Rabu, 15 Juni 2011

Alam Yang Kukenal

Seorang sahabat menanggapi postingku "Ke Arah Mana Alam Berfihak", beliau mengatakan bahwa bencana alam tak pandang bulu, baik orang tulus atau tidak, semua akan disapu.....

Aku amat menghargai pendapatnya dan memang tidak salah sih... cuma membuatku ngeri, karena....

Ingat masa kecilku sebagai anak desa yang akrab dengan alam.
Salah satu kesukaanku adalah menyaksikan matahari sore yang perlahan tenggelam, menyisakan biasan merah kelabu di langit senja, indah sekali. Rasanya hampir tiap ada kesempatan untuk 'manggung', maksudku berada di kamar lotengku, aku selalu menunggu saat-saaat indah itu.  Dari jendela kamar di lantai atas, aku bisa melihat pepohonan dan gunung, berlatar belakang langit merah, perlahan pepohonan itu berubah menjadi siluet kelabu seiring turunnya malam.
Aku suka 'bicara' pada mereka.  Mungkin kedengarannya aneh dan tak biasa, aku sering bercerita kepada mereka tentang apa saja dan aku merasakan bahwa mereka mengerti....

Seiring bertambahnya usia, kedekatanku dengan alam juga mengalami metamorfosis, bukan lagi dengan gaya bercerita yang melankolis ala anak usia belasan.
Belakangan aku suka sekali mendoakan alam, menyatukan perasaan dengan mereka, seolah merasakan 'detak jantung' mereka.  Aku merasa, alam adalah sahabat yang amat tulus,  hamba Allah yang teramat patuh dan juga teman yang yang bisa dipercaya.

Mungkin kedengarannya mengada-ngada, apalagi bagi orang yang biasa berpikir realistis dan hanya menilai sesuatu dari yang tampak.... Tapi beginilah adanya, ilmu Allah itu luas sekali, bila kita hanya bisa melihat sesuatu dalam jangkauan kita, bukan berarti sesuatu itu tidak ada, hanya pandangan kitalah yang terbatas.

Aku menyadari bahwa pada akhirnya, titik terakhirku adalah berada dalam pelukan alam.  Pada bumi dan alam, Allah mempercayakan jazad manusia sebagai ciptaanNya yang paling sempurna.  Tak ada salahnya mulai menjalin persahabatan dengan mereka hingga sekarang.
Bila kita renungkan, alam sungguh telah memberi banyak hal kepada kita setiap hari, mulai dari udara, makanan, keindahan, kehidupan... kepada kita. Banyak hal dia beri, rasanya tak sebanding dengan 'kemarahan'nya.
Bencana alam, yang kadang kita sebut sebagai alam yang marah, sebenarnya dia hanyalah sedang menjalani sunatullah, hukum-hukum Allah yang telah ditetapkanNya di alam semesta.  Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa hutan yang gundul akan memicu terjadinya longsor dan banjir. Selain itu banyak orang tidak (mau) mengerti bahwa dosa-dosa manusia ikut memberikan 'sumbangan' yang besar akan terjadinya bencana alam.

Indah kecil yang suka membaca, pernah begitu kagum dengan ajaran Islam yang begitu mempedulikan alam.  Contohnya, ada hadist yang melarang kita membiarkan tanah kosong tanpa ditanami, harus ditebar benih, agar bisa menjadi makanan burung... konsep yang begitu indah bukan?  Saat dalam masa peperangan juga dilarang menebang pohon atau menghancurkan tanaman, dan masih banyak lagi ajaran Islam yang menganjurkan kita untuk menjaga alam.

Di masa sekarang, yang membuatku sering prihatin adalah banyaknya perumahan, ruko, mall yang dibangun, tapi tidak menyisakan tanah untuk meresapnya air dan bernafasnya bumi. Idealnya tiap rumah/bangunan menyisakan 30% tanah untuk taman.  Tapi yang kita lihat sekarang, orang lebih suka memasang paving di halaman rumahnya dan menanam tanaman di pot.  Akibatnya air kehilangan tempat meresap, lalu membanjiri manusianya juga.

Tak banyak yang bisa kulakukan untuk alam, yang aku bisa adalah memulainya dari diri sendiri, dari rumahku sendiri.

Saat aku SMA, aku bersekolah di Batu, hanya seminggu sekali pulang ke rumah orang tuaku di Ngantang.  Perjalanan dari Ngantang ke Batu dan sebaliknya, melewati pemandangan yang indah, membentang di kanan kiri bukit hijau dengan dihiasi liukan sungai Konto yang berbatu-batu. Saat itu tak pernah terjadi banjir, sesekali saja ada longsor dari bukit di sebelah jalan.

Sekarang keadaan amat berbeda, pepohonan di bukit banyak ditebang untuk dijadikan ladang.  Banjir dan longsorpun semakin sering, hingga memakan korban rumah, ladang dan nyawa manusia.
Saat aku pulang ke Ngantang, aku hanya bisa berdoa semoga Allah membuka hati penduduk dan semua fihak yang terkait untuk menjaga alam tetap lestari.

Walaupun aku bukan muslim yang amat memahami Al Qur'an, baru belajar sih .... Tapi dari kisah-kisah dalam  Al Qur'an yang kubaca, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang beriman itu adalah orang yang diselamatkan dan dibahagiakan hidupnya oleh Allah sejak di dunia ini hingga di akhirat nanti.

Ambillah contoh kisah Nabi Luth. Sebelum azab menimpa kaumnya, Nabi Luth terlebih dahulu diberitahu agar beliau membawa keluarga dan pengikutnya yang beriman untuk pergi dari daerah yang bakalan tertimpa bencana.  Demikian juga kisah banjir N Nuh, bukankah Allah menyelamatkan pengikut N Nuh dalam kapal besar yang membawa mereka ke tanah baru yang penuh harapan?  Banyak contoh lain dan banyak sekali kalimat yang melukiskan bahwa kebahagiaan manusia yang beriman itu sudah dimulai sejak di  dunia ini, demikian pula sebaliknya bagi mereka yang ingkar, kepedihan sudah dimulai sejak di dunia ini.

Disaat sekarang, kita sering melihat bagaimana keajaiban bekerja pada orang-orang beriman di saat terjadinya bencana alam.
Pernah kusaksikan di televisi, kisah nyata tentang sekelompok pemuda dengan ustadznya terselamatkan dari tsunami.  Saat itu serombongan remaja bersama ustadz pembimbingnya sedang rekreasi di pantai, mendadak air pantai surut dan gelombang besar setinggi rumah datang, siap menyapu pantai.  Untungnya tak jauh dari situ, ada mobil yang sedang parkir di depan rumah penduduk.  Pak Ustadz bersama rombongannya segera menaiki mobil itu berikut si empunya rumah yaitu sang pemilik mobil.  Dengan kecepatan tinggi mereka segera menuju ke tempat yang aman.
Saat mereka sampai di dataran yang lebih tinggi, semua dibuat heran oleh kenyataan bahwa mobil yang mereka kendarai itu tidak ada bannya!!!  Pemilik mobil juga bilang, itu mobil rusak yang tidak ada bahan bakarnya.......  Bagaimana bisa sebuah mobil mangkrak mengangkut begitu banyak orang dengan kecepatan tinggi dan jarak yang tidak bisa dibilang dekat??  Hanya kekuasaan Allahlah jawabannya.

Beberapa bulan yang lalu, saat terjadi tsunami dan kebocoran reaktor nuklir di Jepang, aku juga mendengar kisah yang mengharukan dari seorang pelangganku. Beliau mempunyai seorang putri yang mengikuti suaminya bekerja di Jepang.  Sebelum tsunami, pasangan itu sedang berada di Indonesia untuk cuti, menjelang kepulangan yang sudah direncanakan, mereka menemui halangan sehingga tidak bisa kemballi ke Jepang sesuai jadwal. Lalu terjadilah tsunami yang mengguncang Jepang dan dunia.  Pelangganku itu bilang, bila saja mereka berdua pulang hari itu, mungkin mereka bisa menjadi korban karena tempat tinggal mereka tak jauh dari lokasi bencana.  Tak henti-hentinya pelangganku itu memuji kebesaran Allah.  Beliau bercerita tentang kebiasaan putrinya membaca surat tertentu di Al Qur'an setiap hari, menurutnya itulah yang membuat Allah melindungi dan menyelamatkan mereka.

Nasib kita di akhirat memang tidak ditentukan oleh cara kita mati.  Belum tentu orang yang meninggal di saat bencana adalah orang yang tidak beruntung.
Namun berbaik sangka kepada Allah dan kepada alam tak ada ruginya bukan?   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar