Banyak diantara kita yang memboroskan energi untuk sesuatu yang telah berlalu, bak berjalan dengan kaki tertambat bola besi. Mampukah kita berlari? sedang untuk berpindah posisi saja membutuhkan energi yang lebih besar.
Masih bagus bila masa lalu yang kita kenang masih bisa diambil hikmahnya, tapi bila mengenang masa lalu hanya akan menambah kesedihan di hati kita, pikir-pikir lagi deh...... masih perlukah mengenang dan merindukan masa lalu? atau masih perlukan mengenang orang-orang dari masa lalu?
Mungkin itulah yang terjadi padaku ketika secara emosional 10 orang karyawanku memutuskan mengundurkan diri dari Cantiq setelah mereka mogok kerja selama seminggu. Hatiku disiksa oleh cintaku pada mereka dan kenangan akan kebersamaan yang indah selama bertahun-tahun.
Sehari setelah kedatanganku dari Bandung mereka menemuiku, dengan didampingi ustadz Virien aku menjelaskan kepada mereka semua yang terjadi di butik, mengenai alasanku menaikkan gaji dua orang temannya yang bekerja di level management. Kenaikan gaji inilah yang memicu sikap tidak terima mereka, mereka menuntut untuk dinaikkan juga gajinya.
Kupikir sudah tidak ada lagi gunanya menuruti permintaan mereka, bila mereka sudah tak lagi bekerja dengan ketulusan hati. Standard gaji merekapun jauh lebih baik bila dibandingkan dengan usaha kecil yang bertebaran di daerahku.
Eyang sebagai HRDnya Cantiq memberi mereka 2 pilihan yang sudah disiapkan formulirnya, mengundurkan diri dari Cantiq atau kembali bekerja dengan syarat mematuhi semua aturan di Cantiq.
Hasilnya 2 orang kembali bekerja dan yang 10 mengundurkan diri. Sedangkan aku yang merasa kehilangan dan jauh dari 'pelukan suami' (beliau pameran di Yogya), menenangkan diri dengan ikut eyang ke pesantren Gubug.
Disini aku tidak bisa menahan kesedihanku......., mereka sudah seperti keluargaku sendiri, seperti anak-anakku sendiri. Apalagi setelah keluar dari Cantiq mereka juga masih sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan ada salah seorang karyawanku yang bertemu mereka berjalan di siang yang panas mencari kerja. Rasanya terbayang di pelupuk mataku wajah-wajah mereka.
"Kalau kita merasa bisa memberi mereka yang terbaik dan menyangka tanpa kita mereka akan kesulitan, itupun kesombongan yang halus lo bunda", kata eyang mengingatkan.
"Ya sih, tapi masalahnya aku sayang sama mereka", kataku, lalu air mataku berjatuhan.
Kegalauan hatiku membuatku mengirim sms ke beberapa sahabatku, berharap mereka menghiburku, tapi masih juga hatiku merasa sedih. Akhirnya aku menghubungkan hati dengan Allah.
"Allah, hibur aku, hibur aku.... ", kataku pada Allah berulang-ulang.
Petunjuk itupun datang dengan begitu sejuknya. Bahwa tak ada gunanya aku memboroskan energi untuk mengingat hal yang sudah berlalu, banyak hal yang menungguku di masa depan yang lebih layak untuk kupikirkan. Lalu Allah membukakan 'masa depan' itu.......... hmmm...........Allah memilihku untuk sesuatu yang amat indah, tapi sayang aku tidak bisa mengatakannya kepada kalian semua.....
Sesunguhnya peristiwa besar terjadi di pikiran dan perasaan kita, kenyataan hanyalah refleksi dari apa yang kita pikirkan dan kita rasakan. Maka jangan tertipu oleh kenyataan yang telah terjadi, ambillah itu sebagai tantangan untuk merubahnya menjadi hal baik di masa depan yang dimulai dari pikiran dan perasaan kita.
Masih bagus bila masa lalu yang kita kenang masih bisa diambil hikmahnya, tapi bila mengenang masa lalu hanya akan menambah kesedihan di hati kita, pikir-pikir lagi deh...... masih perlukah mengenang dan merindukan masa lalu? atau masih perlukan mengenang orang-orang dari masa lalu?
Mungkin itulah yang terjadi padaku ketika secara emosional 10 orang karyawanku memutuskan mengundurkan diri dari Cantiq setelah mereka mogok kerja selama seminggu. Hatiku disiksa oleh cintaku pada mereka dan kenangan akan kebersamaan yang indah selama bertahun-tahun.
Sehari setelah kedatanganku dari Bandung mereka menemuiku, dengan didampingi ustadz Virien aku menjelaskan kepada mereka semua yang terjadi di butik, mengenai alasanku menaikkan gaji dua orang temannya yang bekerja di level management. Kenaikan gaji inilah yang memicu sikap tidak terima mereka, mereka menuntut untuk dinaikkan juga gajinya.
Kupikir sudah tidak ada lagi gunanya menuruti permintaan mereka, bila mereka sudah tak lagi bekerja dengan ketulusan hati. Standard gaji merekapun jauh lebih baik bila dibandingkan dengan usaha kecil yang bertebaran di daerahku.
Eyang sebagai HRDnya Cantiq memberi mereka 2 pilihan yang sudah disiapkan formulirnya, mengundurkan diri dari Cantiq atau kembali bekerja dengan syarat mematuhi semua aturan di Cantiq.
Hasilnya 2 orang kembali bekerja dan yang 10 mengundurkan diri. Sedangkan aku yang merasa kehilangan dan jauh dari 'pelukan suami' (beliau pameran di Yogya), menenangkan diri dengan ikut eyang ke pesantren Gubug.
Disini aku tidak bisa menahan kesedihanku......., mereka sudah seperti keluargaku sendiri, seperti anak-anakku sendiri. Apalagi setelah keluar dari Cantiq mereka juga masih sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan ada salah seorang karyawanku yang bertemu mereka berjalan di siang yang panas mencari kerja. Rasanya terbayang di pelupuk mataku wajah-wajah mereka.
"Kalau kita merasa bisa memberi mereka yang terbaik dan menyangka tanpa kita mereka akan kesulitan, itupun kesombongan yang halus lo bunda", kata eyang mengingatkan.
"Ya sih, tapi masalahnya aku sayang sama mereka", kataku, lalu air mataku berjatuhan.
Kegalauan hatiku membuatku mengirim sms ke beberapa sahabatku, berharap mereka menghiburku, tapi masih juga hatiku merasa sedih. Akhirnya aku menghubungkan hati dengan Allah.
"Allah, hibur aku, hibur aku.... ", kataku pada Allah berulang-ulang.
Petunjuk itupun datang dengan begitu sejuknya. Bahwa tak ada gunanya aku memboroskan energi untuk mengingat hal yang sudah berlalu, banyak hal yang menungguku di masa depan yang lebih layak untuk kupikirkan. Lalu Allah membukakan 'masa depan' itu.......... hmmm...........Allah memilihku untuk sesuatu yang amat indah, tapi sayang aku tidak bisa mengatakannya kepada kalian semua.....
Sesunguhnya peristiwa besar terjadi di pikiran dan perasaan kita, kenyataan hanyalah refleksi dari apa yang kita pikirkan dan kita rasakan. Maka jangan tertipu oleh kenyataan yang telah terjadi, ambillah itu sebagai tantangan untuk merubahnya menjadi hal baik di masa depan yang dimulai dari pikiran dan perasaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar