Ini kisah nyata lagi yang bisa kita jadikan pelajaran.
Baru saja aku bertemu dengan seorang wanita saat dia bezoek ibu di rumah Ngantang. Dia punya dua macam usaha yang berjalan tapi sedang amat sangat terpuruk, bahkan rumah tangganya terancam buyar.
"Hutangku sudah M*), tiap hari ada cicilan yang musti dibayar. Bila ditotal dalam sebulan musti menyediakan uang lima puluh juta lebih, sampai sakit maag parah aku kebanyakan mikir. Pusing ...... Apa karena dulu aku terlalu berani ?", katanya.
Aku kasihan banget sebenarnya.
"Usahanya masih jalan kan?", tanyaku.
"Masih, aku ngontrak lagi untuk usaha, sebuah rumah besar yang aku jadikan outlet dan gudang, dan masih ada kamar yang aku sewakan buat mahasiswa. Semoga rumah ini bisa jadi milikku nanti".
"Memangnya dijual sama pemiliknya ?", tanyaku lugu dan dia tersenyum penuh arti. Ternyata dia telah 'menjerat' pemilik rumah itu dengan hutang, dengan harapan suatu saat hutang pemilik rumah itu numpuk hingga terpaksa menjual rumah ke dia. Waaah , ini tipu daya jenis apa lagi ?
Itulah tipe-tipe orang yang materi oriented. Dia mengejar sesuatu yang wah dengan cara apa saja, termasuk tipuan halus. Dalam membangun bisnis, keuntungan gedelah yang dicari. Aku yakin dulu dia berhutang juga dengan perhitungan di atas kertas dengan keuntungan yang terprediksi dengan matang, karena dia sarjana ekonomi. Tapi perhitungan Allahlah yang berlaku atas dirinya.
Dan inilah bedanya antara orang yang materi oriented dengan orang yang Allah oriented , seorang yang berbisnis karena Allah, dia membangun sendi-sendi kasih sayang dalam bisnisnya (prinsip bismillah). Dia tak akan tega nakalin orang lain, dan dia tidak mudah silau dengan kemewahan , bisnis yang wah, ataupun gedenya usaha.
Bila orang yang matre membesarkan usahanya karena dia ingin keuntungan yang banyak, maka orang yang Allah oriented membesarkan usahanya karena ingin mengabdi pada Allah dan bermanfaat buat orang banyak. Baginya, setiap langkah hidupnya adalah untuk mendekati Allah, meraih keridhaanNya. Bisnis menjadi ibadahnya.
Bagi orang yang matre, harta yang dia miliki adalah miliknya, yang membuat dia serakah dan silau dengan milik orang lain. Maka bagi abdi Allah, hartanya adalah milik Allah yang diamanahkan padanya hingga musti dia manage dengan baik guna dipertanggung jawabkan nanti di akhirat.
Bagi orang yang matre, hawa nafsu menemaninya dalam pengambilan keputusan, sedangkan bagi abdi Allah, Allahlah yang menemaninya. Sedang Allahlah sebaik-baik 'pembaca masa depan', sebaik-baik pemrediksi sebuah pertumbuhan usaha.
Seorang abdi Allah akan menjalankan bisnisnya penuh kebahagiaan, karena inilah persembahan terbaiknya untuk Tuhannya. Orang matre menjalankan bisnisnya dengan rasa serakah dan nafsu akan keuntungan dan kemewahan.
Ada juga orang yang setengah-setengah, maksudku matre tapi masih menyertakan Allah dalam pikirannya. Itulah yang aku sebut dalam tulisanku kemarin dengan orang yang matre tapi terbungkus dalam tampilan yang religius. Ini masih disebut matre, walau rajin shalat, dan suka menyebut asma Allah saat dia bicara. Karena yang jadi persoalan adalah orientasi hidupnya.
Bagi seorang abdi Allah, materi adalah alatnya mengabdi, bukan tujuan.
Dan saat si matre terpuruk jatuh berguling-guling, pikirannya sibuk menganalisa dengan logikanya ; wah, dulu aku lupa memasukkan unsur resiko dalam bisnis dan aku terlalu berani dalam berbisnis. Padahal letak kesalahannya adalah melupakan Allah, bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah, hingga musti mendekatiNya, memohon ampun padaNya dan memperbaiki dirinya di hadapan Allah.
Allah,
jadikan kami semua hamba-hambaMu yang Engkau cintai dan mencintaiMu.
*) M : Milyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar