Kamis, 25 November 2010

Dulu Tuhanku bernama Hary Susetyo

Dikatakan dalam al Quran bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang tidak ada kesedihan padanya.  Berarti bila seseorang dilanda kesedihan,  hal pertama yang harus dikoreksi adalah imannya.

Dulu tuhanku bernama Hary Susetyo. Aku memang tidak menyembahnya, tiap hari aku solat 5 waktu tanpa terlewat.  Tapi  bila yang disebut tuhan adalah yang mengaruniakan keamanan, maka aku merasa aman berada disampingnya.  Bila yang disebut tuhan adalah tempat kita bergantung, maka aku menggantungkan hidupku padanya, menggantungkan kebahagiaanku padanya.  Aku merasa aman secara finansial karena dia mencukupi kebutuhanku, merasa bahagia karena  dia sayang padaku.

Bertahun-tahun tuhanku Hary Susetyo, suamiku.  Lalu kemudian Allah menjatuhkan cobaan pada kami sekeluarga, suamiku jatuh dalam bisnis.  Tuhankupun berganti, saat orang tuaku mengulurkan tangannya, saat aku merasa aman dalam pertolongan manusia, saat hatiku merasa bahwa orang tua adalah penyebab selesainya masalahku, meskipun mulutku mengatakan Alhamdulillah, saat itulah aku telah menyekutukan Allah.

Perjalanan hatiku akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang indah,  hanya Allahlah tempat kita bersandar.  Saat himpitan-himpitan datang,  disaat semua pintu pertolongan makhluk sudah tak bisa lagi diharapkan, hanya Allahlah tempat hatiku bersandar.  Dan Allah tak pernah mengingkari janjiNya.

Ingat akan kisah Nabi Yusuf yang mulia, saat dia mengharap pada seorang  pegawai istana yang keluar dari penjara untuk menyampaikan keadaannya pada raja, hasilnya adalah si pegawai lupa dan Yusuf lebih lama mendekam di penjara.  Dan ketika Yusuf menyandarkan harapannya pada Allah, hasilnya begitu luar biasa.

Demikian pula aku saat itu, di tahun 2001 -  2002, di Negara Bali,  serasa dalam titik balik kehidupan.  Suamiku bangkrut, terjerat hutang puluhan juta, anak-anakku 'berceceran', Aden, anakku yang pertama dengan mbah Joko dan mbah Suminya di Malang, Zeli, anakku yang kedua dengan mbah kung dan mbah putrinya di Ngawi.

 Penderitaan jatuh miskin,  aku yang biasa naik mobil, menjadi tak punya kendaraan apapun, sepeda motorpun melayang, ditambah penderitaan jauh dari anak. Ingat saat berpisah dengan Aden dan Zeli, kucium mereka hingga aku merasakan hidungku bisa merekam bau mereka untuk waktu yang lama.  Sungguh masa-masa yang sulit.  Bersyukur ada Insan, anakku yang ketiga, yang saat itu masih TK, bila  melihat wajahnya  aku serasa 'hidup' lagi.

Yang aku lakukan saat itu adalah ikhlas, bila ini memang pemberianNya pastilah ini yang terbaik.  Aku hidup bukan untuk materi, melainkan untuk menyembahNya.  Aku pasrahkan persoalanku pada Allah, tak terbayang sedikitpun bagaimana cara menyelesaikan semuanya.  Aku jaga perasaanku, jangan sampai ada setitikpun keraguan akan pertolonganNya, karena hanya akan menghancurkan aku.  Saat itu aku merasa, kesulitan yang menekan mungkin akan membuka pintu rahasia menuju kesuksesan.

Aku menerima jahitan,  padahal dulunya aku menjahit hanya untuk dipakai sendiri.  Teman-temanku sesama wali murid TK Asyiah adalah pelanggan pertamaku.  Pendapatan dari menjahit pas untuk keperluan rumah tangga saja, kadang imanku yang miyar miyur khawatir juga, bagaimana masa depan anak-anak dan bagaimana pula dengan hutang yang membuatku tidak bisa pulang ke Jawa, takut dikira melarikan diri.  Tapi imanku aku refresh lagi dan lagi, dengan senantiasa menghadapkan hatiku padaNya.

Suamiku akhirnya menemukan bisnis dengan menjadi pemasok kain ke toko-toko di Bali, perlahan kami bisa membeli sepeda motor.  Aku belajar membordir juga, sehingga akhirnya bisa memproduksi kebaya bordir dengan 3 orang tenaga bordir, suamiku memasarkannya.

Berawal dari seorang pelanggan yang amat baik, bu Dian, pemilik Gayatri minimarket,  aku akhirnya bisa melukis kain.  Beliau membawa sepotong kebaya lukisan tangan yang indah, katanya dari Jakarta.  "Mbak Indah bisa bikin kayak gini enggak?",  tanya beliau saat itu.  Beberapa kali aku melihat busana lukisan di majalah Kartini, tapi sama sekali tak terbayang  untuk  mengerjakannya.  Gara-gara bu Dian, aku mencobanya.

Melukis kain ini membuat sebuah lompatan pendapatan yang amat besar,  karena saat itu kain dengan lukisan tangan langka dan mahal.  Suamiku mencoba memasarkannya ke beberapa butik Jawa,  ada beberapa butik yang bisa menerima lukisan tanganku.  Setelah memperoleh pelanggan di Jawa, akhirnya kami bertiga pindah ke Pakis Malang, Jawa Timur.  Akhirnya aku bisa berkumpul dengan suami lengkap dengan semua anak-anakku,  bahkan Allah memberi kami 'bonus' anak keempat, Alnifolia.

Sekarang dan selamanya tuhanku adalah Allah.  Aku katakan pada Allah ," Ya Allah, ini aku, hambaMu, menghadapMu. Kemanapun kakiku melangkah, apapun yang kulakukan, kapanpun itu, aku tak pernah berhenti menghadapkan jiwaku padaMu ".

1 komentar:

  1. Alhamdulillah ya Allah.. bagus n menginspirasi bgt mba.. membukakan mata saya.. terima kasih dan akan saya lakukan...

    BalasHapus