Jumat, 05 November 2010

Dikabulkan setelah 30 tahun

Merasa Allah menjadikan diriku berarti, itu luar biasa. Merasakan diri seperti kain batik yang dilorod, memunculkan keindahan corak yang mengagumkan. Padahal tak ada yang dilakukan oleh ponpes ini padaku, hanya auranya begitu menarik orang menjadi baik.

Saat makan malam di pondok pesantren Annuru wal muhasabah di Tirtoyudo , ujung timur Malang, aku jadi ingat akan mimpiku 30 tahun yang lalu.  Allah mengabulkannya saat aku sudah melupakannya, Allah mengabulkannya dalam bentuk yang lain.

Kehadiranku disini karena menerima tawaran Dinas Koperasi propinsi Jawa Timur, sebagai instruktur sulam pita untuk para santri putri selama 2 hari. Yang menarik bagiku bukan tugasku mengajar, tapi pondok pesantren ini.

Ingat waktu aku masih SD. Sahabatku Fienzul Fikariya, yang sekarang menjadi dosen UMM, suka bercerita tentang kakaknya yang mondok di Bangil. Aku tertarik. Tertarikku ini salah ayahku juga, di rumah beliau ini aku dikelilingi buku-buku agama, yang karena jaman dulu ga ada game komputer, televisi juga tidak, maka kegiatanku ya membaca. Dari membaca menjadi cinta dan ingin memperdalam agama. Tapi bapak ibu tak ijinkan aku mondok. Mimpiku menggantung.

Lulus SMP aku ingin meraih mimpiku lagi, aku mau masuk MAN. Ga diijinkan lagi. Masuklah aku ke SMAN   Batu Malang.

Lulus SMA pun aku masih belum menyerah, waktu itu aku diterima di IAIN.  Sayangnya dalam waktu yang bersamaan aku diterima pula di Universitas Brawijaya. Semua orang menyuruhku memilih masuk UB. Keputusan ini kusyukuri sampai sekarang, karena di kampus inilah aku bertemu suami yang baiknya minta ampun.

Saat kuliah itu aku masih menyimpan keinginan untuk mondok kalau sudah lulus nanti. Eh ... la kok, aku lulus sekaligus dapat ijab syah dan sudah punya Aden yang berusia 9 bulan.  Batal lagi keinginanku untuk mencicipi dunia pesantren.

Aku yakin, setiap pondok pesantren punya karakter sendiri, bahkan aura sendiri. Ponpes Annuru ini bagiku luar biasa. Disini aku bisa merasakan bahwa Allah menggunakan diriku untuk kebaikan sesama, aku melakukannya dengan senang karena merasakan ini adalah amanah Allah. Ternyata beginikah rasanya tulus ikhlas karena Allah? Ini perasaan  yang nyaman, bahagia, tak ada kata yang bisa mewakili. Merasa Allah menjadikan diriku berarti.



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar