Selasa, 30 November 2010

Ditarik Sebuah Magnet Kemuliaan

" Sudahkah anda membaca Al Quran hari ini? ", sebuah pertanyaan yang mudah sekali untuk dijawab.  Tapi pernahkah ada orang yang menanyakan kepada anda, " Apakah anda sudah memasuki Al Quran ?"  Bingung kan bagaimana menjawabnya ? wong pertanyaannya saja susah untuk diterjemahkan dalam bahasa pengertian yang umum.

Namun begitulah Al Quran,  dia bukan sebuah kitab biasa, dia bukan kitab suci yang hanya disediakan untuk dibaca, selain untuk kita renungkan dan kita amalkan, dia bisa kita 'masuki' saat dia mengijinkan kita memasuki pintunya.  Tunggulah hingga  kita akan begitu tercengang dengan pemandangan yang disuguhkannya.  Saat dia teteskan pencerahan di qalbu, gugurlah semua prasangka dan paradigma yang dulu pernah melekat kuat-kuat,  kita akan tercengang melihat begitu luasnya khazanah Allah. Lalu anda akan mengatakan ," Membuka Al Quran  selaksa membuka pintu alam semesta, alam malakut, alam keabadian yang luasnya tak terperi".

Maksudku semula mempelajari bahasa Al Quran sebenarnya sederhana saja,  aku hanya ingin saat menjadi makmum sedangkan imamnya membaca surat yang panjang-panjang, aku bisa langsung mengerti artinya. Sederhana bukan?  Apalagi saat ramadhan,  imam sholat tarawih suka membaca surat yang makmumnya saja sampai kakinya kesemutan karena kelamaan berdiri. 

Begitulah, akhirnya kuboyong buku terjemah Al Quran perkata koleksi bapak yang sepuluh jilid itu.  Aku hafalkan artinya kata per kata,  kusetorkan hafalanku pada ustadz Virin, ustadznya Cantiq butik, seminggu dua kali.  Walaupun di usiaku yang kepala 4 ini,  menghafal bukan pekerjaan yang mudah, aku tak putus asa,  ditambah kesibukan sebagai pengusaha, ibu dan istri, aku harus mencuri waktu untuk memperlancar hafalanku.

Walau sampai saat ini baru beberapa surat saja yang berhasil langsung kumengerti artinya, Allah banyak menghadiahiku pengalaman yang mencengangkan. Diantaranya saat kupelajari surat Al Ahzab.

Di dalam surat All Ahzab ayat 37, disebutkan bahwa Nabi harus memperistri mantan istri Zaid, anak angkat beliau, untuk memberi contoh sebuah hukum dibolehkannya seorang ayah angkat memperistri mantan istri anak angkatnya.  Begitulah makna dari surat Al Ahzab ayat 37,  dan begitu pula pemahamanku semula.  Istri Zaid dipilih Allah untuk menjadi contoh sebuah kasus dalam hukum agama, dan Nabi yang mulia mematuhi.

"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya, dan kamu juga telah meberi nikmat kepadanya. 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah'  sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.  Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)  Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi "  QS Al Ahzab ; 37.

Menghafalkan, memerlukan proses yang berulang-ulang.  Saat itulah aku rasakan Allah membukakan pintu Al Quran kepadaku, mempersilahkan aku masuk, menikmati keindahan yang disuguhkannya dan pulangnya Allah berikan aku 'mutiara' yang tersimpan di hatiku.

Semula aku rasakan beratnya kebimbangan Nabi saw untuk melaksanakan ketetapan Allah ini, aku sampai menangis. Bila semula istri Nabi yang paling kukenal dan kukagumi hanyalah Siti Khadijah yang mulia dan Siti Aisyah yang cerdas, detik itu berubah.  Aku seperti dituntun memasuki rumah tangga beliau yang penuh rahmat dan kedamaian. 'Dipertemukan'  dengan mantan istri Zaid, buyarlah  segala kesimpulan hati yang mengatakan bahwa wanita ini 'hanya' dipilih Allah untuk sebuah hukum agama. Aku menyaksikan kesucian istri-istri beliau, terpesonanya aku melihat eloknya kesucian dan keindahan jiwa, melihat derajatnya yang tinggi di hadapan Allah.  Membuatku seperti ditarik sebuah magnet kemuliaan, spontan dan tanpa alasan diriku serasa rela meninggalkan semua kekotoran jiwa dan goresan-goresan hati yang mengganggu.  Jiwaku seperti tertuntun menujuNya, tanpa bimbang dan ragu, lurus langkahku, hingga kubertanya, inikah shiratal mustaqim?

Istri-istri Nabi adalah wanita yang terpilih dan memang pantas menjadi ibu kaum muslimin, bukan sekedar contoh kasus dalam hukum agama. Berjumpa dengannya laksana bertemu pribadi yang dalam diamnya sanggup menarik segala keinginan selain keinginan untuk menjadi sesuci dan semulia beliau.  Itulah yang tertinggal dalam diriku,  keinginan untuk menjadi pribadi yang suci dan tinggi derajatnya di hadapan Allah.  Sedangkan aku melihat diriku sebagai 'produk' dari suatu jaman, dan aku harus melepaskan diri dari 'belenggu' jaman.

Berjumpa dengan ibu kaum muslimin membuatku berkata ," Kesucian adalah hadiah terindah dari Allah bagi siapa yang dikehendkiNya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar