Minggu, 06 Januari 2013

Bagaikan Nabi Musa dan Nabi Khaidir

Aku jadi geli bila ingat bagaimana dulu aku  sering 'perang urat syaraf'  dengan ustadz Virien.   Gara-gara perbedaan pendapat masalah agama, aku yang terlahir dari keluarga Muhammadiyah bertemu dengan ustadz Virien yang NU dan anak pondokan .... hmmm, seru !!!

Saat beliau selesai memberi tausiyah ke karyawan, di belakang karyawan 'hobby'ku adalah menentangnya dengan mengeluarkan dalil-dalil yang aku bilang lebih sahih.  Aku tidak suka banget bid'ah, bahkan sempat bikin perjanjian dengannya, isi perjanjian itu : hanya al quran dan hadits sahih yang boleh disampaikan ke karyawanku.

Bila perdebatan dengannya sudah begitu memuncak, aku akan mengakhirinya dengan ucapan begini :"Baiklah, memang kita seperti Nabi Musa dan Nabi Khaidir.  Susah bagi Nabi Musa memahami Nabi Khaidir, sepertiku yang tidak bisa memahamimu".

Tapi Nabi Khaidirku yang satu ini uletnya kayak adonan bakpao ... hehehe.... Dia begitu telaten memberiku pengertian-pengertian hakekat, sampai  nyerah deh Indah.  Runtuhlah sebuah kesombongan diri, oh  .....Akhirnya aku bsa bersyukur Allah pertemukanku dengan ustadz Virien, darinya aku semakin memahami keindahan ajaran Islam.

Yah seperti kubilang tadi, kisah Nabi Musa dan Nabi Khaidir adalah sebuah contoh pertemuan antara orang yang berpikir syariah dengan orang yang berpikir hakekat. Simak cerita menarik ini di Surat Al Kahfi.  

Syariah cenderung ke arah ritual ibadah, hukum-hukum halal haram, wajib sunah mubah, nilai-nilai yang dilihat dari luarnya/lahiriahnya  ......    sedangkan hakekat adalah sebuah pemikiran yang lebih mendalam tentang makna ibadah, isi dan maksud/tujuan ibadah.  Definisi ini Indah yang bikin, berdasarkan pengamatanku dengan orang-orang ..... jadi kalau gak setuju, silahkan protes di dalam hati saja ..... hehehe.

Bagi Nabi Musa, merusak kapal milik orang lain tentu hal yang salah banget, ini sebuah kesalahan yang tidak bisa ditawar-tawar.  Tapi bagi Nabi Khaidir, dengan petunjuk Allah beliau bisa melihat lebih jauh dan lebih luas, beliau musti berbuat sesuatu untuk menghindari hal yang lebih buruk.  Bila kapal itu dibiarkan bagus, bisa dirampas oleh penguasa, itulah yang membuat beliau merusak kapal milik nelayan miskin itu.

Nabi Khaidir berbuat bukan berdasarkan hawa nafsunya, bukan pula berdasarkan pemikirannya sendiri, tapi berdasarkan petunjuk dari Allah.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khaidir merupakan contoh yang selalu 'in' sepanjang masa, seperti sebuah isyarat bahwa akan selalu ada kasus seperti ini di sepanjang sejarah.  Makanya ustadzku nyantai aja lihat orang kayak aku dan sekarang Indah juga bisa nyantai aja bila ada pembacaku yang berkomentar macam-macam mengenai tulisan-tulisanku.  Bahkan aku bisa nyantai bila ada orang berkomentar mengenai hidupku.

Dulu aku memang 'syariah' banget, aku gak mau keluar rumah tanpa muhrim, jadi ibu rumah tangga yang manis selama 10 tahun ..... enak memang menjalani hidup sesuai tuntunan agama, hingga akhirnya kenyataan memaksaku menjadi pebisnis.... hmmm.... orang bilang  entrepeneur by accident.  Setelah jadi pebisnis, aku jadi nara sumber yang bicara di depan orang banyak, lalu jadi blogger, lalu jadi pendakwah, lalu jadi tua .... hahaha ..... dan jadi mati itu pasti.

Hidupku sekarang secara syariah salah banget wes..... Aku sering bepergian ke luar kota, perginya berdua dengan lelaki bukan muhrim lagi, kalau nggak sama ustadz Virien ya sama Yudhi karyawanku, kadang sama cak Dul sopir langganan,  karena suami gak selalu bisa mengantar.

Pernah aku ungkapkan hal itu pada ustadz Virien.  Jawaban beliau panjang sih.  Bila diringkas dalam bahasa yang sederhana, kita musti melihat tujuan dan manfaatnya. Kita juga musti melihat budaya masyarakat dan juga sisi keamanan buat si wanita.  InsyaAllah kondisi saat aku bepergian masih aman dan didampingi orang yang  dipercaya suamiku.  Lagi pula aku lebih bermanfaat buat orang banyak dengan jalan seperti ini.  Cara seperti inipun sebenarnya bukan dibuat-buat, mengalir saja menurut skenarioNya.

Sering aku alami, yang bila diibaratkan kondisinya seperti ini : ada seorang wanita  melihat kecelakaan menimpa seorang lelaki, tidak ada orang yang berada disitu untuk menolong selain dia seorang.  Bila wanita itu tidak tergerak untuk menolong, tentunya nyawa seorang manusia menjadi taruhannya.  Makanya meskipun secara syariah, seorang wanita haram menyentuh lelaki, dalam kondisi dharurat seperti itu tentunya halal haram menjadi hal nomor dua, karena nomor satunya adalah menyelamatkan nyawa seseorang.

Nah sahabat, yang aku ceritakan hanyalah sebuah perumpamaan, karena pada kenyataannya yang kuhadapi adalah hal yang lebih penting daripada nyawa, yaitu iman.  Kehilangan nyawa dalam keadaan beriman masih bagusan daripada kehilangan iman dalam keadaan masih bernyawa, duh !!! Naudzubillah.

Begitulah sahabat, jangan mudah menghukumi sesuatu  dari 'tampak luar'nya, atau mengambil kesimpulan dari hal yang kita tidak tahu hakekatnya.  Isi saja hati kita dengan dzikir dan istighfar agar terpelihara dari kesalahan yang bisa diperbuat oleh hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar