15 january 2012
Ini hari minggu, rekreasi bareng karyawan ke Balekambang.
Sebenarnya aku sudah beberapa kali ke pantai ini, tapi terakhir kalinya entah berapa tahun yang lalu .... sebelum Alni lahir 'kali..... lama yaa.
Begitu menginjakkan kaki di pasir putihnya, hatiku terpesona.... pasir yang bersih, air yang jernih, ombak yang lembut, dan kebahagiaan bisa bersama orang-orang yang kucintai, mas Hary, Alni, dan sebagian karyawan yang ikut rekreasi tahunan kali ini.
Disini pantainya bagus .... tapi banyak pedagang asongan yang kadang mengganggu juga, karena agak memaksa sih.... ," tolonglah bu, buat penglaris ", katanya. Aku yang gampang kasihan ya beli juga akhirnya, dan yang kecapean bawa belanjaanku yaaa.... karyawanku...hehehe. Lha wong beli pisangnya satu tandan, salak sak tas kresek .... hehehe, maksudku kan untuk dinikmati rame-rame.
Ingat pedagang asongan, jadi ingat pertemuanku dengan pedagang asongan 'bila aku menjadi' di Parangtritis belum lama ini. Ceritanya kan gara-gara Aden dan Zeli gak mudik, aku yang ngalah ke Bandung dan Yogya, tentu saja sama mas Hary, Insan, Alni dan Windy.karyawanku.
Di Yogya menyempatkan diri ke pantai Parangtritis, pas sedang asik menikmati 'pemandangan' Alni dan Insan yang asik bermain pasir, Windy menunjuk seseorang di kejauhan, rupanya seorang pedagang asongan.
"Bunda, itu kan orang yang pernah kulihat di acara Bila Aku Menjadi ", kata Windy, lalu tanpa kuminta, Windy bercerita bagaimana kehidupan pedagang asongan itu, bagaimana dia memasak sendiri dagangannya dengan bumbu seadanya lalu menjualnya sendiri di pantai ini. Cerita Windy membuatku mendekati perempuan itu.
Perempuan itu sudah tua, kira-kira berusia diatas 70 tahun, kulit wajahnya berwarna sawo matang dan penuh kerutan. Dagangannya amat sangat tidak menarik, ada rempeyek kedelai hitam, rempeyek udang kecil kecil dan kacang tanah sangrai yang masih ada kulitnya. Kubeli masing-masing item itu satu satu dan kubayar dengan uang limapuluhribuan tanpa minta kembalian. Nenek itu berterima kasih, matanya menyiratkan perasaan gembira .... melihat wajah tua itu berbinar, hatiku turut bahagia.
"Bunda, ini rempeydk serangga ...", Windy mengamati rempeyek yang kutawarkan padanya. Akupun membolak balik rempeyek itu dan Windy benar, ini serangga kecil-kecil dengan sayap hitam sehingga mirip kedelai hitam... oh, baru sekarang aku makan rempeyek serangga !!!
Rasa masakan si nenek memang sama sekali tidak enak, selain penampilannya yang tidak menarik, bahkan minyak gorengnya terasa serik di tenggorokan, tapi aku memakannya juga, dengan cara ini aku ingin menghargai kerja keras si nenek seperti yang diceritakan Windy. Kacang garingnya juga tengik dan aku memakannya juga..... Rakus ya Indah? Bukan, aku hanya ingin menghargai kerja keras si nenek, sesekali aku ingin menikmati makanan orang yang kehidupannya begitu sederhana. Dan aku merasa malu hati ..... aku yang dimanja Allah hingga bisa makan makanan apa saja tanpa sakit dan tanpa memikirkan bisa beli apa tidak .... Aku yang masih suka makan diluar sementara di rumah sudah tersedia makanan.
Makanya Rasulullah melarang kita mencela makanan, karena kita musti menghargai serangkaian proses yang membawa makanan itu ke hadapan kita.
Tahukah rasanya makan rempeyek serangga ? Rasa di lidahnya tidak enak sih .... tapi tahukah rasanya di hati kita? Bila hati punya mata, maka dia sudah meneteskan air ...
Kubayangkan bagaimana si nenek menangkap serangga yang begitu kecil-kecil.... serangga yang biasanya lincah beterbangan. Kubayangkan bagaimana tangan tua itu menghaluskan bumbu, lalu menggorengnya di atas bara api kayu, satu persatu. Nenek itu lalu membungkusnya dalam plastik transparan, lalu menggendongnya, menjajakannya hingga sampai ke hadapanku ....
Rempeyek itu bukan berbumbu bawang putih atau ketumbar, rempeyek itu bukan digoreng di atas bara api kayu bakar. Tapi rempeyek itu berbumbu perjuangan seorang wanita tua yang memelihara diri dari meminta-minta, hingga memilih berjuang sendirian di atas nyala harapan di usia senjanya....
Oh nenek.... kau membuatku mengerti mengapa Rasulullah menyantap hidangan yang disediakan Aisyiah dengan lahap, meskipun Aisyiah lupa membubuhkan garam. Saat Aisyiah menyadari kesalahannya, beliau yang mulia berkata ," Garamnya adalah kamu, karena kamu yang telah memasaknya ".
Betapa lembut hati lelaki yang paling mulia itu....... Beliau memberi contoh bagaimana cara menghargai sebuah proses, dan bukan hasil akhir .....
Ini hari minggu, rekreasi bareng karyawan ke Balekambang.
Sebenarnya aku sudah beberapa kali ke pantai ini, tapi terakhir kalinya entah berapa tahun yang lalu .... sebelum Alni lahir 'kali..... lama yaa.
Begitu menginjakkan kaki di pasir putihnya, hatiku terpesona.... pasir yang bersih, air yang jernih, ombak yang lembut, dan kebahagiaan bisa bersama orang-orang yang kucintai, mas Hary, Alni, dan sebagian karyawan yang ikut rekreasi tahunan kali ini.
Disini pantainya bagus .... tapi banyak pedagang asongan yang kadang mengganggu juga, karena agak memaksa sih.... ," tolonglah bu, buat penglaris ", katanya. Aku yang gampang kasihan ya beli juga akhirnya, dan yang kecapean bawa belanjaanku yaaa.... karyawanku...hehehe. Lha wong beli pisangnya satu tandan, salak sak tas kresek .... hehehe, maksudku kan untuk dinikmati rame-rame.
Ingat pedagang asongan, jadi ingat pertemuanku dengan pedagang asongan 'bila aku menjadi' di Parangtritis belum lama ini. Ceritanya kan gara-gara Aden dan Zeli gak mudik, aku yang ngalah ke Bandung dan Yogya, tentu saja sama mas Hary, Insan, Alni dan Windy.karyawanku.
Di Yogya menyempatkan diri ke pantai Parangtritis, pas sedang asik menikmati 'pemandangan' Alni dan Insan yang asik bermain pasir, Windy menunjuk seseorang di kejauhan, rupanya seorang pedagang asongan.
"Bunda, itu kan orang yang pernah kulihat di acara Bila Aku Menjadi ", kata Windy, lalu tanpa kuminta, Windy bercerita bagaimana kehidupan pedagang asongan itu, bagaimana dia memasak sendiri dagangannya dengan bumbu seadanya lalu menjualnya sendiri di pantai ini. Cerita Windy membuatku mendekati perempuan itu.
Perempuan itu sudah tua, kira-kira berusia diatas 70 tahun, kulit wajahnya berwarna sawo matang dan penuh kerutan. Dagangannya amat sangat tidak menarik, ada rempeyek kedelai hitam, rempeyek udang kecil kecil dan kacang tanah sangrai yang masih ada kulitnya. Kubeli masing-masing item itu satu satu dan kubayar dengan uang limapuluhribuan tanpa minta kembalian. Nenek itu berterima kasih, matanya menyiratkan perasaan gembira .... melihat wajah tua itu berbinar, hatiku turut bahagia.
"Bunda, ini rempeydk serangga ...", Windy mengamati rempeyek yang kutawarkan padanya. Akupun membolak balik rempeyek itu dan Windy benar, ini serangga kecil-kecil dengan sayap hitam sehingga mirip kedelai hitam... oh, baru sekarang aku makan rempeyek serangga !!!
Rasa masakan si nenek memang sama sekali tidak enak, selain penampilannya yang tidak menarik, bahkan minyak gorengnya terasa serik di tenggorokan, tapi aku memakannya juga, dengan cara ini aku ingin menghargai kerja keras si nenek seperti yang diceritakan Windy. Kacang garingnya juga tengik dan aku memakannya juga..... Rakus ya Indah? Bukan, aku hanya ingin menghargai kerja keras si nenek, sesekali aku ingin menikmati makanan orang yang kehidupannya begitu sederhana. Dan aku merasa malu hati ..... aku yang dimanja Allah hingga bisa makan makanan apa saja tanpa sakit dan tanpa memikirkan bisa beli apa tidak .... Aku yang masih suka makan diluar sementara di rumah sudah tersedia makanan.
Makanya Rasulullah melarang kita mencela makanan, karena kita musti menghargai serangkaian proses yang membawa makanan itu ke hadapan kita.
Tahukah rasanya makan rempeyek serangga ? Rasa di lidahnya tidak enak sih .... tapi tahukah rasanya di hati kita? Bila hati punya mata, maka dia sudah meneteskan air ...
Kubayangkan bagaimana si nenek menangkap serangga yang begitu kecil-kecil.... serangga yang biasanya lincah beterbangan. Kubayangkan bagaimana tangan tua itu menghaluskan bumbu, lalu menggorengnya di atas bara api kayu, satu persatu. Nenek itu lalu membungkusnya dalam plastik transparan, lalu menggendongnya, menjajakannya hingga sampai ke hadapanku ....
Rempeyek itu bukan berbumbu bawang putih atau ketumbar, rempeyek itu bukan digoreng di atas bara api kayu bakar. Tapi rempeyek itu berbumbu perjuangan seorang wanita tua yang memelihara diri dari meminta-minta, hingga memilih berjuang sendirian di atas nyala harapan di usia senjanya....
Oh nenek.... kau membuatku mengerti mengapa Rasulullah menyantap hidangan yang disediakan Aisyiah dengan lahap, meskipun Aisyiah lupa membubuhkan garam. Saat Aisyiah menyadari kesalahannya, beliau yang mulia berkata ," Garamnya adalah kamu, karena kamu yang telah memasaknya ".
Betapa lembut hati lelaki yang paling mulia itu....... Beliau memberi contoh bagaimana cara menghargai sebuah proses, dan bukan hasil akhir .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar