Senin, 12 Februari 2018

Memelihara Rasa

"Bagaimana rasanya sekarang?", tanyaku.
"Tadi dipakai ngangkat gelas saja sakiiit banget, kemarin habis nurunin kelapa satu truk sih, hujan-hujan lagi", jawabnya.  Gak nyambung kan?  Aku nanya bagaimana rasanya sekarang, dia jawab rasa yang tadi dia rasakan, ditambah penyebab rasa sakitnya.
"Rasanya sekarang bagaimana?", tanyaku menegaskan.
"Enakan sih", lalu dia coba mengangkat sebuah minuman air kemasan gelas, "Sudah tidak nyeri lagi, tapi masih ada rasa gak enaknya". Nah, ini baru jawaban bener.
"Baik, aku transfer lagi ya", kataku.  Lalu aku transfer energi murni lagi untuk kedua kalinya.  Setelah itu dia coba ngangkat 4 minuman aqua gelas sekaligus, dia tersenyum.
"Sudah enak, sudah 70% enak", katanya.
"Yang 30%nya istirahat", kataku.

Tahun baru kemarin aku ngobati tetangga di Ngantang yang sakit maag, mbah Tu'ah, dan mengobati sakit lutut mak Tin.  Apa yang keduanya jawab ketika aku tanya,"Bagaimana rasanya sekarang?"

Mak Tin jawab begini, " Tadi itu linuuuu disini loh, kalau dipakai nekuk susah".
Mbah Tu'ah jawab begini, "Perut itu rasanya begah dan kayak penuh gitu loh dek Nur".

Nah, kedua jawaban itu tidak nyambung dengan pertanyaanku, karena yang dia jawab adalah rasa sebelum ditransfer energi.  Setelah aku tanya lagi bagaimana rasanya sekarang, mereka jawab lebih enak, jauh lebih enak.

Yang hendak aku bahas, bukan soal transfer energi.  Tapi kebiasaan kebanyakan manusia 'mengenang' dan memelihara rasa sakit yang sudah pergi, sampai lupa mensyukuri kenikmatan yang ada saat ini, bahkan sampai melupakan kalau semuanya sudah berlalu.

Saat reuni teman kuliah kemarin juga begitu, teman-teman perempuanku asik saling bercerita, dan kebanyakan cerita adalah tentang penderitaan masa lalu, saat mengandung dan saat melahirkan anak-anak kami.  Tidak salah sih karena tidak ngrasani orang lain.  Tapi sebenarnya itu membuka 'skala prioritas' di hati dan otak masing-masing.  Ketika seseorang fokus pada penderitaan, maka yang keluar juga penderitaan.  Ketika seseorang fokus pada rasa syukur, maka yang keluar juga hal-hal yang baik saja.

Fokus hati dan pikiran akan melahirkan perkataan, perbuatan dan kenyataan.  Fokus pada penderitaan akan melahirkan penderitaan-penderitaan baru dengan beragam jenisnya.

Bercerita tentang penderitaan tapi sebagai bahan pembelajaran buat yang lain, ini tidak mengapa sih dan ada yang seperti itu ceritanya.  Semuanya bisa ketahuan kok.  Pasti takut kalau aku jujur mengaku,  bila seseorang bercerita tentang hal-hal yang menyakitkan, maka aura kelabu akan keluar darinya dan melingkupi kami semua. Aura itu akan mempengaruhi yang lain, termasuk aku, sampai aku melakukan meditasi pembersihan diri setelah kangen-kangenan dengan teman-teman.  Bahkan tanpa berceritapun, bila seseorang memendam hal negatif di dalam dirinya, dia akan menyebarkan aura negatif kepada sekelilingnya.

Karena itulah, orang-orang yang berhati baik, yang di dalam hatinya penuh kasih sayang, dia akan membuat lingkungannya terasa nyaman dan bahagia, walau dia hanya diam.  Dan orang-orang seperti ini akan didatangi hal baik-baik saja di dalam kehidupannya.  Selalu merasakan berada dalam kasih sayang Allah setiap saat adalah kuncinya.

Bagaimana denganmu sahabat?  Apa yang kamu pelihara dalam hatimu?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar