Sejak kecil aku terbiasa dengan perbedaan antara NU-Muhammadiyah. Ayahku Muhammadiyah, sedangkan guru ngajiku NU, guru agama di SD juga NU. Saat kecil aku juga suka tiba'an, itu tuh membaca shalawat nabi yang dilagukan. Ayahku sendiri tak pernah mempersoalkan aku Muhammadiyah apa NU, akupun tak pernah mendengar ayah membicarakan tentang perbedaan antara kedua organisasi ini.
Tapi mungkin karena di rumah banyak buku-buku yang ditulis ulama Muhammadiyah, aku jadi lebih Muhammadiyah. Biarpun begitu, aku punya toleransi yang besar terhadap orang-orang NU, termasuk terhadap karyawan-karyawanku yang warga nahdiyin. Karenanya ustadz atau ustadzah yang memberi kajian ke karyawan juga dari NU.
Dulu sewaktu ustadz Virien masih sempat memberi kajian, aku suka ikut mendengarkan. Dan apa yang terjadi ? .... hmmm...... bila beliau selesai, aku menghujaninya dengan sms yang isinya memprotes kajiannya yang kataku tidak ada dasar hukumnya di al qur'an dan hadits !!!
Contohnya waktu dia bilang soal wanita haidh yang harus menyimpan rambutnya yang rontok untuk ikut dikeramas waktu haidhnya selesai , juga soal shalat sunah macem-macem (shalat tolak bala dll dll) yang tidak ada dasar hukumnya yang jelas ...... Hampir setiap dia selesai memberi kajian, aku memprotesnya bertubi-tubi....
Mungkin karena dia karyawanku dan masih muda pula, aku bisa ngomong semaunya . Lalu aku membuat kesepakatan dengannya, bahwa apapun yang dia sampaikan ke karyawan, harus ada dasar hukumnya di al qur'an dan hadits sahih. Setelah deal ini, barulah hatiku merasa tenang .
Tapi ustadzku yang satu ini secara perlahan-lahan mempengaruhiku juga, hingga aku akhirnya menjadi orang yang gak jelas NU apa Muhammadiyah ... hehehe... biarin ah, tak jadi orang Islam saja yang berpedoman pada al qur'an dan hadits ...... kan di akhirat nanti kita gak bakalan ditanya NU apa Muhammadiyah.... ya kan?
"Aku ini Islam bunda, aku masuk NU karena aku berdakwah disana. Bunda tahu kan, orang-orang NU kadang terlalu mengkultuskan kiainya, gak peduli kiainya salah atau benar. Mereka bisa marah demi membela seorang kiai, padahal yang semestinya kita bela kan Islamnya. Di kalangan NU, aku ini dibilang NU mbalelo ", kata eyang Virien pada suatu kesempatan.
Di kesempatan yang lain, dia bercerita padaku bagaimana orang-orang NU memutuskan perkara dalam agama. Katanya orang-orang NU berpedoman pada para salafus shaleh, generasi yang terdekat dengan Nabi dan dia bercerita panjang, lebar dan dalam ........ Membuatku mengerti mengapa NU dan Muhammadiyah berbeda.
Sebenarnya yang prinsip kan tidak berbeda, Tuhannya Allah, Nabinya Muhammad, dan pedomannya Al Qur'an dan Hadits.
"Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari itu gurunya sama. Tugasnya saja yang berbeda, kiai Ahmad Dahlan bertugas di daerah perkotaan, sedang Kiai Hasyim Asyari tugasnya di pedesaan. Makanya pendekatan yang beliau berdua lakukan berbeda, sesuai dengan target dakwah mereka", kata ustadz Virien suatu hari. Pernyataannya yang satu ini membuatku faham .....
Ingat waktu aku diajak bu lurah ikut pengajian NU ke balai desa, aku merasa asing dan aneh, disini tidak demokratis sama sekali, tidak ada kesempatan bertanya dan pak kiainya selalu bilang," Semua ada kitabnya". Aduh, aku rasa 'gatal-gatal' deh, kitab apa? sebutin dong? biar kita juga bisa baca....
Rupanya memang pendekatan yang dilakukan untuk orang desa ya seperti itu, mereka mendengar, percaya dan mematuhinya, selalu 'inggih' (ya).... Dan mereka kebanyakan tidak suka membaca, jadi ya gak perlu disampaikan referensinya.
Berlainan dengan pengajian ahad paginya orang Muhammadiyah, nara sumbernya orang-orang intelek dengan sederet titel. Cara penyampaiannya sistematis dan ilmiah, di bagian akhir ada sesi tanya jawab dan bila nara sumbernya keliru kita bisa memprotesnya ....... Lha wong yang diceramahi juga orang-orang pinter. Kubayangkan bila cara seperti ini diterapkan ke orang-orang desa, mereka pasti gak ngerti bahkan bingung semua, atau malah kabur semua ....hahaha.
Aku pernah punya pengalaman yang membuatku sadar bahwa NU-Muhammadiyah itu saling membutuhkan, saling isi mengisi. Saat itu anakku Insan sakit yang secara medis tidak ditemukan penyakitnya, aku nurut saja diajak eyang ke Kiai. Sama pak Kiai dibawain air putih yang tiap hari dibacakan al qur'an oleh ratusan santrinya, lalu beliau menyuruh membawa Insan ke ustadz Bambang untuk diru'yah.
Setelah bertemu ustadz Bambang, baru kutahu beliau ini orang Muhammadiyah !!! lalu beliau bercerita bahwa persoalan seperti ini di Muhammadiyah tidak ada jawabannya ..... hmm... kan?? untungnya saat itu aku sudah tidak terlalu Muhammadiyah .... hehehe....
catatan :
Tulisan ini kubuat agar kita bisa menghargai perbedaan. Tulisan yang terkait dengan perbedaan ada di artikel "Disakiti di jalanNya 2 : Caraku Menempatkan Ayat"
"Sunan Giri dan Aku"
"Obat Termujarab Di Saat Gundah"
Tapi mungkin karena di rumah banyak buku-buku yang ditulis ulama Muhammadiyah, aku jadi lebih Muhammadiyah. Biarpun begitu, aku punya toleransi yang besar terhadap orang-orang NU, termasuk terhadap karyawan-karyawanku yang warga nahdiyin. Karenanya ustadz atau ustadzah yang memberi kajian ke karyawan juga dari NU.
Dulu sewaktu ustadz Virien masih sempat memberi kajian, aku suka ikut mendengarkan. Dan apa yang terjadi ? .... hmmm...... bila beliau selesai, aku menghujaninya dengan sms yang isinya memprotes kajiannya yang kataku tidak ada dasar hukumnya di al qur'an dan hadits !!!
Contohnya waktu dia bilang soal wanita haidh yang harus menyimpan rambutnya yang rontok untuk ikut dikeramas waktu haidhnya selesai , juga soal shalat sunah macem-macem (shalat tolak bala dll dll) yang tidak ada dasar hukumnya yang jelas ...... Hampir setiap dia selesai memberi kajian, aku memprotesnya bertubi-tubi....
Mungkin karena dia karyawanku dan masih muda pula, aku bisa ngomong semaunya . Lalu aku membuat kesepakatan dengannya, bahwa apapun yang dia sampaikan ke karyawan, harus ada dasar hukumnya di al qur'an dan hadits sahih. Setelah deal ini, barulah hatiku merasa tenang .
Tapi ustadzku yang satu ini secara perlahan-lahan mempengaruhiku juga, hingga aku akhirnya menjadi orang yang gak jelas NU apa Muhammadiyah ... hehehe... biarin ah, tak jadi orang Islam saja yang berpedoman pada al qur'an dan hadits ...... kan di akhirat nanti kita gak bakalan ditanya NU apa Muhammadiyah.... ya kan?
"Aku ini Islam bunda, aku masuk NU karena aku berdakwah disana. Bunda tahu kan, orang-orang NU kadang terlalu mengkultuskan kiainya, gak peduli kiainya salah atau benar. Mereka bisa marah demi membela seorang kiai, padahal yang semestinya kita bela kan Islamnya. Di kalangan NU, aku ini dibilang NU mbalelo ", kata eyang Virien pada suatu kesempatan.
Di kesempatan yang lain, dia bercerita padaku bagaimana orang-orang NU memutuskan perkara dalam agama. Katanya orang-orang NU berpedoman pada para salafus shaleh, generasi yang terdekat dengan Nabi dan dia bercerita panjang, lebar dan dalam ........ Membuatku mengerti mengapa NU dan Muhammadiyah berbeda.
Sebenarnya yang prinsip kan tidak berbeda, Tuhannya Allah, Nabinya Muhammad, dan pedomannya Al Qur'an dan Hadits.
"Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari itu gurunya sama. Tugasnya saja yang berbeda, kiai Ahmad Dahlan bertugas di daerah perkotaan, sedang Kiai Hasyim Asyari tugasnya di pedesaan. Makanya pendekatan yang beliau berdua lakukan berbeda, sesuai dengan target dakwah mereka", kata ustadz Virien suatu hari. Pernyataannya yang satu ini membuatku faham .....
Ingat waktu aku diajak bu lurah ikut pengajian NU ke balai desa, aku merasa asing dan aneh, disini tidak demokratis sama sekali, tidak ada kesempatan bertanya dan pak kiainya selalu bilang," Semua ada kitabnya". Aduh, aku rasa 'gatal-gatal' deh, kitab apa? sebutin dong? biar kita juga bisa baca....
Rupanya memang pendekatan yang dilakukan untuk orang desa ya seperti itu, mereka mendengar, percaya dan mematuhinya, selalu 'inggih' (ya).... Dan mereka kebanyakan tidak suka membaca, jadi ya gak perlu disampaikan referensinya.
Berlainan dengan pengajian ahad paginya orang Muhammadiyah, nara sumbernya orang-orang intelek dengan sederet titel. Cara penyampaiannya sistematis dan ilmiah, di bagian akhir ada sesi tanya jawab dan bila nara sumbernya keliru kita bisa memprotesnya ....... Lha wong yang diceramahi juga orang-orang pinter. Kubayangkan bila cara seperti ini diterapkan ke orang-orang desa, mereka pasti gak ngerti bahkan bingung semua, atau malah kabur semua ....hahaha.
Aku pernah punya pengalaman yang membuatku sadar bahwa NU-Muhammadiyah itu saling membutuhkan, saling isi mengisi. Saat itu anakku Insan sakit yang secara medis tidak ditemukan penyakitnya, aku nurut saja diajak eyang ke Kiai. Sama pak Kiai dibawain air putih yang tiap hari dibacakan al qur'an oleh ratusan santrinya, lalu beliau menyuruh membawa Insan ke ustadz Bambang untuk diru'yah.
Setelah bertemu ustadz Bambang, baru kutahu beliau ini orang Muhammadiyah !!! lalu beliau bercerita bahwa persoalan seperti ini di Muhammadiyah tidak ada jawabannya ..... hmm... kan?? untungnya saat itu aku sudah tidak terlalu Muhammadiyah .... hehehe....
catatan :
Tulisan ini kubuat agar kita bisa menghargai perbedaan. Tulisan yang terkait dengan perbedaan ada di artikel "Disakiti di jalanNya 2 : Caraku Menempatkan Ayat"
"Sunan Giri dan Aku"
"Obat Termujarab Di Saat Gundah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar