Jumat, 21 Agustus 2015

Antara Pepes dan Perjalanan Jiwa

Dear Allah lovers,

Kemarin di grup masak , aku membahas masalah pepes, perbedaan pepes Jawa dan Bali , berdasarkan pengalaman sebagai orang jawa yang pernah punya pembantu orang Bali.

Kataku pepes mayoritas orang jawa itu dikukus, ikannya ikan yang sudah dikukus pula (disebut ikan pindang kalau di tempatku) , sedangkan pepes bali , langsung dipanggang dan ikannya ikan segar.  Soal rasa dan kesatnya , aku lebih suka pepes bali.

Postinganku membuahkan komentar yang banyak sekali , tentang pepes di daerahnya masing-masing , sampai aku mendapat resep pepes ikan mas ala sunda yang durinya lunak yang biasanya jadi pilihanku kalau lagi ke warung ampera di Bandung.  Ternyata juga  ada pepes yang dimasukkan dalam abu yang panas di bawah tungku kayu bakar.

Tapi ealaaah, lah kok ada juga komentar yang 'sadis' , katanya jangan suka membanding bandingkan , dan jangan sembarangan bikin statement .... hahaha ... nggak punya selera humor blas nih orang, batinku. Padahal saat tinggal di Bali dan diledekin pembantu gara-gara pepesku netes netes, aku malah ketawa .

Tapi aku disini bukan mau membahas masalah pepes, tapi mau membahas soal reaksi batin kita saat ada orang berkomentar negatif.

Sering terjadi kita melakukan sesuatu dengan niat yang baik, diterima dengan baik oleh orang lain , tapi ada satu dua orang yang malah menanggapinya dengan sinis atau berkomentar menyakitkan.  Yang menjadi persoalan adalah mampukan kita menjaga hati kita untuk tetap datar menerima semua itu ?

Yang aku maksud tetap datar itu tidak ada rasa benci atau permusuhan pada saat orang lain memicunya, bahkan hati kita tetap berada dalam perasaan kasih sayang terhadap mereka.   Selengkapnya coba buka di tulisanku Olah Rasa .

Saat menghadapi hal yang menyakitkan, bila reaksi kita  jengkel dan marah , ini menunjukkan kualitas hati yang maaf , masih berada di level binatang.  Bila kita jengkel dan marah, lalu mencoba meredamnya dengan istighfar dan usaha lainnya lalu mencoba memaafkan, ini menunjukkan kita sudah manusia yang sadar. Bila tidak ada sama sekali perasaan jengkel , marah dan hati masih berkasih sayang , ini menunjukkan hati kita sudah melebihi derajad malaikat. Bila karena demikian jengkelnya, kita membalas dengan hal yang tak kalah menyakitkan, maka kita sudah berada di posisi syetan, menjadi syetan manusia , semoga Allah melindungi kita dari hal demikian.

Bila hidup itu sebuah perjalanan , maka itu adalah sebuah perjalanan jiwa , dari level terendahnya menuju level tertingginya, dengan pertolongan dan ijin Allah.

Bila hidup itu adalah pilihan , maka pilihan di tangan kita , berada di wilayah malaikat atau di wilayah yang lain.  Selanjutnya Allahlah yang membantu kita menemukan tempat yang kita pilih.

Namun manusia kadang tidak suka perjalanan dan tidak tahu pilihan dalam hidup, kuharap manusia seperti ini bukan aku atau kamu, bukan dia atau mereka.  Lantas siapa ? ... ehm ...

Salam sayang,

Innuri


2 komentar:

  1. hehehehhee kereennnn banget tulisanmu mbakyu... cuman aq juga masih manusia hahahahaa.... nek kebangeten yo mending tak hindari mawon.. dudu nganggap musuh tapi karena untuk menjaga kerusakan yg lebih parah

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah itu betul betul betul .... al quran juga bilang begitu , menjauhkan diri dari orang orang yang jahil

      Hapus