Ada seorang pelangganku yang sedang mengalami masalah berat dalam hidupnya, lalu aku menganjurkannya untuk uzlah di pesantren Gubug. Beliau nurut , bersama suaminya uzlah sehari semalam di Gubug, berbincang semalaman dengan ustadz Virien dan mendapat pencerahan katanya.
Tadi pagi dia meneleponku.
"Aduh, kasihan ya kondisi pesantrennya, memelas ya jeng .... Saya juga punya kenalan, dulu juga mendirikan pesantren yang berupa gubug-bubug gitu, sekarang alhamdulillah sudah berdiri megah", katanya.
Bila kalian jadi aku, apa yang kalian rasakan mendengar komentar seperti ini sementara aku ini salah satu sponsornya pesantren Gubug?
Aku lalu bilang begini :"Ya begitulah bu keadaannya, kalau dibikin megah ya malah membuat gap antara pesantren dan masyarakatnya. Kalau ibu mau menyumbang ya silahkan saja ".
"Oh, ini kondisi saya lagi morat-marit jeng, maaf ", gitu katanya .....
Gemes nggak sama orang kayak gini ? bilang kalau pesantrennya memelas, tapi gak nyumbang .... yang memelas itu sebenarnya siapa ???
Pesantren Gubug itu memang persis namanya, berdinding bambu, dengan bahan yang sederhana. Baik aku atau ustadz Virien tak pernah merencanakan mengubah pesantren ini jadi megah, target kami bukan membangun 'bangunan' tapi membangun akhlak masyarakat dan mengajak mereka mengenal dan mendekati Allah.
Masyarakat di seputar pesantren kondisinya lebih memelas, rumah-rumah mereka berdinding bambu, berlantai tanah, masih pula tinggal serumah dengan ternak mereka .... mereka hampir tak punya perabotan berharga, semuanya amat sangat sederhana.
Justru karena pesantrennya sama-sama sederhana, membuat kami lebih menyatu dengan masyarakatnya. Aku sendiri kalau nginap di Gubug, hati rasanya jadi adem, dan kebanyakan orang-orang yang uzlah ke Gubug juga merasakan hal yang sama.
Rata-rata orang yang menyepi ke Gubug memang orang yang sedang punya masalah berat, ya masalah finansial, masalah keluarga, sampai ke narkoba, atau sekedar mendamaikan diri sendiri. Setelah beberapa hari di Gubug, mereka kembali ke masyarakat lagi dan menyelesaikan persoalan-persoalan mereka dengan lebih tenang, hasilnya juga lebih baik dan memuaskan.
Selama ini aku tak pernah mendengar orang bilang kalau pesantren kami memelas, dan aku tak pernah merasa kalau pesantrennya memelas ..... aku menikmatinya dan aku bahagia bila berada disana. Kami disana fokus membangun mental masyarakatnya dan juga membantu mereka secara ekonomi.
Jadi kaget waktu pelangganku bilang kalau pesantrennya memelas. Ya begitu itu kalau dunia dijadikan ukuran, bukan ridha Allah, bukan pula dari segi manfaatnya bagi sesama .... Yuuk kita pelajari sama-sama.
Pelangganku itu punya butik yang besar, butiknya langganan pejabat dan kalangan high class, kebayang omzet dan keuntungannya pasti gede. Sang suami punya toko emas ... nah, kebayang lagi kan kekayaannya ? Tentu saja rumahnya besar dan gedhong magrong magrong .... Putra mereka juga sudah mentas semua , berarti mereka secara finansial mapan.
Tapi kok dia bilang kondisi finansialnya sedang morat marit, pasti ada 'x faktor'nya nih, selain itu aku melihat dia juga terlilit masalah rumah tangga yang rumit. Bila dia datang bersama suaminya, aku selalu melihat mereka dalam kondisi sumpek dan berat. Sudah lama aku menjadi tempat curhatnya, tapi saran-saranku sedikit sekali 'nyampai'nya, sampai aku merekomendasikannya untuk nyepi ke Gubug.
Bila dinilai berdasarkan ukuran dia sendiri akan arti 'memelas' , mereka ini sungguh 'tidak memelas'. Tapi kenapa orang yang 'tidak memelas' datang ke orang yang disebutnya 'memelas' ? Memangnya gak takut ketularan memelasnya ... hehehe.
Begitulah kenyataan yang aku lihat, orang-orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan dan ukuran, memang mudah diombang ambingkan oleh dunia itu sendiri. Gak ada bahagia-bahagianya walaupun mengaku muslim dan rajin pula shalat lima waktu plus tahajud dan dzikir yang ribuan (begitulah pelangganku ini bercerita soal tirakatnya).
Bila arah perhatian kita pada dunia dan tujuan hidup kita dunia, kita pasti akan berputar-putar terus dalam masalah dunia, tanpa sadar kita dipermainkan dunia.
"Saya ini sudah capeeek banget jeng, ingin segera keluar dari masalah ini dan mikirin masalah lainnya", katanya.
Coba amati kalimat itu, keinginannya adalah 'keluar dari masalah' , bukan pada ridha Allah. Ini adalah keinginan duniawi, dengan kata lain dia telah menjadikan dunia sebagai tujuan. Makanya dia tak kunjung keluar dari masalahnya, dan selama dia tidak merubah mind setnya, selamanya juga dia akan diombang ambingkan persoalan-persoalan dunia.
Mestinya dia berusaha lebih ikhlas dan ridha dengan ketentuan Allah. Aku sering bilang bahwa hidup ini adalah ikatan kita dengan Allah, segala kejadian dalam hidup ini adalah alat komunikasi Allah dengan makhlukNya. Jadi kembalilah padaNya, pasrahkan segala persoalan kepadaNya dan bersabarlah karena Allah.
Siapa coba yang memelas ? Aku dan ustadz Virien dengan pesantren Gubugnya ? atau pelangganku yang kaya raya itu ?
Sementara yang kami lakukan di Gubug adalah 'memberi', banyak-banyak memberi. Kami disini sudah tidak lagi memikirkan diri sendiri, karena Allah sudah mengurus kami mulai dari materi, kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Yang jadi persoalanku adalah bagaimana caranya agar semakin banyak yang bisa diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Bagaimana caranya agar semakin banyak manfaat yang bisa diberikan ke masyarakat ? bagaimana caranya agar semakin banyak beras dibagikan ? bagaimana caranya agar anak-anak dhuafa terus bersekolah ? Bagaimana caranya agar anak-anak yatim lebih sering mendapat bantuan untuk kelangsungan pendidikan mereka ? bagaimana caranya agar semakin banyak nasi bungkus dibagikan ? ....... Disini yang kami pikirkan adalah orang lain dan bagaimana menebar kebahagiaan buat orang banyak .....
Rasanya aku kok gak pernah mikirin, aku ini memelas apa nggak ? biar kalian aja yang mikir, aku memelas apa nggaaaaak ????? jawaaaaab !!!!!
Tadi pagi dia meneleponku.
"Aduh, kasihan ya kondisi pesantrennya, memelas ya jeng .... Saya juga punya kenalan, dulu juga mendirikan pesantren yang berupa gubug-bubug gitu, sekarang alhamdulillah sudah berdiri megah", katanya.
Bila kalian jadi aku, apa yang kalian rasakan mendengar komentar seperti ini sementara aku ini salah satu sponsornya pesantren Gubug?
Aku lalu bilang begini :"Ya begitulah bu keadaannya, kalau dibikin megah ya malah membuat gap antara pesantren dan masyarakatnya. Kalau ibu mau menyumbang ya silahkan saja ".
"Oh, ini kondisi saya lagi morat-marit jeng, maaf ", gitu katanya .....
Gemes nggak sama orang kayak gini ? bilang kalau pesantrennya memelas, tapi gak nyumbang .... yang memelas itu sebenarnya siapa ???
Pesantren Gubug itu memang persis namanya, berdinding bambu, dengan bahan yang sederhana. Baik aku atau ustadz Virien tak pernah merencanakan mengubah pesantren ini jadi megah, target kami bukan membangun 'bangunan' tapi membangun akhlak masyarakat dan mengajak mereka mengenal dan mendekati Allah.
Masyarakat di seputar pesantren kondisinya lebih memelas, rumah-rumah mereka berdinding bambu, berlantai tanah, masih pula tinggal serumah dengan ternak mereka .... mereka hampir tak punya perabotan berharga, semuanya amat sangat sederhana.
Justru karena pesantrennya sama-sama sederhana, membuat kami lebih menyatu dengan masyarakatnya. Aku sendiri kalau nginap di Gubug, hati rasanya jadi adem, dan kebanyakan orang-orang yang uzlah ke Gubug juga merasakan hal yang sama.
Rata-rata orang yang menyepi ke Gubug memang orang yang sedang punya masalah berat, ya masalah finansial, masalah keluarga, sampai ke narkoba, atau sekedar mendamaikan diri sendiri. Setelah beberapa hari di Gubug, mereka kembali ke masyarakat lagi dan menyelesaikan persoalan-persoalan mereka dengan lebih tenang, hasilnya juga lebih baik dan memuaskan.
Selama ini aku tak pernah mendengar orang bilang kalau pesantren kami memelas, dan aku tak pernah merasa kalau pesantrennya memelas ..... aku menikmatinya dan aku bahagia bila berada disana. Kami disana fokus membangun mental masyarakatnya dan juga membantu mereka secara ekonomi.
Jadi kaget waktu pelangganku bilang kalau pesantrennya memelas. Ya begitu itu kalau dunia dijadikan ukuran, bukan ridha Allah, bukan pula dari segi manfaatnya bagi sesama .... Yuuk kita pelajari sama-sama.
Pelangganku itu punya butik yang besar, butiknya langganan pejabat dan kalangan high class, kebayang omzet dan keuntungannya pasti gede. Sang suami punya toko emas ... nah, kebayang lagi kan kekayaannya ? Tentu saja rumahnya besar dan gedhong magrong magrong .... Putra mereka juga sudah mentas semua , berarti mereka secara finansial mapan.
Tapi kok dia bilang kondisi finansialnya sedang morat marit, pasti ada 'x faktor'nya nih, selain itu aku melihat dia juga terlilit masalah rumah tangga yang rumit. Bila dia datang bersama suaminya, aku selalu melihat mereka dalam kondisi sumpek dan berat. Sudah lama aku menjadi tempat curhatnya, tapi saran-saranku sedikit sekali 'nyampai'nya, sampai aku merekomendasikannya untuk nyepi ke Gubug.
Bila dinilai berdasarkan ukuran dia sendiri akan arti 'memelas' , mereka ini sungguh 'tidak memelas'. Tapi kenapa orang yang 'tidak memelas' datang ke orang yang disebutnya 'memelas' ? Memangnya gak takut ketularan memelasnya ... hehehe.
Begitulah kenyataan yang aku lihat, orang-orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan dan ukuran, memang mudah diombang ambingkan oleh dunia itu sendiri. Gak ada bahagia-bahagianya walaupun mengaku muslim dan rajin pula shalat lima waktu plus tahajud dan dzikir yang ribuan (begitulah pelangganku ini bercerita soal tirakatnya).
Bila arah perhatian kita pada dunia dan tujuan hidup kita dunia, kita pasti akan berputar-putar terus dalam masalah dunia, tanpa sadar kita dipermainkan dunia.
"Saya ini sudah capeeek banget jeng, ingin segera keluar dari masalah ini dan mikirin masalah lainnya", katanya.
Coba amati kalimat itu, keinginannya adalah 'keluar dari masalah' , bukan pada ridha Allah. Ini adalah keinginan duniawi, dengan kata lain dia telah menjadikan dunia sebagai tujuan. Makanya dia tak kunjung keluar dari masalahnya, dan selama dia tidak merubah mind setnya, selamanya juga dia akan diombang ambingkan persoalan-persoalan dunia.
Mestinya dia berusaha lebih ikhlas dan ridha dengan ketentuan Allah. Aku sering bilang bahwa hidup ini adalah ikatan kita dengan Allah, segala kejadian dalam hidup ini adalah alat komunikasi Allah dengan makhlukNya. Jadi kembalilah padaNya, pasrahkan segala persoalan kepadaNya dan bersabarlah karena Allah.
Siapa coba yang memelas ? Aku dan ustadz Virien dengan pesantren Gubugnya ? atau pelangganku yang kaya raya itu ?
Sementara yang kami lakukan di Gubug adalah 'memberi', banyak-banyak memberi. Kami disini sudah tidak lagi memikirkan diri sendiri, karena Allah sudah mengurus kami mulai dari materi, kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Yang jadi persoalanku adalah bagaimana caranya agar semakin banyak yang bisa diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Bagaimana caranya agar semakin banyak manfaat yang bisa diberikan ke masyarakat ? bagaimana caranya agar semakin banyak beras dibagikan ? bagaimana caranya agar anak-anak dhuafa terus bersekolah ? Bagaimana caranya agar anak-anak yatim lebih sering mendapat bantuan untuk kelangsungan pendidikan mereka ? bagaimana caranya agar semakin banyak nasi bungkus dibagikan ? ....... Disini yang kami pikirkan adalah orang lain dan bagaimana menebar kebahagiaan buat orang banyak .....
Rasanya aku kok gak pernah mikirin, aku ini memelas apa nggak ? biar kalian aja yang mikir, aku memelas apa nggaaaaak ????? jawaaaaab !!!!!
mba Innuri, kalau dirimu mah ayuuuuu tenan mbaaaa baek rupa maupun hatinya.. amiiinn, salam kangennnn:)*Wiwid*:)
BalasHapusmaturtenkyu mbakyu wiwid ..... aamiin .... kangen juga mbak , mudah mudahan bisa ketemu lagi dalam kasihNya
Hapus