Selasa, 19 Juli 2011

Perbedaan antara Benar dan Yakin

Semasih SMP, aku pernah tertegun saat membaca dalil tentang jilbab, seingatku di buku Al Islam karya Prof. Dr. Hasby Assidieqy.  Maklumlah, saat itu belum umum orang mengenakan jilbab, dan akupun tak pernah mendapat pelajaran tentang pakaian wanita Islam. Kagetlah aku, ternyata wanita muslim itu harus tertutup semuanya kecuali muka dan telapak tangan.
.... dan pakaian yang terbaik adalah takwa.... maka tahukah setelah membaca bahwa 'pakaian terbaik adalah takwa', aku langsung merasa lega, jilbab berarti bukan keharusan karena pakaian terbaik adalah takwa.
Bila mengingat pemikiranku saat itu, aku jadi ngakak.... Coba pikir, kalau misalnya seseorang memakai rok mini dengan atasan yang minim pula..... atau memakai bikini, apa bisa disebut berpakaian takwa?  Terus patokan mana pula yang kita pakai untuk disebut  berpakaian taqwa?.

Anehnya pemikiran ala anak bau kencur itu menjangkiti anak kuliahan.  Waktu itu aku punya teman satu kost yang menganggap bahwa jilbab tidak wajib, jilbab hanya anjuran agar wanita mudah dikenali dan tidak diganggu.  Katanya begini nih.... aurat wanita adalah berada dalam rumahnya....dan banyak lagi alasannya. Gak jelas deh, dalil yang mana yang dia pakai.....
Saat kuliah itu pemikiranku tentang jilbab sudah benar 100% sih, malah aku sudah berkerudung saat itu.

Setelah aku tua ini, aku masih bertemu lagi dengan orang yang merasa yakin bahwa jilbab bukan kewajiban......

Aku mau mendongeng saja aaah...
Pernah aku alami, saat kuliah itu, aku berjilbab dan berkumpul dengan jilbaber dari berbagai fakultas di kampus.  Ngaji bareng di masjid kampus di sela-sela waktu kuliah, study ke pondok pesantren, menjalankan amalan sunnah selain yang wajib.... banyak dan banyak hal.  Aku menaatiNya dengan ikhlas.

Setelah menikah, aku memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.  Aku menjaga diriku untuk hanya keluar rumah bila didampingi muhrim saja.  Sampai-sampai aku tidak tahu rasanya naik angkot!  Aku menjalani peranku sebagai ibu dan istri dengan mengikuti aturan Allah .

Lalu datanglah cobaan itu.  Aku sering dilanda ketakutan, bagaimana ya seandainya suamiku meninggal duluan, sedang aku tidak bisa mencari uang.  Ketakutan itu menderaku terus menerus....  Hingga aku minta ijin suamiku untuk berwirausaha.  Saat itu pilihanku membuka warung makan.  Selama aku menjadi ibu rumah tangga saja, aku memang jadi pintar memasak, lagi pula di daerah Pakis dulu tidak ada warung makan yang enak.

Akupun membuka warung makan yang laris, hingga mempunyai cabang di dalam area lanud Abd. Saleh. Sementara suamiku masih tinggal di Bali, dia pulang ke Pakis tiap dua minggu sekali.
Saat itu perlahan-lahan jilbab mulai tergusur dari kepalaku....  Mulanya karena tergesa-gesa meladeni pelanggan , hingga tidak sempat berjilbab...lalu aku menjadi ringan saja melepas jilbab.

Begitulah, aku menjadi 'jahiliyah' selama sekitar 2 tahun.  Selama itu cobaan datang bertubi-tubi, terutama karena aku tidak mengenakan jilbab.  Banyak dan banyak sekali lelaki jatuh cinta padaku (aku memang lebih cantik bila tidak memakai jilbab), mereka mengatakan cintanya dan bahkan ada yang melamarku karena mengira aku masih gadis.
Akhirnya aku terpikir untuk menutup warung saja, aku sudah tidak tahan dengan banyaknya godaan dan banyaknya penderitaan karena jauh dari suami.  Aku putuskan untuk bertaubat, kembali pada suamiku dan kembali kepada Allah.

Bila aku renungkan, periode 'jahiliyah'ku itu hanyalah mengundang kesengsaraan dan penderitaan saja, bukan hanya bagi diriku, juga bagi orang-orang yang dekat denganku sementara aku tidak menyadarinya.  Kesimpulanku adalah "Tidak ada kebahagiaan dalam ketidaktaatan akan aturanNya".

Aku bersyukur sekali, pengalaman menaati Allah saat kuliah itu menarikku kembali menaatiNya. Itu adalah saat-saat indah dalam hidupku.  Juga saat menjadi ibu rumah tangga saja dan mengikuti aturanNya itu sungguh suatu 'episode' kehidupanku yang paling manis.

Jujur aku memang masih merindukan masa-masa indah itu, di rumah bersama anak-anakku, memasak, berkebun, memelihara ikan, menunggu suami pulang kerja.  Aku hanya keluar rumah bersamanya dan tentu saja berjilbab. Tidak ada lelaki menggoda atau jatuh cinta.  Aku begitu terjaga dan begitu bahagia...  Mungkin itulah maksud Allah dengan segala aturan yang kelihatannya memberatkan kaum wanita, padahal semua itu demi kebahagiaan wanita itu sendiri.

Pernah aku ungkapkan rasa inginku kembali seperti dulu pada ustadz Virien, dia jawab begini :" Boleh bunda kembali seperti itu... tapi bila tetap seperti ini bunda lebih bermanfaat untuk orang banyak.  Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain".
Yah, aku tidak boleh egois, yang hanya memperhatikan ketentraman batinnya sendiri. Sekarang aku memang menjalani peranku sebagai pengusaha, aku juga sering tampil di depan umum sebagai nara sumber, dan berinteraksi dengan banyak orang.... Mungkin yang penting adalah tetap menjaga aurat dan perilakuku sebagai muslimah.

Sekarang bila ada orang yang mengatakan bahwa jilbab hanya anjuran saja, dan tidak wajib... aku hanya bisa bilang, boleh mereka meyakini pendapatnya, tapi ketahuilah bahwa yakin belum tentu benar. Karena yang benar adalah yang mendatangkan kedamaian, kepastian dan kebahagiaan di hati.  Menolak untuk berjilbab sama saja dengan menutup kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang Allah berikan kepada wanita yang menaatiNya. 

Rasanya cuma Islam agama yang mengatur umatnya sebegitu rinci dan menyeluruh, tak ada aktifitas yang luput dari perhatian Islam, betapa Maha Teliti Dia. Apa ada agama lain yang mengatur cara umatnya berpakaian? Cuma Islam kan? beruntunglah kita wanita muslimah.

Catatan :
Pembahasan tentang jilbab ini mungkin lebih lengkap bila anda membuka postingku yang berjudul
- Dalil tentang Jilbab
- Allah, apakah kami Engkau ciptakan untuk Engkau siksa
- Idiih Malu deh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar