Jumat, 15 Juli 2011

Setelah Dua Puluh Tujuh Tahun

Pulang ke Ngantang beberapa hari yang lalu kutempuh dengan naik bis, karena mas Hary tidak bisa mengantar.  Mas Hary hanya bisa mengantarku sampai terminal Landungsari.  Sewaktu berangkat dari terminal, bis tidak terlalu penuh. Tapi saat tiba di terminal Batu, penumpang yang naik bak menyerbu bis, hingga berjejal-jejal berdiri di bagian tengah.

Di tengah padatnya penumpang, aku mendengar suara seorang pedagang asongan menjajakan dagangannya : "Keripik kentang! Kacang! Keripik-keripik !".
Rasanya suara itu pernah kukenal, lalu kulihat punggung pedagang itu berusaha menembus barisan rapat penumpang agar bisa menawarkan dagangannya ke seluruh manusia yang ada di dalam bis.  Mataku terus mengawasi gerak gerik lelaki itu, ingin memastikan bahwa dia adalah orang yang pernah kukenal. Dan benar......

Dua puluh tujuh tahun yang lalu, di dalam bis jurusan Kediri Malang yang masih mangkal di perempatan Selekta Batu, kujumpa lelaki itu, saat itu aku berseragam putih abu-abu berdua dengan bapak.  Bapak dan pedagang asongan itu saling menyapa dan tersenyum, bapakpun membelikanku beberapa kantong kecil kacang bawang.
Bila aku pulang ke Ngantang naik bis, aku hampir selalu bertemu lelaki itu di halte, menawarkan kacang bawang, kacang telur, kacang kapri.  Seingatku dulu  harga sekantungnya seratus rupiah.

Sekarang lelaki itu sudah tua tentu saja, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak melihatnya, lelaki seusia dia sudah waktunya beristirahat di rumah dan bermesraan dengan cucu dan buyut. Keriput di wajahnya terlihat nyata, dan gerakannya sudah tak segesit dulu.  Tapi senyum ramahnya tidak berubah.

Sesampai di rumah Ngantang, akupun dengan penuh semangat bercerita kepada bapak perihal perjumpaanku dengan lelaki tua penjaja keripik kentang itu.
"Kok bapak kenal dia?" tanyaku pada bapak.
"Dulu waktu bapak dinas di Sisir Batu, dia itu tetangga, teman hansip bapak ", kata bapak.
"Dia kelihatan lebih tua daripada bapak".
"Oh, sebenarnya kami seumuran".
"Memang dari dulu dia jualan di bis?"
"Iya, jauh sebelum kamu masuk s-m-a dia kerjaannya ya jualan di bis".

Akupun memandangi ayahku, kelihatannya bapak lebih muda dari lelaki di bis itu.  Lagipula bapak lebih beruntung, karena di usia senjanya bapak tidak harus bekerja keras. Kegiatan bapak sekarang adalah memetik kopi, dan itu bapak lakukan dengan senang, sebagai hiburan saja.

Perjumpaanku dengan lelaki tua penjaja keripik di bis itu, terus terang membuatku gelisah berhari-hari.  Rasanya aku sedang didera ketakutan akan hidup yang telah kutempuh.  Berapakah nilaiku di hadapan Allah? Sudahkah aku memenuhi harapan Allah saat Dia ciptakan aku? Banyak pertanyaan mendera batinku.

Semua tahu, manusia dalam menjalankan aktifitasnya mengikuti grafik usia. Ada masa produktif, ada kontra produktif lalu 'menghilang'.  Bagaikan grafik parabola, berawal dari nol, naik mencapai puncaknya lalu menurun mencapai titik nol lagi.
Selama mengikuti grafik itu, tahun demi tahun terlewati, suka duka terasakan, kebahagiaan dan penderitaan silih berganti, air mata dan tawa menghiasi.

Selama waktu yang tertempuh, adakah kita bergerak maju, berlari, berjalan mundur ataukah jalan di tempat? Renungkanlah, karena ... demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali yang beriman dan beramal saleh.

Bila kita lihat secara kasat mata, bapak penjual keripik itu, adalah potret seorang yang "berjalan di tempat" dari segi ekonomi.  Kenyataan yang sungguh melelahkan bukan? Masak dari muda sampai kakek-kakek, bahkan sampai punya buyut, pekerjaan yang dilakukannya sama, itupun pekerjaan fisik yang melelahkan.
Realitas hidup seperti ini banyak sekali 'penderita'nya.  Tapi diantara sebegitu banyak manusia yang mengalami kelelahan ekonomi, tentu ada beberapa yang berbeda.  Perbedaan itu terletak pada imannya, yaitu pada niatnya melakukan semua hal yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Sesungguhnyalah, bekerja merupakan amal shaleh yang diperintahkan Allah dalam kitabNya.  Bila perkerjaan yang kita lakukan niatnya bukan karena Allah, misalnya niat untuk mencari makan, agar tidak merepotkan anak cucu, bisa membeli mobil, rumah, bahkan untuk biaya pendidikan anak kita dll..... hati-hati deh, jangan sampai kita menjadi orang yang merugi, yang menyia-nyiakan umur kita demi sesuatu yang akan musnah.

Iman dan amal shaleh, menurutku adalah dua hal yang dilakukan secara bersamaan. Bila kita meniatkan segala sesuatu karena Allah, gak usah khawatir deh, Allahlah yang akan menjamin hidup kita.  Contohnya bila niat kita menyekolahkan anak-anak karena Allah, insyaAllah kita tidak bakalan dipusingkan dengan biaya sekolah, karena Allahlah yang akan mencukupiNya. Dan kita tidak perlu tergoda bila ada orang menawarkan asuransi pendidikan.

Shalat lima waktu yang kita lakukan dengan khusyu', membuat kita tersadarkan lagi akan niat hidup kita untukNya.  Bangunkan niat yang benar dan lurus mulai dari hal yang kecil-kecil sekalipun, agar detik demi detik kehidupan kita mempunyai makna di hadapan Allah.
Niat makan adalah untuk menjaga kesehatan tubuh agar bisa menjalankan amanahNya dengan baik, agar bisa beribadah padaNya dengan tekun. Niat istirahat atau tidur adalah untuk bisa menyegarkan kembali tubuh yang letih agar bisa menjalankan perintahNya dengan lebih baik.
Niat bergurau dan bercengkerama dengan keluarga adalah untuk mensyukuri nikmat Allah berupa suami/istri dan anak yang menyenangkan. 
Tataplah anak-anak kita, betapa Allah telah melukis senyum mereka, mata polos nan indah mereka, gerakan lucu mereka....hingga kita mengucap Subhanallah, Alhamdulillah.... dari hati kita yang paling dalam.

Takutlah kita akan kelelahan hidup yang sia-sia, hidup yang tidak ada nilainya di hadapan Allah. Hidup yang mundur ke belakang, sementara waktu berjalan ke depan menyisakan jatah umur yang kian berkurang. Atau hidup yang jalan di tempat, sementara hanya dengan merefresh niat kita, hidup bisa kita bawa berlari.

Sungguh sayang melihat lelaki tua di dalam bis, tetap bekerja keras ditengah deraan nafas kehidupan.  Lebih sayang  melihat orang yang tetap bekerja keras hingga sisa umurnya, tanpa mengukirkan makna di hadapan Allah, hingga ajal menjemput.

Saat ini, kita sedang berdiri dimana?
Marilah kita memperbaiki segala kebodohan dimasa lalu, hingga sisa umur yang Allah berikan tak lagi menjadi hal yang sia-sia.....

"Sebenarnya waktu yang dimiliki manusia adalah umurnya sendiri yang terus berjalan seperti gerakan awan.  Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya.  Sementara waktu yang digunakan selain tujuan tersebut tidak dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya " (Ibnul Qoyyim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar