Jumat, 07 Februari 2014

Ending dari Mencintai Harta

Harta, apakah itu mencintai harta, atau menjadikan harta sebagai tujuan atau ukuran kesuksesan, apalagi membawa (baca; menggiring) anak-anak dan keluarga menuju keridhaan harta (bukan keridhaan Allah). Semua itu ternyata hanya menyiapkan diri sendiri untuk terjerembab dalam permasalahan harta hingga kita tua.

Kalimat yang aku tulis di atas adalah hasil penemuanku tanpa sengaja terhadap banyak kejadian yang menimpa orang-orang di sekelilingku.  Salah satunya akan aku ceritakan disini.

Kejadian yang hendak aku ceritakan ini sudah lama sekali, menimpa sepasang kakek nenek pensiunan pegawai negri yang sudah tua.  Singkat cerita, tiba-tiba mereka berdua ditagih bank, padahal mereka tidak merasa berhutang.

Usut punya usut, ternyata salah seorang anak dan menantunya telah berkomplot  mencuri sertifikat rumah yang mereka berdua  tempati dan menggunakannya untuk berhutang ke bank, setelah itu minggat dengan meninggalkan hutang di sana sini. Otomatis para penagih meminta pertanggung jawaban ke kakek nenek yang malang tersebut.

Saat kejadian itu, aku cuma mendengar keluhan kakek nenek dan anaknya yang lain.  Mereka heran, kenapa kok sampai begitu tega membuat orang tua yang sudah renta menanggung malu dan hutang yang banyak.

Dan kesimpulanku saat itu, ternyata cobaan finansialpun berlaku kepada siapa saja tak peduli usia, biarpun di usia tua yang mestinya diisi dengan ibadah mencari bekal mati, tetap saja terkena cobaan bila Allah menghendaki.

Itu adalah kesimpulanku dulu. Sekarang, dengan berkaca pada pengalaman orang-orang di sekelilingku, kesimpulanku jadi bertambah dan berkembang (kalau berkembang namanya jadi pembahasan 'kali, bukan kesimpulan ... hehehe).

Bila kurenungkan, kakek nenek yang aku ceritakan itu memang 'materi oriented' tapi terbungkus dalam tampilan yang santri.  Dari pembicaraan mereka sebelumnya yang pernah aku dengar, mereka memang mengukur kesuksesan anak-anaknya dari hal-hal yang sifatnya duniawi.

Padahal ini sudah umum di masyarakat,  hampir setiap orang tua menginginkan  anak-anak mereka punya pekerjaan  mapan, gaji besar, rumah dan mobil bagus. Dan setiap orang tua pasti membanggakan pencapaian anak-anaknya akan materi dan duniawi. Tapi disinilah letak bahayanya, karena kita ini makhluk Allah, bukan makhluk materi.  Saat kita bertujuan (baca; menghamba) pada materi, detik inilah tanpa disadari kita ini sedang menduakan Allah.  Dan balasannya adalah azab yang pedih.

Azab para pecinta adalah ditinggalkan yang dicintai, bila yang dicintai materi, ya materi itulah yang akan mengazabnya.  Kecuali cinta kita kepada Allah.

Seorang pecinta materi bisa jadi terbungkus dalam penampilan yang religius, terkadang juga dia sendiri tidak menyadari bahwa dia sedang menduakan Allah dengan materi.  Semoga Allah melindungiku dan kalian semua dari hal seperti ini.

Tandanya seorang pecinta materi yang bungkusnya religius yaitu, tujuan hidup yang terpateri di hati mereka adalah materi, sementara mereka menempatkan Allah, ibadah dan doa-doa mereka untuk memperlancar datangnya materi.  Posisi Allah di mata mereka mirip sebagai katalisator dalam sebuah reaksi kimia, yang mempercepat reaksi tapi tidak ikut bereaksi. Semua ini kadang tersirat dalam pembicaraan mereka.

Ciri lainnya, mereka gemar menghitung-hitung, dan mengukur pencapaian diri sendiri dengan jumlah materi yang banyak.  Mereka mengamati pergerakan saldo tabungan yang kalau saldonya banyak mereka merasa tenang, dan juga jumlah investasi yang telah mereka miliki.

Biasanya mereka juga pelit, tapi tak selalu pelit, bila mereka bersedekah, tujuan sedekahnya untuk dibalas Allah dengan balasan yang lebih besar, mereka berhitung dengan Allah.

Sahabat,
Ceritaku tadi, hanyalah sebuah pelajaran sebagai pengingat diri sendiri dan kalian semua, agar kembali kepada Allah.

Aku mau ngingetin, tugas sebagai orang tua adalah mengantarkan anak-anak kita kepada Allah, mengEsakanNya, menjadikan Allah sebagai tujuan satu-satunya dalam hidup.  Melepas segala belenggu kecintaan terhadap dunia.

Ini memang tidak mudah, tapi bukankah sesuatu yang berharga hanya bisa diperoleh dengan penuh perjuangan ?

Banyak aku menyaksikan perpecahan dan persoalan pelik di dalam keluarga yang sumbernya adalah kecintaan akan materi. Seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan. mencintai materi, tapi membuat mereka ditinggalkan materi dan dibelenggu dengan persoalan materi.

Sayang sekali seandainya sampai tuapun masih saja dibelenggu persoalan finansial.  Jalan satu-satunya adalah mengembalikan fungsi materi sebagai alat mengabdi kepada Allah, bukan tujuan.

Ayo sahabat,
Bawa diri kalian dan keluarga kalian menuju keridhaan Allah.  Teriring doa bagi yang sedang mendapat ujian, agar kembali kepada Allah.



7 komentar:

  1. Terima kasih Bu Innuri.Tulisan tuisannya selalu mencerahkan.Jd kalau bacanya makjleb

    BalasHapus
  2. Salut, bu Indah, ...smg kita slalu ada dijalan Allah. Aamiin

    BalasHapus
  3. Terima kasih tulisannya bu Indah. tanpa sengaja tujuan hidup kita berjalan sesuai dg materi oriented! Karena merasa dihargai jika banyak punya materi. Atagfirullah ...

    BalasHapus