Senin, 01 Juli 2013

Menatap Kasih


Pembacaku sayang, 
Ijinkan aku curhat dikiiiit saja ya ....boleh ya .... Aku setengah meminta setengah memohon, setengah curhat niiih.  Aku mohon, setelah ini kalau mau curhat atau mau nanya atau mau ngobrol dengan aku, enakan lewat fb ajaaaah yaaaa (fbku tinggal klik di kolom sebelah) .... Hmm ... alasan pertama, karena aku gampang menjawabnya, ngetiknya kalau pakai lap top udah ahli gitu loh ... hehehe.  Alasan kedua, kalau mau aku jawab di blog, pertanyaan kalian tinggal aku copas saja, cepet gitu loh.  Alasan selanjutnya, terkadang aku suka kelupaan kalau punya hp, ... yaaaa kalau kumat pikunnya, hp suka aku tinggal-tinggal pergi.  Alasan lainnya lagi, hemat pulsa ... pelit ya ... bukan, tapi medit .... hihihihi ... podho wae alias sami mawon .... aaah, untuk alasan terakhir ini aku cuma guyon.

Sahabat,
Masih ingat tentang pembacaku yang mempertanyakan tentang kenapa temannya yang menikah beda agama tapi kehidupannya terlihat enak saja ? Kemarin dia sms,  ternyata temannya itu tidak bahagia sama sekali, karena tidak pernah merasakan shalat berjamaah dengan suaminya, tidak pernah buka puasa dan sahur dengan suaminya.  Begitu dia cerita .....

Habis itu dia cerita lagi, katanya dia punya famili yang kaya, dengan uang di tabungan puluhan juta, tapi ketika ada saudara pinjam uang, ngakunya tidak ada uang, pelitnya minta ampun dan tidak mau beramal, bahkan terhadap orang tuanya.

Membaca cerita-ceritanya itu aku jadi mikir ..... aduh maaf, mungkin kata-kataku ini bakalan menyinggung perasaan .... Indah spontan keluar pikiran jahilnya, jujur saja, aku geli bercampur prihatin, .... ibu ini kok sibuuuuk banget menilai orang lain .... maaf ya bila aku salah, tapi ini ungkapan jujurku.

Andai dia tahu, betapa indahnya bila hati ini bisa menerima orang lain apa adanya mereka, kekurangannya dimaklumi dan dimaafkan, sedang kelebihannya diterima dengan syukur.  Ini cara menatap orang lain dengan pandangan kasih sayang.  Bukankah orang Islam punya prinsip bismillahirrahmanirrahiim, memulai segala sesuatu atas nama Allah yang maha pengasih dan penyayang.  Begitupun saat berinteraksi dengan orang lain, kasih sayang mesti bicara duluan, selebihnya akan mengalir dengan tuntunan Allah.

Berhentilah menilai orang lain , seperti si A kok judes, si B kok pelit, si C alim tapi kok punya anak nakal, dll dll.  Setiap manusia berproses, diri kita sendiripun berproses.  Orang-orang yang kita nilai buruk, belum tentu kita lebih baik darinya, dan bisa jadi dia menjadi lebih baik di masa depan.

Bagaimana kalau apa yang kita lihat memang menyesakkan dada ? Bagaimana bila orang yang kita hadapi benar-benar njengkelin ? Doakan saja , beres bukan ? bila bisa, dimaklumi saja, diterima apa adanya. Dan tidak usah sibuk membicarakan kekurangan- kekurangannya, karena ini memboroskan energi dan waktu untuk hal yang sia-sia, tidak produktif, tapi malah menambah data negatif yang dengan sengaja kita masukkan sendiri ke otak kita.

Beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya.  Fahamkah akan makna kesucian jiwa ? Orang-orang yang di dalam dirinya tidak ada rasa iri, dengki, cemburu, marah, kecewa dll .... dan juga orang yang di dalam hati dan pikirannya tidak ada 'koleksi' daftar kekurangan orang lain, hatinya hanya terisi kasih sayang!!!

Untuk memiliki hati yang putih lembut, memang butuh proses dan perlu waktu, dan mustin melewati ujian-ujian. Bisa jadi ujiannya itu dengan jalan Allah hadirkan orang yang njengkelin banget, tugas dan perjuangan kita adalah menjaga hati kita tetap penuh kasih, menerima dan mendoakan dengan tulus.  Stop menilai orang lain !!! itu hak Allah.  Yang kita tahu hanya tampilan luarnya saja, hakekat yang sebenarnya hanya Allah yang tahu.

Memiliki hati yang putih lembut memang membutuhkan perjuangan yang tak kenal menyerah, tapi dari sinilah kehidupan indah itu akan bermula. 

3 komentar:

  1. aku menyimak curhatmu mba Nuri...^_^

    BalasHapus
  2. kapan-kapan main ke blogku yah

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini mau masuk ke blog mb eni kok gak bisa yaaaa. alamat blognya apa mba?

      Hapus