Senin, 29 November 2010

Teman dari Masa Lalu

Dulu, kami pernah bersama-sama, bermain, bercanda, tanpa ada hari terlewat.  Sekarang setelah puluhan tahun berlalu,  kami begitu berbeda, walau bukan seperti langit dan bumi, atau siang dan malam, tetap saja berbeda. Tapi ada satu yang mempersatukan kami,  persahabatan.

Tiap Sabtu sore, bila tidak ada kesibukan pameran atau janji dengan pelanggan, aku selalu usahakan pulang ke Ngantang, ke rumah ibu.
Ngantang yang sejuk selalu membuat rindu, dingin airnya, gunung yang mengelilinginya,  langit merah senja yang membayang dekat, seolah dalam jangkauan.  Bunga-bunga di halaman rumah ibu yang warna-warni dan kebun belakang rumah dengan sayur mayur yang hijaunya mengundang tangan memetiknya. Juga memancing di bendungan  Selorejo.

Pulangku kali ini bertiga dengan suamiku dan Alni yang kecapean sehabis manasik haji pagi tadi. Kubawa serta 2 kodi kerudung paris lukis, pesanan Ris , temanku SD yang masih tinggal di Ngantang.

Kutelpon Ris sehabis belanja ke pasar pagi-pagi.  Aku memang suka bernostalgia ke pasar, ada keindahan tersendiri melihat para pedagang yang banyak kukenal.  Melihat penjual longtong pecel langganan membungkus pesananku di pagi yang dingin dan berkabut, seperti sebuah puisi atau sepotong lukisan kehidupan.  Di pasar ini aku juga bisa bertemu dengan temanku SD dulu, ada yang jualan kacang goreng dan satunya lagi jualan kerudung. Ada kebahagiaan tersendiri kala bertemu teman lama.

Ris datang agak siang, setelah aku ketiduran di kursi ruang tamu. Begitu melihat kerudung yang cantik-cantik, spontan dia menelpon dua adiknya, Sulfi dan Elly, yang masih berjualan di pasar.  Pasar hanya berjarak 50 meteran dari rumah ibu, mereka tertawa-tawa waktu datang , "Daganganku tak tinggal lo...".  Khas sekali wajah mereka, wajah ibu-ibu yang ijo melihat barang bagus.  Dan seperti halnya ibu-ibu pembeliku,  mereka membeli sesuai dengan warna baju yang mereka miliki, jadi memborong, apalagi kerudungku ini bagus dan tidak mahal, 40 ribuan sepotong.
Kutunjukkan pada mereka kerudung yang kainnya lebih halus dan cat yang lebih bagus, plus payet jepang, yang biasa kujual 125 ribuan.  " Aduh mahalnya, tapi bagus, berbeda ", komentar mereka.
" Malah ada yang 250 ribu dan 400 ribuan lo. Yang ada kristal swaroskynya , mewah.", kataku mempromosikan dagangan.
Herannya, meski mengatakan mahal, Ris membeli juga, begitulah wanita.

Ris ini punya lembaga pendidikan komputer yang cukup terkenal di Ngantang.  Dia anak seorang pedagang yang  menjadi guru, aku kebalikannya, aku anak guru yang menjadi pedagang.  Lalu kami membicarakan tentang Fien, sahabat SD kami juga, yang sudah jadi dosen di sebuah Universitas swasta, dan bersiap menempuh pendidikan S3 nya di luar negri. " Keren, bikin orang iri ", kataku.  Ah, bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja setelah lulus kuliah, ga jadi iri deh.
" Dia naik haji tahun ini sama suaminya.  Yuk kunjungi dia sepulang dari tanah suci ", ajak Ris. Membayangkan berkunjung ke rumah Fien, berarti bisa bertemu dengan Refsi, teman les nari waktu kecil dulu , Refsi bertetangga dengan Fien, Refsi yang cantik tapi kurang beruntung dengan rumah tangganya.

Begitulah, waktu puluhan tahun membuat kami berbeda, nasib yang membawa atau takdir yang membawa, ataukah waktu yang membawa.  Beruntungnya aku,  di usiaku kini aku masih bermain-main seperti yang kulakukan saat aku kecil dulu, bila dulu aku dandani boneka dengan kain perca, sekarang mendandani orang sungguhan, dan rasanya tetap seperti bermain-main, senang.

Merenungkan betapa kami jauh dan berbeda membuatku teringat sesuatu, masa depan kami.  Betapapun berbedanya, kami mempunyai masa depan yang sama, mati. Berbeda untuk saat ini, masih punya peluang untuk berada di tempat yang sama di masa depan yang paling pasti, di sisi Allah. Bila di masa kecil kami belajar untuk mempersiapkan masa dewasa kami, maka sekarang kami mempersiapkan masa keabadian yang sewaktu-waktu datang menjemput, tanpa bisa ditawar, dimajukan atau dimundurkan. Sengaja atau tidak, kami sedang merajut masa depan kami yang paling pasti.  Bila dulu kami berlomba untuk bisa menjadi juara kelas, sekarang saatnya berlomba dalam kebaikan, dengan arah satu, kembali kepada Allah.  Disadari atau tidak, kami selalu menujuNya.

Aku tercenung, seserius apakah diriku mempersiapkan bekal menujuNya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar