Pulang dari memberi pelatihan untuk koperasi wanita di Tulungagung, kami -aku dan suami- memilih jalan ke Malang lewat Blitar. Pas melewati hutan yang aku gak tahu namanya, banyak penjual rambutan di tepi jalan.
"Rambutan sini manis kayak leci", kata suamiku sambil meminggirkan mobil. Hujan deras mengguyur, setengah berteriak suamiku menanyakan harga rambutan.
"Tujuh ribu", kata ibu-ibu penjual rambutan itu.
"Ya, yang itu berapa kilo?", tanya suamiku menunjuk ikatan besar rambutan yang menggantung.
"Tujuh ribu pak", penjual itu ngotot.
"Ya, yang itu saya beli semua, coba ditimbang ada berapa kilo", kata suamiku. Penjual itupun menimbang seikat besar rambutan..
"Sebelas kilo pak", kata penjual itu.
"Nawar dong mas, kan beli banyak", bisikku pada suamiku.
"Jangan lah dik, mereka orang kecil, biar seneng ", kata suamiku, dalam hati aku istighfar, ... iya ya, sejak kapan ya aku jadi pelit dan itungan kayak gini ?
Suamiku membayar dengan uang delapan puluh lima ribu rupiah lalu bilang : "Kembaliannya rambutan juga ya bu".
"Ini saya kasih bonus satu kilo", katanya mengulurkan satu kresek rambutan.di tengah hujan deras yang mengguyur.
Ketika kami berlalu pergi, kudengar wanita itu tertawa senang. Mungkin jarang ada pembeli nggak nawar dan belinya banyak pula. Mendengar tawa itu ... hmmm ... rasanya aku mendengar kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Bagi pedagang kecil seperti dia, memperoleh uang delapan puluh lima ribu rupiah sudah menjadi kebahagiaan yang besar. Sementara di bagian bumi yang lain, punya sebuah rumah mewah tak cukup membuatnya bahagia, sampai menyempatkan diri untuk korupsi dan menilep uang rakyat demi menumpuk kekayaan pribadi.
"Rambutan sini manis kayak leci", kata suamiku sambil meminggirkan mobil. Hujan deras mengguyur, setengah berteriak suamiku menanyakan harga rambutan.
"Tujuh ribu", kata ibu-ibu penjual rambutan itu.
"Ya, yang itu berapa kilo?", tanya suamiku menunjuk ikatan besar rambutan yang menggantung.
"Tujuh ribu pak", penjual itu ngotot.
"Ya, yang itu saya beli semua, coba ditimbang ada berapa kilo", kata suamiku. Penjual itupun menimbang seikat besar rambutan..
"Sebelas kilo pak", kata penjual itu.
"Nawar dong mas, kan beli banyak", bisikku pada suamiku.
"Jangan lah dik, mereka orang kecil, biar seneng ", kata suamiku, dalam hati aku istighfar, ... iya ya, sejak kapan ya aku jadi pelit dan itungan kayak gini ?
Suamiku membayar dengan uang delapan puluh lima ribu rupiah lalu bilang : "Kembaliannya rambutan juga ya bu".
"Ini saya kasih bonus satu kilo", katanya mengulurkan satu kresek rambutan.di tengah hujan deras yang mengguyur.
Ketika kami berlalu pergi, kudengar wanita itu tertawa senang. Mungkin jarang ada pembeli nggak nawar dan belinya banyak pula. Mendengar tawa itu ... hmmm ... rasanya aku mendengar kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Bagi pedagang kecil seperti dia, memperoleh uang delapan puluh lima ribu rupiah sudah menjadi kebahagiaan yang besar. Sementara di bagian bumi yang lain, punya sebuah rumah mewah tak cukup membuatnya bahagia, sampai menyempatkan diri untuk korupsi dan menilep uang rakyat demi menumpuk kekayaan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar