Jumat, 09 September 2011

Menyediakan Diri Untuk Membuat Orang Lain Bahagia

Membuat orang lain bahagia tentu merupakan kebaikan yang besar.  Saat kita membahagiakan orang lain tentu diri kitapun merasa bahagia, itulah kenyataan yang sering terjadi.

Apa sih yang suka kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia? Tersenyum dan menebar salam? Menolongnya saat dibutuhkan?

 "Abdullah bin 'Umar meriwayatkan, ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, "Rasulullah, siapakah yang paling dicintai Allah?", Rasulullah saw menjawab, "Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling banyak jasanya kepada orang lain. Sedangkan amal yang paling dicintai Allah adalah membahagiakan orang lain, dengan cara menolongnya dalam menghadapi masalah, membayarkan hutangnya, atau membuang rasa laparnya. Ketahuilah, berjalan bersama seseorang untuk satu keperluan, lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ku ini selama sebulan. Selain itu, orang yang mampu menahan rasa marahnya, meskipun dia mampu melampiaskannya, pada hari kiamat nanti, Allah pasti memenuhi hatinya dengan keridhaan. Sedangkan, orang yang mendampingi saudaranya untuk suatu keperluan hingga tercapai, dimana banyak kaki tergelincir, Allah pasit menetapkan kedua kakinya." (HR Abu al-Qasim al-ashfahani)

Menyediakan diri untuk membuat orang lain bahagia, dalam prakteknya ternyata menjadi resep ampuh dalam menghadapi peristiwa yang membuat kita sedih, bingung dan kecewa. Nih contoh soalnya :

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang gadis yang masih saudara dekat menginap beberapa hari di rumahku. Menginapnya 'dalam rangka' minggat dari rumah, karena sedang bertengkar dengan ibunya.  Tapi ibunya tetap mengirim dia uang melalui aku, meski lagi marahan uang itu diterimanya.  Akupun mencoba mengingatkannya ,"Masak sama uangnya mau, tapi sama orangnya gak mau", begitu kataku saat itu.  Tak kusangka tak kuduga, kata-kataku itu membuatnya marah besar dan tidak menyapaku sampai sekarang!!  Saat dia menikah, dia berpesan lewat orang lain bila aku tidak boleh datang ke pernikahannya.  Tapi saat dia punya bayi, kucoba mengirim kado buat anaknya lewat saudara, tapi tak ada respon sama sekali.

Punya musuh buatku sih gak enak banget, apalagi punya 'satru' begini. Akupun dalam hati merasa kasihan padanya, karena dengan cara tidak menyapaku selama bertahun tahun begini, apa shalatnya diterima Allah?  Karena itulah di lebaran kemarin, suamiku berusaha menjadi 'mediator' dengan meneleponnya.  Tapi apa yang terjadi ? dengan ketus dia bilang tidak mengenal  suamiku..... wk wk wk .....

Semula aku sedih juga, wong dia itu waktu balita sering tak gendong gendong, pasti aku sayang dan rindu padanya .....  Tapi akhirnya aku ikhlas saja, aku bilang pada diriku sendiri : Ya sudahlah, bila dengan tidak menyapaku membuatmu bahagia, silahkan saja.  Bila dengan membenciku membuatmu bahagia, ya okelah.  Bila dengan memelihara segala sakit hatimu padaku itu membuatmu bahagia, baiklah .... Aku maafkan dikau ....

Anehnya setelah menyediakan diri untuk membuat dia bahagia, hatiku berasa legaaa sekali, tanpa beban, ikhlas, memaafkanpun jadi mudah.  Kelihatannya aku menyediakan diri untuk 'disakiti'nya, tapi sebenarnya aku sedang membebaskan diriku sendiri dari sakit hati.

Ternyata kita bisa 'membahagiakan orang lain' dengan kebaikan kita, dengan maaf dan lapang dada kita menerima segala perlakuannnya.  Aku pikir, aku selalu membutuhkan ampunan Allah dan maaf orang lain, karenanya aku musti memaafkan orang lain.  Saat ada orang menyalahi dan menyalahi kita terus, apapun yang kita lakukan selalu salah dimatanya, bahkan aib kitapun disebarkannya, coba untuk memaafkan sampai bibir kita mengembangkan senyum ikhlas, dan hati kita 'menyediakan tempat' untuk membiarkan dia bahagia dengan keputusannya menyakiti kita.  Saat kita bisa mengambil sikap seperti ini, justru dia tak bisa menyakiti kita lagi, karena hati yang ikhlas itu tak bisa disakiti siapapun.

Sebagaimana sedekah yang 'tangan kiri tak usah melihat tangan kanan saat memberi', dalam mengambil sikap lapang dada dan memaafkan ini pun tak usah 'yang berkepentingan' mengetahuinya. Kepentingan kita adalah dengan Allah, Dia Maha tahu kebaikan hambaNya, Diapun yang membuat batin kita menjadi damai dengan keputusan kita.

Menyediakan diri untuk membuat orang lain bahagia, ternyata mampu mendamaikan batin kita dan menciptakan kebahagiaan tersendiri dan rasanya begitu ..... yummy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar