Jumat, 26 Juni 2015

Menyatu Dalam Keinginan Allah

Dear Allah lovers.

Sehubungan dengan tulisanku yang aku postkan kemarin "Prasangka baik mengalahkan doa", ada yang menyimpulkan seperti ini nih :

Bu innuri, poin yg saya tangkap dr tulisan ibu kali ini adl bahwa mari kita tanggalkan smua keinginan (hasrat) duniawi yg berlebihan, larilah ke Allah sendirian, tnpa iming2 dpet apa-apa saat sdh berada deketNYA ini semata2 utk "bercumbu rayu" dg Allah saja, begitu nggeh bu?
Nah, kesimpulan saya jadi menjalani hidup ini sebaiknya gak perlu mencatat goals (tujuan2 hidup yg ingin kita capai, entah pendidikan, karir, pasangan hidup dll), lalu pertanyaan saya skrg dimana letak ikhtiar (usaha nyata) kita sbg manusia dlm merealisasikan visi & misi hidup ini? bukankah Allah menganjurkan kita utk senantiasa ikhtiar lalu tawakal?


Bagi pembacaku yang mengikuti tulisan-tulisanku sejak awal , pasti tidak menyimpulkan seperti ini. Dan jawabanku adalah tidak untuk kesimpulan itu.

Kata "bercumbu rayu" dengan Allah, walau berada dalam tanda kutip, itu kata yang sama sekali salah.

Hubungan sesama manusia saja begitu berbeda , kedekatan  antara seorang ibu dan anak, antara sepasang suami istri, antara dua orang sahabat, semuanya berbeda baik secara interaksi atau secara emosional.  Apalagi kedekatan antara seorang hamba (yang diciptakan) dan sang khaliq (penciptanya), ini hubungan yang jauh lebih dekat dibandingkan antara sesama makhluk, tapi tidak bisa disebut 'cumbu rayu'.

Di dalam al quran, perasaan orang beriman itu disebut takut dan harap kepada Allah, dan ini perasaan yang indah sekali.

Dan soal apakah perlu punya tujuan hidup yang bersifat materi dan kaitannya dengan ikhtiar dan tawakal, aku pernah menuliskannya di tulisanku Pasrah Sejak dari Awal . Silahkan disimak dulu sebelum melanjutkan membaca tulisan ini.

Aku juga pernah menulis, orang yang putus dengan dunia, adalah seperti dua orang kekasih yang putus cinta, keduanya masih berhubungan sebagai teman, sahabat atau rekan kerja , tapi diantara keduanya sudah tidak ada rasa cinta dan ingin memiliki. Jadi orang yang putus dengan dunia, ya masih berhubungan dengan dunia, tapi tidak ada rasa cinta pada dunia.

Ketika seorang hamba sudah tidak menginginkan sesuatu selain Allah, maka dia akan 'dialiri' keinginan Allah, maka dia menyatu dalam rencana Allah  yang dalam bahasa jawa disebut manunggaling karsa kawula-gusti . Aku  pernah menulis soal ini, silahkan di search sendiri di blog ini.

Orang yang sudah putus dengan dunia, bukan orang yang  tidak punya rencana, tapi dia bekerja untuk rencana-rencana Allah, inilah yang disebut bekerja untuk Allah dan untuk bersyukur kepadaNya.

Secara kasat mata, orang-orang khusus ini bekerja seperti halnya orang lain bekerja, bedanya adalah seluruh kehidupannya punya nilai di hadapan Allah.

Orang-orang khusus inipun beribadah seperti halnya orang lain beribadah, bedanya ibadah mereka lebih berkualitas, kalimat-kalimat dalam shalat yang dihayati hingga menitikkan air mata, sujud dengan perasaan yang serendah-rendahnya di hadapan Allah, dan pembicaraan yang akrab dan dekat dengan Allah, hingga bisa merasakan jawaban Allah dalam kalimat-kalimat yang jelas yang disampaikan oleh malaikatNya.

Aku sendiri, tiap pagi ke butik, pulang siang atau sore hari, tentunya aku punya rencana untuk Cantiq butikku, ada target pesanan yang harus selesai, atau aku bakalan kena omel pelangganku. Untuk Innuri brownies juga demikian, kan musti ada target , agar usaha tetap bisa memenuhi gaji kesebelasan karyawannya. Bekerjaku lebih ke pengorganisasian dan melakukan analisa agar usaha berjalan lancar, dan inilah yang Allah inginkan untuk aku lakukan.

Bagaimana aku tahu bila ini adalah rencana Allah untukku ? sudah terjawab kan ?

Semoga tulisan ini bisa membuat lebih faham dan jelas.


2 komentar:

  1. Alhamdulillah, enggeh bu trimakasih atas penjelasannya, sgt mencerahkan, mohon maaf saya yg salah tangkap pemahamannya. Maklum pembaca baru blog'nya ibu hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak mengapa mbak yuni, syukurlah bila bisa diterima penjelasanku.

      Hapus