Kamis, 05 Mei 2011

Empat Kelompok Manusia

Sore itu sehabis maghrib, di kamar hotel tempat aku menginap selama safari pelatihan melukis kain, aku sudah segar dan cantik dengan  mukena dan Al Quran di tangan.
Aku janjian dengan ustadz Virien (dia asisten trainerku) untuk mengaji Al Quran seperti yang biasa kulakukan saat di Malang.  Bukannya segera ke depan menemui ustadzku itu, aku malah terpaku di depan televisi, seorang anak seusia Insan -anakku yang masih klas II SMP-, sedang mendorong lori. Anak itu tampak tegar walau terpaksa putus sekolah dan mencari nafkah dengan cara mendorong lori, mengantar penumpang.

Hatiku benar-benar pilu, tangan-tangan kecil itu mengerahkan segenap tenaganya demi mendapatkan uang seribu dua ribu rupiah menyusuri rel kereta api yang sudah tidak digunakan. Demi adik-adiknya tetap bisa bersekolah, demi meringankan beban orang tuanya, dia kubur jauh ke dalam bumi keinginannnya untuk tetap bersekolah.  Tentu saja aku berurai airmata.  Spontan hatiku berkata, ya Allah semoga Engkau berikan aku jalan dan kesempatan untuk membantu orang-orang dhuafa seperti mereka.

Selepas tayangan itu, akupun memunculkan diri ke depan kamar, di teras ustadz Virien sudah menungguku. Langsung saja mulutku 'menyiarkan' acara yang barusan kulihat di tivi.
" Eyang, aku habis termehek-mehek lihat anak sak Insan nyari uang dengan mendorong lori ", kataku dengan hati pilu.  Ustadz Virien tenang saja.
" Aku juga lihat kok tadi ".
" Kasihan ya....", kataku mencoba mencari teman yang sependapat, tapi malah kecele.
" Begitulah isi dunia. Ada pemimpin dengan kekuasaannya, ulama dengan ilmunya, hartawan dengan hartanya dan orang miskin dengan doanya ", kata ustadz Virien dengan tenang.
" Setiap orang berada dalam posisinya, dan tergantung mereka bagaimana menyikapi posisisnya itu ", lanjutnya.

Hmmm, kupikir benar juga, orang yang diberi kelebihan rejeki oleh Allah bisa berbuat baik karena ada orang yang kekurangan.  Allah sudah mengatur semua, hingga semua orang bisa menjalankan perannya, ikhlas atau tidak.

Ingat kata-kataku pada Allah untuk diberi kesempatan membantu orang dhuafa.  Bukankah Allah sudah memberikanku kesempatan untuk itu, dan aku menjalaninya dengan ......... ampuni aku ya Allah.

Pesantren Gubug, pesantren yang dirintis ustadz Virien, santrinya adalah anak-anak putus sekolah, lebih dari 40 santri yang berasal dari penduduk sekitar pondok, tidak semua menginap, mereka membantu orang tuanya mencari nafkah dengan mencari rumput. Pesantren itu terletak di kaki gunung, kami menyebutnya ya di gunung.  Disana ada anak lulusan SD saja sudah bagus, mungkin karena sekolah terdekat cukup jauh, berjarak 2 km yang ditempuh dengan berjalan kaki.  Untuk membekali mereka ketrampilan, ustadz Virien memintaku untuk mengajari mereka menjahit. 

Aku kesana berboncengan sepeda motor dengan diantar Yudhi karyawanku, ini untuk pertama kalinya naik gunung pakai sepeda motor, sebelumnya aku kesana selalu dengan suamiku naik mobil. Medan yang ditempuh sungguh luar biasa sulit bagiku, naik turun dengan jurang di sebelah, plus jalanan yang berbatu-batu, aspalnya sudah rusak tergerus air hujan.  Saat jalanan turun, aku harus menahan tubuhku untuk tidak melorot menimpa Yudhi, aku yang segede ini sungguh lucu bila harus berbenturan dengan Yudhi yang ceking. Pulang dari Gubug, kehujanan lagi, pantas bila  keesokkan harinya aku ga enak badan dan seharian tidur.
" Mas, aku ga mau lagi kesana naik motor, aku nunggu sampai mas bisa ngantar saja ", kataku pada suamiku.
" Siapa yang ngotot kesana sama Yudhi ", kata suamiku sambil tertawa.

Sungguh mudah mengucap janji, untuk membantu orang dhuafa dengan ilmu dan harta yang kita miliki.  Tapi untuk mewujudkannya, membutuhkan perjuangan panjang dan ketabahan yang harus dijalani dengan ikhlas. 
Allah, Ya Rabb, tiada daya dan kekuatan melainkan dengan ijinMu.  Ampuni aku yang mudah sekali berjanji meski pada diriku sendiri.  Beri aku kekuatan untuk mewujudkan semua niat dan tekatku untuk berjuang di jalanMu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar