Selasa, 30 November 2010

Ditarik Sebuah Magnet Kemuliaan

" Sudahkah anda membaca Al Quran hari ini? ", sebuah pertanyaan yang mudah sekali untuk dijawab.  Tapi pernahkah ada orang yang menanyakan kepada anda, " Apakah anda sudah memasuki Al Quran ?"  Bingung kan bagaimana menjawabnya ? wong pertanyaannya saja susah untuk diterjemahkan dalam bahasa pengertian yang umum.

Namun begitulah Al Quran,  dia bukan sebuah kitab biasa, dia bukan kitab suci yang hanya disediakan untuk dibaca, selain untuk kita renungkan dan kita amalkan, dia bisa kita 'masuki' saat dia mengijinkan kita memasuki pintunya.  Tunggulah hingga  kita akan begitu tercengang dengan pemandangan yang disuguhkannya.  Saat dia teteskan pencerahan di qalbu, gugurlah semua prasangka dan paradigma yang dulu pernah melekat kuat-kuat,  kita akan tercengang melihat begitu luasnya khazanah Allah. Lalu anda akan mengatakan ," Membuka Al Quran  selaksa membuka pintu alam semesta, alam malakut, alam keabadian yang luasnya tak terperi".

Maksudku semula mempelajari bahasa Al Quran sebenarnya sederhana saja,  aku hanya ingin saat menjadi makmum sedangkan imamnya membaca surat yang panjang-panjang, aku bisa langsung mengerti artinya. Sederhana bukan?  Apalagi saat ramadhan,  imam sholat tarawih suka membaca surat yang makmumnya saja sampai kakinya kesemutan karena kelamaan berdiri. 

Begitulah, akhirnya kuboyong buku terjemah Al Quran perkata koleksi bapak yang sepuluh jilid itu.  Aku hafalkan artinya kata per kata,  kusetorkan hafalanku pada ustadz Virin, ustadznya Cantiq butik, seminggu dua kali.  Walaupun di usiaku yang kepala 4 ini,  menghafal bukan pekerjaan yang mudah, aku tak putus asa,  ditambah kesibukan sebagai pengusaha, ibu dan istri, aku harus mencuri waktu untuk memperlancar hafalanku.

Walau sampai saat ini baru beberapa surat saja yang berhasil langsung kumengerti artinya, Allah banyak menghadiahiku pengalaman yang mencengangkan. Diantaranya saat kupelajari surat Al Ahzab.

Di dalam surat All Ahzab ayat 37, disebutkan bahwa Nabi harus memperistri mantan istri Zaid, anak angkat beliau, untuk memberi contoh sebuah hukum dibolehkannya seorang ayah angkat memperistri mantan istri anak angkatnya.  Begitulah makna dari surat Al Ahzab ayat 37,  dan begitu pula pemahamanku semula.  Istri Zaid dipilih Allah untuk menjadi contoh sebuah kasus dalam hukum agama, dan Nabi yang mulia mematuhi.

"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya, dan kamu juga telah meberi nikmat kepadanya. 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah'  sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.  Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)  Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi "  QS Al Ahzab ; 37.

Menghafalkan, memerlukan proses yang berulang-ulang.  Saat itulah aku rasakan Allah membukakan pintu Al Quran kepadaku, mempersilahkan aku masuk, menikmati keindahan yang disuguhkannya dan pulangnya Allah berikan aku 'mutiara' yang tersimpan di hatiku.

Semula aku rasakan beratnya kebimbangan Nabi saw untuk melaksanakan ketetapan Allah ini, aku sampai menangis. Bila semula istri Nabi yang paling kukenal dan kukagumi hanyalah Siti Khadijah yang mulia dan Siti Aisyah yang cerdas, detik itu berubah.  Aku seperti dituntun memasuki rumah tangga beliau yang penuh rahmat dan kedamaian. 'Dipertemukan'  dengan mantan istri Zaid, buyarlah  segala kesimpulan hati yang mengatakan bahwa wanita ini 'hanya' dipilih Allah untuk sebuah hukum agama. Aku menyaksikan kesucian istri-istri beliau, terpesonanya aku melihat eloknya kesucian dan keindahan jiwa, melihat derajatnya yang tinggi di hadapan Allah.  Membuatku seperti ditarik sebuah magnet kemuliaan, spontan dan tanpa alasan diriku serasa rela meninggalkan semua kekotoran jiwa dan goresan-goresan hati yang mengganggu.  Jiwaku seperti tertuntun menujuNya, tanpa bimbang dan ragu, lurus langkahku, hingga kubertanya, inikah shiratal mustaqim?

Istri-istri Nabi adalah wanita yang terpilih dan memang pantas menjadi ibu kaum muslimin, bukan sekedar contoh kasus dalam hukum agama. Berjumpa dengannya laksana bertemu pribadi yang dalam diamnya sanggup menarik segala keinginan selain keinginan untuk menjadi sesuci dan semulia beliau.  Itulah yang tertinggal dalam diriku,  keinginan untuk menjadi pribadi yang suci dan tinggi derajatnya di hadapan Allah.  Sedangkan aku melihat diriku sebagai 'produk' dari suatu jaman, dan aku harus melepaskan diri dari 'belenggu' jaman.

Berjumpa dengan ibu kaum muslimin membuatku berkata ," Kesucian adalah hadiah terindah dari Allah bagi siapa yang dikehendkiNya".

Senin, 29 November 2010

Teman dari Masa Lalu

Dulu, kami pernah bersama-sama, bermain, bercanda, tanpa ada hari terlewat.  Sekarang setelah puluhan tahun berlalu,  kami begitu berbeda, walau bukan seperti langit dan bumi, atau siang dan malam, tetap saja berbeda. Tapi ada satu yang mempersatukan kami,  persahabatan.

Tiap Sabtu sore, bila tidak ada kesibukan pameran atau janji dengan pelanggan, aku selalu usahakan pulang ke Ngantang, ke rumah ibu.
Ngantang yang sejuk selalu membuat rindu, dingin airnya, gunung yang mengelilinginya,  langit merah senja yang membayang dekat, seolah dalam jangkauan.  Bunga-bunga di halaman rumah ibu yang warna-warni dan kebun belakang rumah dengan sayur mayur yang hijaunya mengundang tangan memetiknya. Juga memancing di bendungan  Selorejo.

Pulangku kali ini bertiga dengan suamiku dan Alni yang kecapean sehabis manasik haji pagi tadi. Kubawa serta 2 kodi kerudung paris lukis, pesanan Ris , temanku SD yang masih tinggal di Ngantang.

Kutelpon Ris sehabis belanja ke pasar pagi-pagi.  Aku memang suka bernostalgia ke pasar, ada keindahan tersendiri melihat para pedagang yang banyak kukenal.  Melihat penjual longtong pecel langganan membungkus pesananku di pagi yang dingin dan berkabut, seperti sebuah puisi atau sepotong lukisan kehidupan.  Di pasar ini aku juga bisa bertemu dengan temanku SD dulu, ada yang jualan kacang goreng dan satunya lagi jualan kerudung. Ada kebahagiaan tersendiri kala bertemu teman lama.

Ris datang agak siang, setelah aku ketiduran di kursi ruang tamu. Begitu melihat kerudung yang cantik-cantik, spontan dia menelpon dua adiknya, Sulfi dan Elly, yang masih berjualan di pasar.  Pasar hanya berjarak 50 meteran dari rumah ibu, mereka tertawa-tawa waktu datang , "Daganganku tak tinggal lo...".  Khas sekali wajah mereka, wajah ibu-ibu yang ijo melihat barang bagus.  Dan seperti halnya ibu-ibu pembeliku,  mereka membeli sesuai dengan warna baju yang mereka miliki, jadi memborong, apalagi kerudungku ini bagus dan tidak mahal, 40 ribuan sepotong.
Kutunjukkan pada mereka kerudung yang kainnya lebih halus dan cat yang lebih bagus, plus payet jepang, yang biasa kujual 125 ribuan.  " Aduh mahalnya, tapi bagus, berbeda ", komentar mereka.
" Malah ada yang 250 ribu dan 400 ribuan lo. Yang ada kristal swaroskynya , mewah.", kataku mempromosikan dagangan.
Herannya, meski mengatakan mahal, Ris membeli juga, begitulah wanita.

Ris ini punya lembaga pendidikan komputer yang cukup terkenal di Ngantang.  Dia anak seorang pedagang yang  menjadi guru, aku kebalikannya, aku anak guru yang menjadi pedagang.  Lalu kami membicarakan tentang Fien, sahabat SD kami juga, yang sudah jadi dosen di sebuah Universitas swasta, dan bersiap menempuh pendidikan S3 nya di luar negri. " Keren, bikin orang iri ", kataku.  Ah, bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja setelah lulus kuliah, ga jadi iri deh.
" Dia naik haji tahun ini sama suaminya.  Yuk kunjungi dia sepulang dari tanah suci ", ajak Ris. Membayangkan berkunjung ke rumah Fien, berarti bisa bertemu dengan Refsi, teman les nari waktu kecil dulu , Refsi bertetangga dengan Fien, Refsi yang cantik tapi kurang beruntung dengan rumah tangganya.

Begitulah, waktu puluhan tahun membuat kami berbeda, nasib yang membawa atau takdir yang membawa, ataukah waktu yang membawa.  Beruntungnya aku,  di usiaku kini aku masih bermain-main seperti yang kulakukan saat aku kecil dulu, bila dulu aku dandani boneka dengan kain perca, sekarang mendandani orang sungguhan, dan rasanya tetap seperti bermain-main, senang.

Merenungkan betapa kami jauh dan berbeda membuatku teringat sesuatu, masa depan kami.  Betapapun berbedanya, kami mempunyai masa depan yang sama, mati. Berbeda untuk saat ini, masih punya peluang untuk berada di tempat yang sama di masa depan yang paling pasti, di sisi Allah. Bila di masa kecil kami belajar untuk mempersiapkan masa dewasa kami, maka sekarang kami mempersiapkan masa keabadian yang sewaktu-waktu datang menjemput, tanpa bisa ditawar, dimajukan atau dimundurkan. Sengaja atau tidak, kami sedang merajut masa depan kami yang paling pasti.  Bila dulu kami berlomba untuk bisa menjadi juara kelas, sekarang saatnya berlomba dalam kebaikan, dengan arah satu, kembali kepada Allah.  Disadari atau tidak, kami selalu menujuNya.

Aku tercenung, seserius apakah diriku mempersiapkan bekal menujuNya?

Kamis, 25 November 2010

Dulu Tuhanku bernama Hary Susetyo

Dikatakan dalam al Quran bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang tidak ada kesedihan padanya.  Berarti bila seseorang dilanda kesedihan,  hal pertama yang harus dikoreksi adalah imannya.

Dulu tuhanku bernama Hary Susetyo. Aku memang tidak menyembahnya, tiap hari aku solat 5 waktu tanpa terlewat.  Tapi  bila yang disebut tuhan adalah yang mengaruniakan keamanan, maka aku merasa aman berada disampingnya.  Bila yang disebut tuhan adalah tempat kita bergantung, maka aku menggantungkan hidupku padanya, menggantungkan kebahagiaanku padanya.  Aku merasa aman secara finansial karena dia mencukupi kebutuhanku, merasa bahagia karena  dia sayang padaku.

Bertahun-tahun tuhanku Hary Susetyo, suamiku.  Lalu kemudian Allah menjatuhkan cobaan pada kami sekeluarga, suamiku jatuh dalam bisnis.  Tuhankupun berganti, saat orang tuaku mengulurkan tangannya, saat aku merasa aman dalam pertolongan manusia, saat hatiku merasa bahwa orang tua adalah penyebab selesainya masalahku, meskipun mulutku mengatakan Alhamdulillah, saat itulah aku telah menyekutukan Allah.

Perjalanan hatiku akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang indah,  hanya Allahlah tempat kita bersandar.  Saat himpitan-himpitan datang,  disaat semua pintu pertolongan makhluk sudah tak bisa lagi diharapkan, hanya Allahlah tempat hatiku bersandar.  Dan Allah tak pernah mengingkari janjiNya.

Ingat akan kisah Nabi Yusuf yang mulia, saat dia mengharap pada seorang  pegawai istana yang keluar dari penjara untuk menyampaikan keadaannya pada raja, hasilnya adalah si pegawai lupa dan Yusuf lebih lama mendekam di penjara.  Dan ketika Yusuf menyandarkan harapannya pada Allah, hasilnya begitu luar biasa.

Demikian pula aku saat itu, di tahun 2001 -  2002, di Negara Bali,  serasa dalam titik balik kehidupan.  Suamiku bangkrut, terjerat hutang puluhan juta, anak-anakku 'berceceran', Aden, anakku yang pertama dengan mbah Joko dan mbah Suminya di Malang, Zeli, anakku yang kedua dengan mbah kung dan mbah putrinya di Ngawi.

 Penderitaan jatuh miskin,  aku yang biasa naik mobil, menjadi tak punya kendaraan apapun, sepeda motorpun melayang, ditambah penderitaan jauh dari anak. Ingat saat berpisah dengan Aden dan Zeli, kucium mereka hingga aku merasakan hidungku bisa merekam bau mereka untuk waktu yang lama.  Sungguh masa-masa yang sulit.  Bersyukur ada Insan, anakku yang ketiga, yang saat itu masih TK, bila  melihat wajahnya  aku serasa 'hidup' lagi.

Yang aku lakukan saat itu adalah ikhlas, bila ini memang pemberianNya pastilah ini yang terbaik.  Aku hidup bukan untuk materi, melainkan untuk menyembahNya.  Aku pasrahkan persoalanku pada Allah, tak terbayang sedikitpun bagaimana cara menyelesaikan semuanya.  Aku jaga perasaanku, jangan sampai ada setitikpun keraguan akan pertolonganNya, karena hanya akan menghancurkan aku.  Saat itu aku merasa, kesulitan yang menekan mungkin akan membuka pintu rahasia menuju kesuksesan.

Aku menerima jahitan,  padahal dulunya aku menjahit hanya untuk dipakai sendiri.  Teman-temanku sesama wali murid TK Asyiah adalah pelanggan pertamaku.  Pendapatan dari menjahit pas untuk keperluan rumah tangga saja, kadang imanku yang miyar miyur khawatir juga, bagaimana masa depan anak-anak dan bagaimana pula dengan hutang yang membuatku tidak bisa pulang ke Jawa, takut dikira melarikan diri.  Tapi imanku aku refresh lagi dan lagi, dengan senantiasa menghadapkan hatiku padaNya.

Suamiku akhirnya menemukan bisnis dengan menjadi pemasok kain ke toko-toko di Bali, perlahan kami bisa membeli sepeda motor.  Aku belajar membordir juga, sehingga akhirnya bisa memproduksi kebaya bordir dengan 3 orang tenaga bordir, suamiku memasarkannya.

Berawal dari seorang pelanggan yang amat baik, bu Dian, pemilik Gayatri minimarket,  aku akhirnya bisa melukis kain.  Beliau membawa sepotong kebaya lukisan tangan yang indah, katanya dari Jakarta.  "Mbak Indah bisa bikin kayak gini enggak?",  tanya beliau saat itu.  Beberapa kali aku melihat busana lukisan di majalah Kartini, tapi sama sekali tak terbayang  untuk  mengerjakannya.  Gara-gara bu Dian, aku mencobanya.

Melukis kain ini membuat sebuah lompatan pendapatan yang amat besar,  karena saat itu kain dengan lukisan tangan langka dan mahal.  Suamiku mencoba memasarkannya ke beberapa butik Jawa,  ada beberapa butik yang bisa menerima lukisan tanganku.  Setelah memperoleh pelanggan di Jawa, akhirnya kami bertiga pindah ke Pakis Malang, Jawa Timur.  Akhirnya aku bisa berkumpul dengan suami lengkap dengan semua anak-anakku,  bahkan Allah memberi kami 'bonus' anak keempat, Alnifolia.

Sekarang dan selamanya tuhanku adalah Allah.  Aku katakan pada Allah ," Ya Allah, ini aku, hambaMu, menghadapMu. Kemanapun kakiku melangkah, apapun yang kulakukan, kapanpun itu, aku tak pernah berhenti menghadapkan jiwaku padaMu ".

Senin, 22 November 2010

Selamat Ulang Tahun Aden

Kemarin, tgl 21 november, ulang tahun anakku yang ganteng, Aden Rohmana ke 21.
Membuatku terkenang akan masa kecilnya dulu, pintar, kreatif dan tentu saja lucu.

Hal yang sampai saat ini masih terkenang adalah sukanya dia mendengar suara adzan.  Mungkin di telinga kecilnya,  adzan itu suara yang teramat indah hingga rugi bila dilewatkan.  Sering saat dia menangis, separah apapun tangisnya, begitu mendengar adzan berkumandang, dia diam, tapi begitu adzan habis,  tangisnya pecah lagi.  Bila kisah ini kuceritakan pada keempat anakku, Insan, adiknya, akan meledek begini," Aneh ya, nangis kok bisa dipause ... hahaha ".  Tawa keempat anakku langsung berderai.

Yang paling menonjol dari dia adalah kepintarannnya menggambar.  Sejak kecil dia sudah bisa menggambar perspektif, mengherankan untuk anak seusia TK. Saking bagusnya  aku merasa sayang membuangnya, jadi sebagian aku simpan di album, kuberi tanggal, sampai saat ini gambar-gambar Aden waktu kecil masih kusimpan, juga gambar dan  karya anakku yang lain.

Dia pintar sekali, IQnya tinggi, seingatku 145 saat dia SMA, masuk kategori sangat superior.  Kalau masalah kecerdasannya ini, suka membuat Zelika , anakku yang kedua,  iri dan bertanya ,
" Kok mas Aden pintar ga kayak Zeli ya buk".
" Mungkin karena saat hamilnya , ibu sedang penelitian, bikin skripsi, mikir rancangan percobaan dan gitu deh ".
" Memangnya saat hamil Zeli, ibu ngapain?".
" Jadi ibu rumah tangga aja".
" Ooo,  hahaha".
" Pas hamilnya Insan?"  ganti Insan yang bertanya.
" Ibu jadi pelukis, makanya Insan suka seni, pintar nari, kan waktu kecilnya di Bali".
" Trus, pas hamilnya Alni", ganti si kecil yang bertanya.
" Ibu sudah jadi pengusaha, Alni umur 3 bulan sudah diajak pameran.  Mungkin Alni besok pintar jualan ".
" Hahaha ...".

Aden, seperti umumnya cowok,  betah sekali di rantau,  jarang pulang, satu semester sekali pulangnya.  Jadi kalau kangen, akulah yang datang ke Bandung.  Kadang  dia tidak mengijinkanku datang ke asramanya, mungkin malu sudah besar kok masih dibuntuti ibunya.  Katanya, chatting aja sama ibuk sudah cukup.

Kadang untuk mengobati kangenku,  aku menyimpan baju bekas pakainya, aku biarkan menggantung dan  kupesan ke pembantuku untuk tidak mencucinya.  Kalau kangen, baju yang bau keringat itu kuciumi. Hingga beberapa minggu, baju kotor itu mengerjakan tugasnya dengan baik.  Tapi kok lama-lama baunya makin mana tahan ... hahaha ... terpaksa deh, dicuci.

Dengan kepintarannya menggambar dan menciptakan game (sejak kecil dia suka membuat permainan baru dengan aturan main yang dia buat sendiri),  aku sangat berharap dia bisa memanfaatkannya di jalan Allah.  Pernah kubilang padanya, ciptakan game yang membuat anak-anak taat pada aturan Allah,  atau yang membuat orang menjadi baik.  Aku ingin apapun yang dilakukannya dia persembahkan untuk Allah, Tuhannya. Hanya dengan jalan ini hidupnya menjadi bermakna bagi dirinya dan alam semesta.

Selamat ulang tahun sayangku.  Semoga hari-harimu menyenangkan dan membawa langkahmu menujuNya.

Minggu, 21 November 2010

Saat Gaji Karyawan Tertunda.

Sabtu, adalah hari gajian karyawan,  aku terancam tidak bisa memenuhinya.  Beberapa pelangganku seperti kompak untuk menunda pembayaran.  Ada yang karena sedang repot mantu dan alasan lain. Yang paling membuatku goyang adalah pelanggan besarku di Jakarta yang sedang menunaikan ibadah haji dan baru pulang tgl 5 desember nanti, beliau ini tak punya karyawan yang diserahi tugas keuangan,  jadi aku harus menunggu hingga beliau pulang.

Menggaji 50 an karyawan bukanlah jumlah yang sidikit, bahkan menjadi urusan yang rumit bagiku saat ini. Serasa mendapat cobaan, bukan cobaan finansial, tapi cobaan iman.  Sejauh mana imanku akan kemurahanNya, akan pertolonganNya, akan  kuasaNya menciptakan keajaiban  sedang diuji.  Jadi aku harus tenang dan tetap mempercayakan persoalanku pada Allah.

Ketenanganku berbuah manis, kamis lalu Klinik UKM propinsi Jawa Timur memintaku untuk menjadi instruktur 'Melukis di atas Kain'  selama 2 hari,  hari sabtu dan minggu, dengan 60 peserta, plus diberi stand gratis untuk berjualan. Rasanya inilah jalan keluar kiriman Allah dan aku amat bersyukur akan kemurahanNya.

Jumat aku berpesan pada Santi  -karyawan admin yang biasa membagi gaji-, untuk menyampaikan pada mereka tentang gaji yang tertunda hingga senin.  Sabtu  aku berangkat pagi-pagi ke Surabaya dengan ringan, menjemput rejeki  untukku, dan juga untuk karyawan-karyawanku.

Kulewati pelatihan hari itu dengan lancar, hingga sore, saat pengunjung sepi, aku buka sms dari ponselku. Sms dari karyawanku yang membuatku kaget dan naik darah.  Aku yakin betul kalau sms ini sengaja dibuat seolah-olah sms nyasar,  sebagai bentuk protes mereka akan  gaji yang terlambat.  Yang satu isinya,' maaf buk, aku tidak bisa membeli obat untuk ibu karena belum gajian'.  Yang kedua, 'sorry ya teman, aku tidak bisa membantumu karena belum gajian'.  Mereka tahu kalau aku tidak pernah menyimpan nomor mereka kecuali beberapa orang yang dalam struktur organisasi Cantiq berposisi di bawahku,  jadi mereka merasa aman dan yakin aku tidak mengetahui nama pengirim sms ini.

Semula aku merasa kecewa dengan cara mereka menyelesaikan persoalan, mengapa yang merasa ibunya sakit tidak langsung bicara saja dengan Santi atau denganku tentang kesulitannnya, sehingga dia mendapatkan prioritas untuk menerima gaji lebih dulu.  Mereka tahu kok kalau Santi pegang uang dan jumlahnya  masih lebih kalau hanya untuk menggaji satu orang karyawan saja.

Kecewaku yang kedua adalah merasa gagal dalam mendidik mereka.  Karyawan-karyawanku ini kudidik dan kuajak untuk mendekatkan diri dengan Allah.  Tiap pagi sebelum bekerja wajib berdoa dulu dan mengaji beberapa ayat Al Quran, aku sering mendampingi mereka dalam mengulas makna ayat-ayat Al Quran.  Seminggu sekali aku datangkan ustadz, dan aku sendiri kadang menyampaikan materi yang kuambil dari buku Quantum Ikhlas nya Erbe Sentanu.

Soal bersyukur, menerima segala peristiwa dengan ikhlas adalah 'makanan' yang sering aku suapkan  pada mereka.  Belajar untuk tidak menyalahkan orang lain akan segala peristiwa yang menimpa kita itu sesuatu yang mungkin telah mereka hafalkan di luar kepala.

Kecewaku yang sangat emosional adalah merasa bahwa mereka tak cukup barterimakasih padaku, egoku muncul ke permukaan, ampuni ya Allah.  Aku merasa mereka itu datang padaku, meminta pekerjaan, dalam keadaan tidak mempunyai ketrampilan apapun.  Aku mengajari mereka hingga bisa melukis, menyulam, dan berbagai hal yang berhubungan dengan busana. Sekarang saat aku mendapatkan kesulitan kecil ini, mereka membalasku dengan cara seperti ini. Aku menjadi orang yang 'berhitung' dalam kebaikan, dan aku tidak bisa membendung perasaan yang mestinya tidak boleh ada.

Aku rencanakan untuk membriefing mereka senin pagi, lengkap dimulai dengan kata pengantar, daftar isi, pendahuluan,  tinjauan Pustaka, pembahasan, plus kesimpulan dan saran ... hahaha.  Pada bagian penutupnya aku akan katakan," Bila diantara kalian ada yang tidak setuju dengan cara bunda mengelola perusahaan ini, silahkan kalian mengundurkan diri.  Bunda hanya mau bekerja sama dengan karyawan yang bekerja bukan semata-mata mencari uang, tapi untuk mendapatkan ridha Allah".

Lalu kucoba menghapus segala kecewaku itu dengan cara memaafkan mereka.  Perlahan aku menyadari bahwa segala yang terjadi adalah atas ijinNya juga, aku harus menerima kenyataan ini dengan ikhlas.  Beberapa menit aku luangkan untuk mengeliminasi perasaan negatif itu satu persatu.  Aku memaafkan mereka hingga muncul perasaan sayang dan kasihku pada mereka.  Perahan-lahan perasaanku berganti positif , muncul ketenangan dan rasa yang indah akan manisnya makna dibalik semua ini.

Bila perasaan adalah salah satu alat untuk menghubungkan Allah dengan hambaNya,  maka aku merasakan Dia menyapaku, berpihak padaku, menemaniku, mengucapkan kalimat salam.  Sebuah perasaan yang amat indah, saat aku bisa mengucapkan," Allah, aku tidak akan memarahi mereka atau memberhentikan mereka, aku hanya mau mengatakan apa-apa yang Engkau ridha".  Perasaan itu indahnya melebihi jatuh cinta.

Jumat, 19 November 2010

Pertolongan Tak Selalu Lewat Hal yang Menyenangkan

Kadang kita seperti terjebak dalam suasana yang menjengkelkan, memancing emosi, padahal siapa tahu ternyata peristiwa itu adalah alat Allah untuk melindungi kita dari hal-hal yang lebih buruk.  Seperti pernah kualami di suatu malam.

Aku di rumah cuma dengan Alni, balitaku yang cantik.  Ga seperti biasanya, Alni rewel, ga mau tidur-tidur padahal sudah malam.  Aku yang sudah capek ini bahkan dipaksanya ke minimarket KUD sebelah rumah untuk membeli es krim, betul-betul membuat orang marah.  Kuturuti saja maunya, sambil mengomel, kutuntun dia sambil terkantuk kantuk, hanya untuk membuktikan kalau minimarketnya sudah tutup.

Begitu membuka pintu rumah, mataku langsung membuka lebar, hilang kantukku, hilang marahku.  Di depan rumah adalah garasi, dan butik Cantiqku tepat di sampingnya..  Lampu butik masih menyala terang dan pintu butik membuka padahal sudah jam 9 lebih.  Di pinggiran kota seperti ini sungguh membahayakan hal seperti ini terjadi.  Rupanya aku tadi lupa menutup pintu setelah ada tamu yang mengambil mukena pesanan.

Astaghfirullahaladzim,  ampuni aku ya Allah sudah memarahi anak tak berdosa, ternyata rewelnya dia hanyalah alatMu untuk melindungi kami sekeluarga dari bahaya yang lebih besar.

Akupun melanjutkan langkahku, kali ini dengan penuh sayang dan kelembutan, menuntun Alni sampai ke depan minimarket yang sudah tutup.

Alni tidur dengan nyenyak setelah semuanya beres, aku memandangi wajahnya dengan penuh penyesalan.

Kamis, 18 November 2010

Kreatifitas di Dapur (tidak) Umum ISI

Akhirnya aku mengalah,  akulah yang datang ke Yogya menengok putriku yang cantik, Zelika.  Libur seminggu, dia memilih jadi relawan peduli merapi daripada pulang berkumpul dengan keluarganya, hingga iedul adhapun dia relakan dirinya di dapur umum, bergulat dengan asap, bau bawang merah, panas, capek  dan entah apa lagi. Begitulah yang kubayangkan tentang keadaan putriku, yang setelah aku sampai disana keadaannya lebih parah dari yang kubayangkan, tapi Zeli bahagia dengan dunianya.

Dapur umum itu lebih pantasnya disebut dapur yang tidak umum, hehehe. Beratapkan terpal yang ditata asal-asalan,  memasak lauk pauk dan membungkus nasinya disini,  beberapa mahasiswa relawan duduk di lantai, berkutat dengan makanan tanpa beralaskan apa-apa.  Di seberang jalan, di dekat pos ronda, beratapkan langit, beberapa mahasiswa memasak nasi di beberapa tungku kayu bakar, wajahnya hampir tidak dapat dibedakan dengan asap hitam yang mengepul dari perapian.

Mataku tertumbuk pada nasi sebakul besar siap dibungkus, warnanya kecoklatan.  Kukira warna coklatnya karena proses memasak yang gosong, tapi ternyata karena beras sumbangan yang  beginilah keadaannya.  Memelas, bagusan makanan kucing di rumah ibu mertuaku.  Dan makanan seperti inilah yang dimakan pengungsi, relawan-relawan ini, termasuk anakku. Ga jelas perasaan apa yang ada di hatiku. Untungnya tadi aku sempat membawa Zeli makan di rumah makan yang kata Zeli termahal di seputaran kampus ISI.

Zeli memperkenalkan aku, bapak dan mbah putrinya ke teman-temannya,  aku merasa diperkenalkan dengan manusia dari planet lain ... haha.

Makanya Zeli tadi sempat bilang ," Ibu nanti jangan kaget lo ya, Zeli disana jadi bahan guyonan teman-teman". Kukira guyonan seperti apa, kukira anakku dilecehkan.  Ternyata di dapur yang tidak umum itu,  guyonan kreatif  mereka menambah daftar tidak umumnya dapur umum mereka.

Nama dapur umumnya mereka ganti dengan Dapur Umum Jelly.  Jelly adalah panggilan Zeli di kalangan teman-teman kampusnya. Di tiang ditulis JFC, Jelly Fans Club.   Macam-macam ekspresi patah hati tertulis di papan kecil-kecil seperti, kutunggu jandamu, cinta ditolak anggur ditenggak,  semua ditujukan untuk Zeli.  Ada lagi ekspresi sayang seperti di ceret ditulis , awas panas jell !!. Yang lebih menggelikan adalah seutas tali menggantung di pojok pos ronda, lengkap dengan simpul di bawahnya, mengisyaratkan siap bunuh diri bila cinta ditolak... hahaha, padahal posisi talinya tak cukup membuat orang bisa mati, karena kerendahan.

Aku yang pemilik butik, biasa bergaul dengan orang-orang yang fashionable, tentu saja seperti dilemparkan ke planet lain,  apalagi wajah mereka mengingatkanku pada kelompok Bajaj, ya hampir seperti itu, rambut kriwil-kriwil,  ekspresi aneh.  Untungnya aku bukan orang yang biasa menilai orang lain dari penampilan luarnya, jadi aku tersenyum dan dalam hati tertawa saja berada di 'ranah asing' ini.

Zeli seperti mengerti perasaanku, hingga saat pulang dia cerita.
"Mereka itu semuanya baik-baik kok buk,  mereka itu orang-orang yang tulus.  Kadang mereka rela menahan lapar demi mengutamakan pengungsi.  Sama Zeli mereka juga sayang kok , kalau Zeli sakit diperhatiin".

Siapapun mereka dan bagaimanapun penampilan mereka, dalam hati aku salut pada mereka.  Dalam perjalanan pulang dari Yogya, kupersembahkan doa tulusku pada mereka, seperti aku mendoakan anak-anakku.

Mudah-mudahan Allah karuniakan dalam hati mereka niat tulus karena Allah.
Betapa banyaknya orang yang melakukan banyak amal kebaikan, tapi hanya mendapatkan kelelahan saja, karena salah dalam meniatkannya.
Mudah-mudahan mereka menyadari, bahwa semua yang dipersembahkan untuk Allah akan menggerakkan alam semesta untuk mempersembahkan yang terbaik buat manusia.

Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang bergerak karenaMu, karena orang yang bergerak karena mengharap ridhaMu tak akan pernah letih dalam berjuang, tak mudah menyerah oleh apapun penghalang.
Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang Engkau dekatkan padaMu, mencintaiMu dan Engkau cintai pula.

Kamis, 11 November 2010

Alni di Makam mbah Buyutnya

Kadang anak-anak membuat kita terkejut, terpana dan terheran-heran dengan jalan pikirannya yang bagi orang dewasa sungguh tak biasa.

Alni, anakku yang baru berumur empat tahun ikut pergi ke makam mbah buyutnya bersama aku, tantenya dan kakaknya.

Setelah menabur bunga di atas pusara, tantenya bilang," Ayo Alni, berdoa dulu untuk mbah yut". Tantenya mengawali doa dengan ,"Bismillahirrohmanirrochim..........".
Dia langsung menyambung doa tantenya," Semoga mbah yut hidup lagi".
Kontan tantenya tertawa.
"Ya memang mbah yut hidup di sisi Allah ". kataku.
"Ya, itu benar, setelah dikasih bunga, hidup lagi ", celotehnya yang membuat kami tertawa lagi.

Lain lagi ceritanya saat mbah yut yang satunya meninggal dunia.  Dia bertanya," Mbah Yut kemana?"
Kujawab," Mbah yut sama Allah dikasih  rumah yang bagus".
Tak terduga dia bilang," Oooo, rumahnya ibuk sudah jelek ya".  Hahaha.


Minggu, 07 November 2010

Sedekah yang Langsung Berbalas

Janji Allah pasti ditepati, bila kita berinfak, maka Dia akan melipat gandakannya, sepuluh kali lipat atau lebih, menurut kebijaksanaanNya.  Inilah kisahku.

Pulang dari memberi pelatihan melukis diatas kain, di tasku ada satu juta lebih uang tunai, honor sebagai trainer hari itu.   Berboncengan sepeda motor dengan karyawanku, menjelang maghrib.  Dia mengajakku mampir sholat dulu di salah seorang saudaranya yang kebetulan rumahnya kami lewati, aku menyetujui ajakannya.

Kami masuk gang sempit, di sebuah rumah yang sangat- sangat sederhana,  ada sebuah toko kecil di depan rumah itu, yang dagangannya tidak banyak.  Ruang tamu hanya beralaskan karpet, yang kalau sore dipakai untuk anak-anak mengaji, pada malam-malam tertentu untuk pengajian bapak-bapak.

 Dari pembicaraan dengan tuan rumah, kutahu keluarga ini mengandalkan ekonomi keluarganya dari toko kecil yang dijaga si bapak yang cacat kakinya karena sebuah kecelakaan, sedangkan istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 3 anak-anak mereka masih sekolah semua. Selebihnya mereka mengabdikan diri untuk agama.

Walaupun baru sekali itu aku bertemu dan mengenal keluarga itu, esok harinya aku kirim limaratus ribu honorku kepada mereka sekeluarga lewat karyawanku.  Aku berpesan agar uang itu dipakai untuk menambah dagangan di tokonya.
Saat memberi itu  sebenarnya aku  sedang memerlukan uang untuk membayar hutangku pada seorang keluarga dekat sebanyak 1,5 juta.  Dengan sengaja aku menunda membayar hutang karena kupikir, keluargaku ini orang berkecukupan, kalau aku bayar hutangku, tentunya uangnya akan disimpan di bank dan tidak memberi nilai untuk orang lain.  Sedangkan bila kuamalkan dulu, tentu akan sangat membantu.

Selang beberapa hari, aku bersilaturahmi ke keluargaku, aku sampaikan bahwa aku belum bisa melunasi hutangku.  Mengejutkan, beliau membebaskanku dari hutang, bahkan anak-anakku mendapat uang saku sebanyak 800 ribu rupiah. MasyaAllah. AllahuAkbar.

Jumat, 05 November 2010

Dikabulkan setelah 30 tahun

Merasa Allah menjadikan diriku berarti, itu luar biasa. Merasakan diri seperti kain batik yang dilorod, memunculkan keindahan corak yang mengagumkan. Padahal tak ada yang dilakukan oleh ponpes ini padaku, hanya auranya begitu menarik orang menjadi baik.

Saat makan malam di pondok pesantren Annuru wal muhasabah di Tirtoyudo , ujung timur Malang, aku jadi ingat akan mimpiku 30 tahun yang lalu.  Allah mengabulkannya saat aku sudah melupakannya, Allah mengabulkannya dalam bentuk yang lain.

Kehadiranku disini karena menerima tawaran Dinas Koperasi propinsi Jawa Timur, sebagai instruktur sulam pita untuk para santri putri selama 2 hari. Yang menarik bagiku bukan tugasku mengajar, tapi pondok pesantren ini.

Ingat waktu aku masih SD. Sahabatku Fienzul Fikariya, yang sekarang menjadi dosen UMM, suka bercerita tentang kakaknya yang mondok di Bangil. Aku tertarik. Tertarikku ini salah ayahku juga, di rumah beliau ini aku dikelilingi buku-buku agama, yang karena jaman dulu ga ada game komputer, televisi juga tidak, maka kegiatanku ya membaca. Dari membaca menjadi cinta dan ingin memperdalam agama. Tapi bapak ibu tak ijinkan aku mondok. Mimpiku menggantung.

Lulus SMP aku ingin meraih mimpiku lagi, aku mau masuk MAN. Ga diijinkan lagi. Masuklah aku ke SMAN   Batu Malang.

Lulus SMA pun aku masih belum menyerah, waktu itu aku diterima di IAIN.  Sayangnya dalam waktu yang bersamaan aku diterima pula di Universitas Brawijaya. Semua orang menyuruhku memilih masuk UB. Keputusan ini kusyukuri sampai sekarang, karena di kampus inilah aku bertemu suami yang baiknya minta ampun.

Saat kuliah itu aku masih menyimpan keinginan untuk mondok kalau sudah lulus nanti. Eh ... la kok, aku lulus sekaligus dapat ijab syah dan sudah punya Aden yang berusia 9 bulan.  Batal lagi keinginanku untuk mencicipi dunia pesantren.

Aku yakin, setiap pondok pesantren punya karakter sendiri, bahkan aura sendiri. Ponpes Annuru ini bagiku luar biasa. Disini aku bisa merasakan bahwa Allah menggunakan diriku untuk kebaikan sesama, aku melakukannya dengan senang karena merasakan ini adalah amanah Allah. Ternyata beginikah rasanya tulus ikhlas karena Allah? Ini perasaan  yang nyaman, bahagia, tak ada kata yang bisa mewakili. Merasa Allah menjadikan diriku berarti.



.