Jumat, 24 Desember 2010

Suami Teman Temanku

Tidak ada peristiwa di dalam hidup ini yang tanpa makna, semua Allah turunkan dengan kebijaksanaanNya, hingga terbangnya sehelai daun tertiup angin, atau meletusnya gunung Bromo dan Merapi, juga bertemu dan berpisahnya kita dengan seseorang.

Beberapa hari terakhir ini Allah mempertemukanku dengan teman lama, bahkan sahabat yang dulu tidur dalam satu kost, dengan keadaan yang membuatku sangat prihatin.  Aneka persoalan mereka hadapi yang intinya satu, ketidak harmonisan dalam rumah tangga.  Hingga aku mengambil kesimpulan, bahwa ketika seorang wanita menikah, berarti dia telah menyerahkan nasibnya, surga dan nerakanya, pada seorang laki-laki yang disebut suami.

Temanku yang (merasa) malang, hamil di usia yang sudah kepala 4, suaminya tidak bisa menerima, dan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada istrinya.  Dia menderita lahir batin, begitulah yang dia ceritakan padaku.  Dengan tubuh yang kurus dan kandungan yang semakin membesar, dia tetap bekerja pulang pergi naik bison di kota yang panas dan jalan yang tidak rata.  Aku dan suamiku sampai kehilangan kata-kata ketika dia bercerita.  Aku ingin memeluknya, menghiburnya sebisaku, tapi aku hanya bisa mengelus perutnya dan bilang,"  Aduh, jangan sedih, berbahagialah, ini karunia Allah.  Dulu aku juga hamil di usia yang hampir empat puluh tahun, dan semuanya baik-baik saja".
" Indah, kamu lain, kamu sama Hary tu kompak, sejalan ", katanya,  membuat  aku tak bisa berkata lagi, bahkan ketika dia bercerita tentang betapa inginnya dia segera bebas dari kehamilannya ini.

Dan seperti sebuah kisah serial, beberapa hari kemudian aku dipertemukan dengan sahabatku semasa kuliah,  aku tidak akan bisa menceritakan keadaannya, terlalu parah nasib rumah tangganya. Kami ngobrol berempat, dan mereka berdua tak dapat bersandiwara sedikitpun di hadapan tamunya ini, kelihatan sekali mereka dalam suasana perang.  Sahabatku ini pernah menelponku beberapa tahun yang lalu, tentang kepedihan hatinya bersuamikan seseorang yang temperamental, dia berbicara di telepon lama sekali sampai tanganku capek memegang hp.  Tak kusangka sampai sekarang dia masih belum dapat menyelesaikan kemelut rumah tangganya.  Dan kembali aku mendapat komentar yang menyiratkan rasa irinya melihatku berdua yang katanya selalu kompak dan bahagia.

Serial itu berlanjut dan berlanjut dengan kisah yang berbeda-beda. Ada sms mampir ke hpku : Bu, apakah ganjaran bagi seorang ayah yang tidak pernah menafkahi istrinya?  Dan sungguh aku tak tahu jawabannya, karena ganjaran yang berupa pahala atau siksa hanya Allah yang mengetahuinya.

Aku bukanlah seorang yang pandai memberikan nasehat.  Tapi aku ingin sekali mengatakan pada teman dan sahabatku yang bermasalah dalam rumah tangganya untuk sejenak mengevaluasi diri,  diam, merenung. Berhentilah menyalahkan orang lain, apalagi suami.  Setiap kejadian demi kejadian dalam hidup kita membentuk suatu rangkaian sebab akibat,  mulailah mengoreksi diri sendiri dan memohon ampunan atas segala kesalahan yang pernah dibuat oleh hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita kepada Allah.  Luruskanlah niat kita dalam berumah tangga, hanya untuk mendapatkan ridhaNya, bukan untuk membuktikan kita salah atau benar, juga bukan untuk menang atau kalah.  Terimalah setiap hal baik atau buruk menurut pengamatan kita dengan ikhlas dan syukur.  Carilah hal-hal yang bisa disyukuri dalam hidup kita sekecil apapun (seperti melihat cerahnya sinar matahari) setiap hari, limpahkanlah perasaan bahagia ke dalam hati kita sebanyak mungkin.  Carilah segala sebab yang membuat kita bisa memaafkan pasangan kita.  Dendam dan sakit hati tak akan menyumbang perbaikan apapun dalam rumah tangga kita.

Cobalah sahabat, aku ingin melihat kalian bahagia. Dunia ini indah, apalagi bagi yang beristrikan bu Indah ... hahaha. Meratap tidak membuat hidup menjadi bahagia bukan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar