dan menunggu keputusan Allah... hingga kemudian skenarioNya membuat kami berpisah.

Mengambil keputusan untuk berada di jalan yang benar, setelah itu memasrahkanNya pada Allah.   Hanya Allahlah yang bisa mengantar kita menuju seberang. Mungkin itulah 'resep'ku saat itu untuk selamat.

Aku berhasil melewati titian itu, dan diselamatkan Allah di dunia ini.  Aku tahu betapa aku amat beruntung dengan keputusanku setelah beberapa tahun kemudian.  Aku sudah menikah saat aku dengar omongan orang-orang di sekelilingku, begini kira-kira katanya ,"Untung lo dik, kamu gak jadi dengan cowok itu.  Wong sekarang istrinya dia telantarkan".  Beberapa tahun kemudian aku dengar dia bercerai, lalu menikah lagi dengan non muslim dan diapun berpindah agama.  Oh.... tak terbayangkan olehku, betapa menderitanya seandainya bersuamikan orang seperti itu.....

Pengalaman yang telah memberiku pelajaran berharga, bahwa di saat kita rela meninggalkan sesuatu yang haram maka Allah menggantinya dengan hal yang jutaan kali lebih baik.  Allah memberiku suami yang amat baik, bertahun-tahun bersamanya, isinya hanya bahagia.

Kurasakan juga, betapa Allah amat menghargai usaha kita dalam menaatiNya.  Meskipun perbuatan baik itu sudah berlangsung lama, balasan Allah seolah berlangsung terus menerus sepanjang hidup kita, sejauh kita tetap menaatiNya.

(bersambung)

Kamis, 07 Juli 2011

Titian Serambut Dibelah Tujuh (1)

Sewaktu masih duduk di sekolah dasar, aku yang suka membaca paling sering meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Rasanya hampir seluruh buku yang dimiliki perpustakaan sudah pernah kubaca semua......hmm... kan perpustakaannya kecil saja, dan hanya ada satu lemari kecil, itupun yang terisi buku cuma di rak bagian atasnya thok...hehehe.

Aku pernah meminjam buku komik, isinya gambar tentang surga neraka. Memang penulisnya bilang bahwa yang dia gambarkan bukanlah kenyataan yang sesungguhnya, itu hanya untuk mempermudah penyampaian saja. Tapi sungguh, komik itu telah berhasil membuat Indah kecil takut dan rajin shalat.

Di dalam komik itu ada gambar yang hingga sekarang masih kuingat. Ada sebuah jembatan menggantung di atas kawah api yang menyala-nyala. Di atas jembatan itu ada orang yang berjalan, ada yang menggantung, ada yang merangkak dan ada yang jatuh.  Katanya, jembatan itu berukuran serambut dibelah tujuh, orang yang melewatinya ada yang berjalan secepat cahaya, ada yang 'ngesot', dan banyak yang gagal melewatinya hingga tertelan api yang menyala-nyala.

Aku tak mempermasalahkan boleh tidaknya menggambar sesuatu yang masih ghaib seperti itu, yang jelas komik itu telah memberiku arti yang mendalam hingga detik ini.
Seiring bertambahnya usia, aku mulai mengerti makna "titian serambut dibelah tujuh" yang .
digambarkan secara visual itu.  Di kemudian hari aku memahaminya sebagai makna kiasan, bahwa untuk bisa selamat hingga ke seberang, orang musti berjuang menempuh perjalanan yang rumit dan penuh bahaya, tapi dia harus konsisten berpegang pada tali yang kuat, agar tidak terjatuh lalu menderita selamanya.

Jangan khawatir, anda tak perlu menunggu lama untuk 'menjumpai' titian serambut dibelah tujuh itu, kita tidak musti 'berkunjung' ke akhirat dulu kok. Perjalanan penuh bahaya itu sudah dimulai sejak di dunia ini........ dengan kata lain, di dunia inilah kita menempuh titian menuju ke seberang (akhirat kita).  Mau selamat atau terjatuh di kawah api, sudah bisa dilihat, diprediksi, bahkan dibuktikan sejak di dunia ini....

Baiklah,  aku berikan contohnya.
Komik itu kubaca saat masih duduk di sekolah dasar, lalu saat duduk di sekolah menengah pertama aku mulai menjumpai titian serambut dibelah tujuh dalam hidupku.  Aku sendiri tak tahu, apakah tiap anak usia belasan akan mengalami sepertiku.

Saat itu aku mulai mendapat ujian iman yang berat sekali, tanpa berani aku ceritakan pada siapapun.  Aku mulai menanyakan apakah Tuhan itu ada, apakah Islam itu agama yang benar? Pergolakan batin itu kuderita sendiri selama berbulan-bulan, tanpa tahu sebabnya dan tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya.

Untungnya aku suka membaca, di rumahpun tersedia bacaan yang banyak karena ayahku suka membeli buku terutama buku agama.  Aku ingat betul, buku yang mengantarku menuju keimanan yang benar adalah buku "Bibble, Qur'an dan Sains Modern" tulisan seorang mualaf dan ilmuwan Perancis, Dr Maurice Bucaille.  Meski untuk anak seusiaku saat itu cukup kerepotan juga memahami berbagai hal ilmiah yang dijelaskan di buku itu, apalagi bahasanya banyak memakai istilah asing.  Tapi, faham atau tidak, aku merasakan inilah kebenaran dan kuputuskan untuk beriman kepada Allah.

Aku masih ingat, saat aku masih dalam keraguan tentang Islam, di rumah diadakan pengajian.  Para tetangga yang datang dengan wajah berseri mendengarkan ceramah ustadz tentang isra' mi'raj, dan aku begitu iri.... Betapa bahagianya orang yang beriman, kata hatiku saat itu. Diam-diam hatiku bermohon kepada Yang Menciptakan aku, agar aku dimasukkan dalam golongan mereka.

Itu adalah sepenggal cerita tentang jumpa pertamaku dengan 'titian serambut dibelah tujuh'. Jumpa pertama tapi tidak yang terakhir, karena ternyata masih banyak titian yang musti ditempuh sepanjang perjalanan hidup ini.

Berangkat dari pengalaman masa kecilku itu, aku jadi amat peduli pada keimanan anak-anakku.  Doa agar mereka menjadi orang yang beriman dengan benar, mencintai dan dicintai Allah, rasulNya dan Al Qur'an adalah doa yang wajib buatku.  Aku beli banyak seri video Harun Yahya yang bisa mengantarkan kita akan keimanan dan bukti-bukti kebenaran Islam dan kebesaran Allah. Selain itu aku mencontoh ayahku yang suka membeli buku. Belum lama aku membeli buku Ensiklopedi Mu'jizat Al Qur'an dan Hadist, biarpun harganya jutaan, kubeli saja untuk memperkuat keimanan kami sekeluarga dan agar kami lebih mengenal Al Qur'an. Buku ini bagus sekali, dan banyak gambar yang menarik hingga Insan dan Alni suka sekali membacanya.  Akhirnya aku malah ikutan menjadi sales buku itu, niatnya untuk berdakwah sih, bila tertarik anda bisa menghubungiku, bisa dicicil kok...(promosi demi kebaikan boleh dong?...hehehe)

Selasa, 05 Juli 2011

Asrama Bumi Ganesha

Asrama tempat Aden tinggal selama kuliah terletak di tempat yang agak tinggi, Jl Cisitu Lama 35 Bandung, ini asrama milik ITB, dihuni sekitar delapan puluh orang mahasiswa. Bangunan asrama terdiri dari dua gedung yang berhadapan. Lapangan basket dan taman yang terawat memisahkan kedua gedung itu. Masing-masing gedung berlantai empat dengan tata ruang yang enak. Bayanganku tentang asrama yang padat dan musti ngantri mandi tidak berlaku disini.  Juga bayangan tentang asrama cowok yang kumuh....lewat, walaupun bangunan ini sudah tua dan tidak cantik lagi, asrama ini cukup bersih.

Asrama terbagi menjadi beberapa 'lantai', yang dimaksud lantai disini adalah dua 'flat' yang dipisahkan oleh balkon. Di balkon yang penuh semilir angin ini penghuninya bisa duduk-duduk ngobrol atau menerima tamu.  Masing-masing flat terdiri dari tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur.  Aku sering berandai-andai, nih 'flat' cocok banget dihuni keluarga kecil, satu kamar ibu bapak, satu kamar anak, dan satu kamar buat mushala. Dapurnya tidak terlalu kecil sehingga bisa merangkap ruang makan. Ah... aku memang suka rumah kecil, tidak ribet dan tidak capek membersihkannya.

Di awal-awal kuliahnya, saat pulang ke Malang, Aden paling semangat bercerita tentang asramanya ini.  Kata Aden, ini asrama teladan nasional, punya 'sistem pemerintahan' yang dikelola sendiri oleh para penghuninya. Ada presiden dengan kabinetnya lengkap dengan jendralnya juga, ada semacam MPR, DPR... dll. Asrama juga punya "BUMN", yaitu unit usaha yang bisa menghasilkan pemasukan buat asrama, diantaranya mini market, foto copy, laundry dan penyewaan lahan untuk pedagang kecil.  Pemasukan dari unit usaha ini digunakan untuk menggaji karyawan dll sehingga menciptakan penurunan 'uang pajak' atau uang sewa asrama, otomatis 'rakyat'nya tak perlu dibebani biaya tinggi untuk tinggal di asrama ini.  Mungkin ini adalah asrama termurah di Bandung.

Selain uang asrama yang murah, kata Aden, asrama ini juga 'baik hati'. Berkat pengelolaan keuangan yang baik, asrama telah memberikan penghargaan yang layak untuk para karyawannya yang telah pensiun.  Beberapa bulan yang lalu ada tiga orang satpam yang pensiun, dan masing-masing mendapat uang pensiun yang sesuai dengan peraturan ketenaga kerjaan.  Puluhan juta telah diterima oleh ketiga karyawan itu, dihitung sesuai dengan masa bakti berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Selain uang pensiun yang lumayan, ketiga pensiunan itu juga mendapat penghormatan di acara 'wisuda karyawan', acara yang meriah dan penuh haru. Untuk pertama kalinya asrama melepas kepergian karyawan yang sudah bekerja dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Aden bilang," Bila sebuah negara dikelola dengan baik, ternyata semua fihak akan merasa diuntungkan dan disejahterakan, ya rakyatnya, pemimpinnya, karyawannya ...". Ah... Aden benar, mungkin para petinggi negara kita perlu belajar dari anak-anak asrama BG.  Bahkan menurutku bukan hanya segenap penghuni yang diuntungkan, tetangga negara dan semua fihak yang berinteraksi dengan negara itu akan merasa diuntungkan juga.  Contohnya ya aku ini...hehehe, bila nginap di asrama Aden, cukup membayar 10 ribu per orang atau seikhlasnya ...maksudnya dilebihi juga boleh... Murah kan? Tapi ini khusus untuk anggota keluarga penghuni sih...

Mungkin diantara wali mahasiswa yang tinggal di asrama ini, akulah pemegang 'rekor' tertinggi dalam jumlah kunjungan. Yaa, sudah 3 kali Aden sakit, akulah yang menungguinya disini.  Bila pameran ke Jakarta, pulangnya musti mampir Aden, apalagi pamerannya cuma di Bandung, wajiblah nginap disini.

Kamar Aden berpindah-pindah sesuai dengan aturan 'menteri' yang menangani hal ini. Kata Aden, biar seluruh penghuni saling mengenal dan akrab semuanya.
Sekarang kamar Aden di lantai empat. Pemandangan indah tersaji disini, bila sore tiba langit kota Bandung berhias cahaya kuning kemerahan memayungi rumah penduduk yang satu-satu mulai menyalakan lampu, diselingi warna pepohonan yang mulai meremang. Angin dingin yang bertiup meninggalkan perasaan 'entah dimana'. Saat malam, langit berhias gemintang memanjakan mata, lebih indah saat purnama, bulan bulat dikelilingi lingkaran pelangi.  Pantas saja banyak seniman lahir dari kota ini, dan banyak sarjana hebat berawal dari asrama ini.

Aku suka sekali menikmati 'pemandangan' Aden dengan segala aktifitasnya di kamar asramanya ini. Dia paling betah berada di depan laptopnya, kadang menggambar, kadang main game, kadang chatting dengan teman luar negrinya.  Bila aku melihat Aden 'meringkuk' di kasurnya yang tipis di tengah sehingga mirip perahu, aku sering berangan-angan, setelah ini dimana lagi aku akan melihat anak sayangku ini?

Tak terasa waktu, Aden sudah tinggal di asrama Bumi Ganesha selama empat tahun. Sekarang Aden sudah tugas akhir, mendekati lulus. Asrama inipun bakal menjadi tempat yang penuh kenangan buat Aden dan buatku juga.  Aku masih suka bertanya dalam hati, setelah ini dimana lagi aku bisa melihat anak sayangku ini? Moga dia selalu berada di tempat yang membuatnya makin dekat dengan Allah, makin meningkatkan kualitas dirinya dan tempat yang bisa mengajarinya hal baik seperti asrama Bumi Ganesha ini.

Senin, 04 Juli 2011

Sekolah Untuk Jadi Apa?

Pagi-pagi di rumah sakit, sewaktu mengantar ibu foto rongent, tak sengaja kudengar pembicaraan seperti ini.

"Anakku aku suruh masuk akbid (akademi kebidanan) saja, walaupun dia diterima di kedokteran.  Jaman sekarang, dokter kalau tidak spesialis ya banyak yang nganggur.  Malah masih larisan bidan daripada dokter umum".

Kemarin salah seorang familiku bilang begini ,"Gaji yang enak itu gaji guru, ngajar hanya beberapa jam saja, gajinya jut-jutan, murid libur, dia ikut libur, gajinya tetap.  Wis...anakku tak suruh jadi guru saja ".

Ada lagi cerita seorang teman beberapa waktu lalu, "Dulu anakku sengaja tak suruh masuk diploma saja, untung dia  nurut, percuma sarjana kalau tidak siap kerja.  Buktinya sekarang dia sudah punya pekerjaan mapan, bahkan dalam beberapa tahun saja dia sudah bisa membeli rumah".

Apa kesimpulan anda mendengar pembicaraan tersebut diatas?
Secara logika, mungkin apa yang mereka katakan benar. Tapi.... telinga ini rasanya mendengar 'sesuatu' yang ...aduh maaf, bila aku mengatakannya, ini hanya sekedar untuk diambil pelajaran....

Yah, telinga ini seperti mendengar komentar dan pendapat orang yang 'materi oriented'. Tidak salah sih, siapa sih di dunia ini yang tidak butuh uang, profesi laris, gaji besar, atau rumah?
Tapi tunggu dulu... apakah bila kita mengambil sikap yang idealis dan 'Allah oriented'  membuat kita tidak memiliki semua itu?......... Tidak bukan? Buktinya aku punya rumah, mobil dan anak banyak....hehehe

Mungkin aku seorang ibu yang mengalami 'kelainan'.......
Kelainan yang kumaksud adalah...... bila orang tua pada umumnya menyekolahkan anaknya berdasarkan pertimbangan seperti yang kuceritakan tadi, misalnya: profesinya nanti laku atau tidak, banyak dibutuhkan atau tidak, dia bisa bekerja dengan gaji tinggi atau tidak, dia bisa menjadi orang yang mapan atau tidak.......

Aku justru tak peduli dengan semua itu, kubiarkan saja anak-anakku memilih sendiri sekolah atau profesinya.  Aku berpikir bahwa Allah menciptakan seorang manusia dengan teliti dan penuh kebijaksanaan.  Masing-masing orang Allah bekali bakat, minat dan kecenderungan yang unik, selaras dengan kebijaksanaanNya di alam semesta.  Tugas manusia adalah menggali potensi yang telah Allah settingkan padanya dengan penuh tanggung jawab sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur padaNya.
Bagiku menyekolahkan anak-anak berarti mempersiapkan mereka menjadi orang yang bisa mengabdi pada Allah dengan lebih berkualitas, lebih optimal, lebih terarah, lebih luas jangkauan manfaatnya.....dan lebih-lebih yang lain.

Bila kebanyakan orang bekerja untuk mencari uang, maka bagiku bekerja adalah untuk mengabdi kepada Allah.  Pilihan sikap bekerja karena Allah ini cakupannya menjadi luas sekali, seperti yang sering kita baca dalam doa iftitah : Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan Semesta alam. 

Mungkin karena itu, aku tak pernah mengkhawatirkan masa depan anak-anakku.  Aku menyekolahkan mereka karena Allah. Allahlah yang menyuruh kita  mencari ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat, tugas kita adalah mematuhiNya.  Anak-anak insyaAllah tidak akan salah pilih sekolah, karena Allah sudah membekali mereka dengan bakat masing-masing dan juga doa ibunya.  Doa seorang ibu yang menyerahkan anak-anak yang dilahirkannya kepada Allah, untuk mengabdi padaNya.

Bila mereka kelak bekerja, tentu aku ingin mereka bekerja karena Allah.
Aku ingin mereka bergerak karena cinta pada Allah, aku ingin mereka mempersembahkan segala potensi dan kemampuan mereka untuk mewujudkan rahmatNya.  Seperti doa-doa yang kuucapkan dengan air mata....

Dan sungguh aku tak pernah memikirkan semapan apa mereka, seberapa terpandang mereka di masyarakat.....
Yang membuat ibu sepertiku bahagia adalah bila mereka sudah bisa mempersembahkan kemampuan terbaiknya untuk Allah.