Pagi itu, sinar mentari jatuh membentuk garis-garis lembut, berpadu dengan hawa dingin yang menyapa saat kubuka jendela, rasanya aku jadi begitu cantik ...hm. Langit pagi berhias mendung tipis, membias sapuan warna jingga hasil karya Sang Seniman Agung. Kuhirup keindahan pagi dalam-dalam, seolah mengukirkannya di dadaku.
Aku mulai aktifitas pagiku setelah semalam hatiku berdarah, seseorang telah berkata kasar padaku, dan aku merasa terluka.
Rasaku semalam aku telah berhasil memaafkannya, bahkan telah pula kutertawakan diriku sendiri dan kukasihi dia yang telah menyakitiku. Tapi pagi ini, syetan membangkitkannya lagi, oh.
Kutatap sinar itu, sinar mentari yang membentuk garis-garis lembut. Sinar itu mengingarkanku akan sebuah pengalaman indah bertahun yang lalu dan sinar itu membisikkanku sesuatu.
Jadilah sepertiku, katanya.
Ya, kau adalah kasih untuk semesta, kataku.
Aku menyinari semua, yang baik yang jahat, yang cantik yang indah, yang kumuh, yang bau, bahkan aku menyinari mereka yang suka menghujatku , katanya.
Hmm, ada yang menghujatmu? bukankah tanpamu bumi ini berhenti berputar ? tanyaku heran. Dia menjawab dengan senyum penuh arti. Aku tahu, aku tahu, manusia memang suka mengeluh, dan dia merasakan keluhan manusia akan betapa panasnya siang sebagai sebuah hujatan. Ternyata dia begitu peka, namun aku tahu dia tak mendendam dan akan selalu menyinari siapapun dan apapun sebagaimana yang Allah kehendaki menerima sinarnya.
Dia selalu memberikan energinya untuk menyokong kehidupan di alam semesta, pada siapapun pada apapun.
Jadilah sepertiku, katanya.
Aku tahu dia ingin bilang, maafkanlah kesalahan dan kasihi sesama. Kau tidak perlu berhenti menjadi baik hanya karena mempertahankan rasa sakit. Lepaskanlah rasa sakit itu dengan memaafkan dan mengasihi.
Terimakasih, kataku.
Aku ingin menjadi rahmat bagi semesta, sepertimu, seperti yang Allah kehendaki. Aku sudah memaafkan saat ini juga, dan aku tetap mengasihi sepertimu yang selalu menyinari, meskipun kepada orang jahat dan orang yang menghujatmu.
Dia tersenyum, melihat senyum itu kurasa manusia telah salah menilai dia berdasarkan berapa derajad suhunya. Dia terlihat begitu manis dan sejuk.
Dia tersenyum lagi dan terkuak sebuah kenangan bertahun-tahun yang lalu.
Saat itu aku sedang berdzikir selepas shalat asar, saat tiba-tiba kulihat matahari mengecil dan duduk di sebelahku. Begitu indahnya matahari kecil itu sampai jilatan apinya terlihat seperti bunga yang terang. Aku ajak dia turut berdzikir bersamaku, tapi secepatnya dia melompat ke pangkuanku dan masuk ke dadaku dan menghilang di tubuhku, rasanya aku jadi bersinar.
Kenangan itu aku masih mengingatnya, entah apa maknanya.
Aku mulai aktifitas pagiku setelah semalam hatiku berdarah, seseorang telah berkata kasar padaku, dan aku merasa terluka.
Rasaku semalam aku telah berhasil memaafkannya, bahkan telah pula kutertawakan diriku sendiri dan kukasihi dia yang telah menyakitiku. Tapi pagi ini, syetan membangkitkannya lagi, oh.
Kutatap sinar itu, sinar mentari yang membentuk garis-garis lembut. Sinar itu mengingarkanku akan sebuah pengalaman indah bertahun yang lalu dan sinar itu membisikkanku sesuatu.
Jadilah sepertiku, katanya.
Ya, kau adalah kasih untuk semesta, kataku.
Aku menyinari semua, yang baik yang jahat, yang cantik yang indah, yang kumuh, yang bau, bahkan aku menyinari mereka yang suka menghujatku , katanya.
Hmm, ada yang menghujatmu? bukankah tanpamu bumi ini berhenti berputar ? tanyaku heran. Dia menjawab dengan senyum penuh arti. Aku tahu, aku tahu, manusia memang suka mengeluh, dan dia merasakan keluhan manusia akan betapa panasnya siang sebagai sebuah hujatan. Ternyata dia begitu peka, namun aku tahu dia tak mendendam dan akan selalu menyinari siapapun dan apapun sebagaimana yang Allah kehendaki menerima sinarnya.
Dia selalu memberikan energinya untuk menyokong kehidupan di alam semesta, pada siapapun pada apapun.
Jadilah sepertiku, katanya.
Aku tahu dia ingin bilang, maafkanlah kesalahan dan kasihi sesama. Kau tidak perlu berhenti menjadi baik hanya karena mempertahankan rasa sakit. Lepaskanlah rasa sakit itu dengan memaafkan dan mengasihi.
Terimakasih, kataku.
Aku ingin menjadi rahmat bagi semesta, sepertimu, seperti yang Allah kehendaki. Aku sudah memaafkan saat ini juga, dan aku tetap mengasihi sepertimu yang selalu menyinari, meskipun kepada orang jahat dan orang yang menghujatmu.
Dia tersenyum, melihat senyum itu kurasa manusia telah salah menilai dia berdasarkan berapa derajad suhunya. Dia terlihat begitu manis dan sejuk.
Dia tersenyum lagi dan terkuak sebuah kenangan bertahun-tahun yang lalu.
Saat itu aku sedang berdzikir selepas shalat asar, saat tiba-tiba kulihat matahari mengecil dan duduk di sebelahku. Begitu indahnya matahari kecil itu sampai jilatan apinya terlihat seperti bunga yang terang. Aku ajak dia turut berdzikir bersamaku, tapi secepatnya dia melompat ke pangkuanku dan masuk ke dadaku dan menghilang di tubuhku, rasanya aku jadi bersinar.
Kenangan itu aku masih mengingatnya, entah apa maknanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar